Latest Post

LATAR BELAKANG LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU)

Diterbit Oleh Unknown pada Kamis, 22 Oktober 201502.46

Sebagai warga Indonesia khususnya warga NU haruslah mengetahui sejarah Bangsa ini. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dan bagaimana latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU) ini lahir. Silakan disimak dan dihayati mudah-mudahan menjadi pijakan bagi kita untuk lebih menghargai jasa-jasa para Pahlawan.
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:

1. Motif Agama.
Bahwa Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih Belanda-Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris Kristiani ke berbagai wilayah.

2. Motif Nasionalisme.
NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.

Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH. M. Yusuf Hasyim -Pak Ud).

Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatra Utara 1909, dan di kalangan orang tua Sabilillah (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur.
Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.

Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari: “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela al-Qur'an. Sekali lagi, membela tanah air?”

Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para Kiyai lain untuk mengumpulkan para Kiyai se-Jawa dan Madura. Para Kiyai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Hasbullah pada 22 Oktober 1945.

Pada 23 Oktober 1945, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu: a) Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. b) Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. c) Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.

Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu).

Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan Kiyai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya.

Meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai hari pahlawan. Para Kiyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non regular Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para Kiyai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby tewas.

3. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Para Pengikut Sunnah Nabi, Sahabat dan Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru (tidak dikenal zaman Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli bid'ah). Pembawa ajaran-ajaran bid'ah yang sesat (bid'ah madzmumah) menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebagai berikut:

a) Kaum Khawarij dengan imam/pemimpinnya Abdullah bin Abdul Wahab ar-Rasabi yang muncul di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra. yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, sehingga ciri khas mereka mudah menuduh orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan ajarannya sebagai kafir. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. pun dicap kafir karena dianggap berdosa besar mau menerima tawaran tahkim/perdamaian yang diajukan oleh pemberontak Muawiyyah Ra.

b) Kaum Syi'ah, lebih-lebih setelah munculnya sekte syi'ah Rafidhah dan Ghulat. Tokoh pendiri Syi'ah adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan ajaran Wishoya, bahwa kepemimpinan setelah Nabi adalah lewat wasiat Nabi Saw. Dan yang mendapatkan wasiat adalah Ali bin Abi Thalib Ra. Dan Abu Bakar, Umar dan Utsman termasuk perampok jabatan.

c) Aliran Mu'tazilah yang didirikan oleh seorang tabi'in yang bernama Wasil bin Atho', ciri ajaran ini adalah menafsirkan al-Qur'an dan kebenaran agama ukurannya adalah akal manusia, bahkan mereka berpendapat demi sebuah keadilan Allah harus menciptakan al-manzilah baina al-manzilataini, yakni satu tempat di antara surga dan neraka sebagai tempat bagi orang-orang gila.

d) Faham Qodariyyah yang pendirinya adalah Ma'bad al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi keduanya murid Wasil bin Atho' dan keduanya dijatuhi hukuman mati oleh Gubernur Irak dan Damaskus karena menyebarkan ajaran sesat (bid'ah), ciri ajarannya adalah manusia berkuasa penuh atas dunia ini, karena tugas Allah telah selesai dengan diciptakannya dunia, dan bertugas lagi nanti ketika kiamat datang.

e) Aliran Mujassimah atau kaum Hasyawiyyah ciri aliran ini menjasmanikan Allah (menyerupakan Allah dengan makhluk) yang diawali dengan menafsirkan al-Qur'an secara lafdziy dan tidak menerima ta'wil, sehingga sehingga mengartikan yadullah adalah Tangan Allah. (Lihat Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Baari Juz XX hal. 494). Bahkan mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemuiNya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh As. sehingga mataNya menjadi merah, dan ‘Arsy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arsy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. (Lihat asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal, hal. 141).

f) Ajaran-ajaran Para Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M yakni 700 tahun setelah Nabi Saw. wafat atau 500 tahun dari masa Imam asy-Syafi'i). Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, tapi anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku memurnikan ajaran kembali ke al-Qur'an dan Hadits, tetapi di sisi lain mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah). Mereka ingin memberantas bid'ah tetapi pemahaman tentang bid'ahnya melenceng dari makna bid'ah yang dikehendaki Rasulullah Saw., yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah.

Mereka juga membangkitkan kembali penafsiran al-Qur'an-Sunnah secara lafdziy. Golongan Salafi ini percaya bahwa al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan di dalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah Swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut.

Dengan adanya keyakinan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah hanya memiliki makna secara tekstual atau literal dan jauh dari makna majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah Swt. (umpama Dia Swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah Swt. duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain. Salafisme ini hanya berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram. (Penjelasan rincinya akan dibahas kemudian).

Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya.

Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlussunnah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya:

• Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini! Engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).

• Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha) secara keseluruhan. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).

• Berkaitan dengan Imam Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang.” (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355). Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap karya Imam Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Imam Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.

Dari berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab pun mengkafirkan –serta diikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi)–para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 53), bahkan ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.

Tokoh Pembaharu Agama (mujaddid) lain penerus faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905). Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.

Dalam perkembangannya aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana yang diikutinya. Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Takhrij/mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).

Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya:
1) Dibawa oleh seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta yang bernama Darwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para penerusnya.

2) Syaikh Akhmad Soorkati (1872-1943) seorang tokoh pembaharu (mujaddid) asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami'at al-Khair di negaranya, kemudian Hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi al-Irsyad.

3) Di Bandung pun muncul Mujaddid yang bernama A. Hasan yang juga dikenal sebagai Hasan Bandung atau Hasan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang.

4) HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).
Apa yang Menyebabkan Aliran "Islam Baru” Dapat Menyebar dengan Cepat?
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahhabi.

Keluarga/Klan Saud dan pasukan/lasykar Wahhabi berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukkan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman. Orang Saudi juga membawa tanah tinggi 'Asir di bawah kedaulatan mereka dan pasukan Wahhabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, dan menguasai kota suci Shi'ah, Karbala tahun 1801.
Pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahhabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.

Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818.


Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abdil Wahhab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir, namun, Wahhabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.

Perselingkuhan agama - ambisi kekuasaan - kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika lasykar Wahhabi - klan Al Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa'ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris (antek Amerika). Maka awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama raja Syarif Ali.

Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, maka Raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak.

Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa'ud dan Wahhabi. Dan ahirnya tepat tanggal 23 September tahun 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah al-'Arabiyyah as-Sa'udiyyah, Kerajaan Arab Sau'di, yang dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa'ud, dengan Ibukotanya Riyadh. Dan tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengeksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.

Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi faham Wahhabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah Saw., sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang/tempatnya kemusyrikan.
Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahhabi.

Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari .

Susunan delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud adalah sebagai berikut:
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem Ketua : KH. Hasan Gipo, Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil Sekretaris : Muhammad Shadiq Pembantu : KH. Abdul Halim

Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud adalah:
1) Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 2) Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid. 3) Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh. 4) Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut. 5) Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.

Daftar Pustaka:
• Al-Milal wa al-Nihal, Syaikh Abdul Karim asy-Syahrastani • Fath al-Bari fi Syarh Shohih al-Bukhari, Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani • KH. Zainul Arifin, panglima Hizbullah, Seorang Pahlawan, NU Online • Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Drs. Choirul Anam. Bisma Satu Surabaya • Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos • Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin • Dll.



Menulislah

Diterbit Oleh Unknown pada Jumat, 21 Agustus 201505.44


Melejitkan Diri Dengan Buku
Oleh :Bagus Mustakim
Membaca dan menulis buku bisa jadi merupakan suatu aktivitas yang sangat menyenangkan. Sudut pandang inilah yang dicoba diangkat penulis buku ini. Secara memikat Hernowo, sang penulis, mampu menunjukkan bahwa buku mempunyai "rasa" dan "aroma" yang bisa membangkitkan selera. Lebih dari itu membaca dan menulis buku dapat mengantarkan seseorang untuk memiliki ketajaman yang luar biasa dalam mengenali dan memperbaiki diri lewat suatu kemampuan, yang dalam buku ini disebut sebagai "mata baru".
Hanya saja, selama ini membaca dan menulis buku selalu identik dengan rasa menjemukan dan melelahkan. Buku yang menjadi sarana utama kegiatan tersebut sama sekali tidak memiliki daya tarik yang memikat. Secara keilmuan, buku boleh saja berisi segudang ilmu. Namun penampilan buku yang kaku menjadi penghambat utama bagi seseorang untuk membaca dan menyusunnya.
Hernowo melihat bahwa buku tidak lebih dari kumpulan teks. Buku tidak mampu memberikan apa-apa. Ribuan atau bahkan miliaran kata yang ada di dalamnya tidak ada yang bisa memberikan pencerahan secara mempesona. Buku hanya berputar-putar berpanjang-panjang dan sekadar mempermainkan teks. Buku sama sekali tidak mampu melampaui teks. Sekalipun terkadang mampu melukiskan problem-problem manusia yang kompleks, buku tetap saja beku. Tidak ada yang menarik di dalam buku.
Fenomena ini sangatlah ironis. Sebab sebagaimana kata pepatah, buku adalah gudang ilmu. Di era internet sekarang ini buku masih menduduki peringkat terbaik sebagai media tranformasi ilmu dan informasi yang lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Lewat buku ini, Hernowo membongkar kebekuan ini secara panjang lebar mengenai berbagai permasalahan yang bersifat paradigmatik, kultural dan sistemik yang menyebabkan buku belum menjadi partner utama dalam sistem kehidupan masyarakat.

Membangun Paradigma Progresif
Bosan dan ngantuk. Inilah kultur yang terbangun dalam membaca buku. Karenanya tak heran jika banyak orang yang memilih nonton sinetron daripada membaca buku. Sebab menonton sinetron terasa lebih santai dan menyenangkan. Berbeda dengan membaca buku yang membutuhkan banyak energi dan keseriusan yang tidak jarang justru membuat pusing para pembacanya.
Untuk memasuki dunia buku, paradigma ini harus dibongkar terlebih dahulu. Hernowo menawarkan sebuah paradigma yang menyamakan buku sebagai "makanan". Sebagaimana jasmani manusia yang membutuhkan nutrisi agar tubuh menjadi sehat, manusia pun membutuhkan energi khusus yang dapat mengasah ketajaman ruhaninya. Dalam konteks inilah buku dapat menjadi santapan ruhani manusia yang penuh gizi.
Terkait dengan gizi buku untuk kebutuhan ruhani manusia ini, Dr. C. Edward Coffey, seorang peneliti dari Henry Ford Health System mampu mengungkapkan sebuah fakta menarik tentang hubungan buku dengan kesehatan mental. Dalam penelitiannya, ia telah mampu membuktikan bahwa hanya dengan membaca buku, seseorang akan terhindar dari penyakit demensia yang menyebabkan kepikunan.
Dengan paradigma baru ini, buku dapat diperlakukan sebagai makanan, sama persis sebagaimana kita memakan makanan jasmani. Beberapa tips yang ditawarkan Hernowo dalam mengonsumsi buku sebagai makanan ruhani, di antaranya sebagai berikut. Pertama, agar membaca buku tidak menyebabkan kantuk, buku yang dibaca haruslah buku yang sesuai kegemaran dengan tema-tema yang sangat disukai sebagaimana makanan kesukaan. Kedua, sebelum membaca semua halaman buku, ada baiknya kalau buku-buku tersebut "dicicipi" terlebih dahulu. Bisa dengan jalan mengenali siapa pengarang buku itu atau dengan mencari informasi tentang sesuatu yang menarik. Ketiga, untuk menyelesaikannya, membaca buku dapat dilakukan dengan cara ngemil (sedikit demi sedikit seperti orang yang makan kacang goreng). Dengan jalan ini buku setebal 300 halaman pun dapat diselesaikan dengan santai, yaitu dengan jalan mencari halaman-halaman yang menarik dan bermanfaat dalam buku tersebut. Halaman-halaman ini sajalah yang dibaca dan didalami tidak perlu membaca semua halaman yang ada di dalam sebuah buku.
Subyek potensial yang bisa dikembangkan untuk mengenalkan buku adalah anak-anak. Hernowo membangun konsep ini dari 50 Simple Things You Can Do to Raise a Child Who Loves to Road karya Kathy A. Zahler. Ada tiga petunjuk paling awal yang dijadikannya sebagai bahan rujukan untuk menjadikan akan "keranjingan" membaca. Pertama, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar mereka benar-benar dapat melihat orangtuanya sedang membaca buku. Kedua, orangtua harus membagikan informasi-informasi yang bermanfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca kepada anak. Ketiga, pada saat membaca buku di rumah sesekali orangtua harus membacanya dengan suara keras supaya anak dapat mendengar suara bacaan yang sedang dibaca.
Di samping keteladan di atas, orangtua juga harus membangun suasana yang menyenangkan dalam memperkenalkan buku kepada anak. Ini dapat dilakukan dengan mengajak anak jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan buku. Misalnya, dua minggu sekali anak diajak untuk "mencicipi" dan melihat jajaran buku yang ada di toko buku atau perpustakaan. Bisa juga dengan membiasakan anak untuk memilih buku bacaan secara bebas sesuai dengan keinginannya. Anak juga harus diberi kebebasan untuk membolak-balik dan bermain-main dengan bukunya sendiri.
Mengenalkan buku sejak dini kepada anak ini memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun kebutuhan anak terhadap buku. Pada tahapan ini anak tidak perlu "dikarbit" untuk segera dapat membaca dalam arti memahami isi buku. Perkenalan ini hanya berfungsi untuk membiasakan anak agar sering bertemu dengan wujud huruf. Dengan cara ini akan lebih mudah untuk mengenali kembali dan menyebutkan bunyi huruf. Lebih dari itu, dengan perkenalan antara suatu rangsangan visual (melihat) huruf dan kesan auditif (mengucapkan) huruf tertentu.
Institusi sekolah merupakan suatu lembaga yang dipercaya sebagai tempat belajar membaca. Di sekolah anak mulai dikenalkan dengan huruf. Di sekolah pulalah mereka diajar mengeja dan membaca hingga memahami buku. Namun sayang sekolah tidak mengajarkan agar siswanya memiliki kebutuhan terhadap buku. Sebaliknya membaca justru menjadi kegiatan yang memberani dan memberatkan. Meskipun perangkat membaca seperti buku bacaan, buku tulis dan juga pena senantiasa berada di dalam tas siswa, namun tidak ditemukan kultur baca siswa sekolah yang mengasyikkan.
Fenomena ini merupakan persoalan klasik yang dialami oleh sekolah. Sekolah yang semestinya dibangun untuk mengawal proses perkembangan kepribadian anak justru berkembang menjadi lembaga yang memfrustrasikan. Di sekolah anak dipaksa untuk mengikuti sistem yang dikembangkan sekolah. Padahal belum tentu sistem tersebut sesuai dengan kecenderungan dan cara belajar anak yang bersangkutan. Tak heran jika sekolah justru dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu dan memberatkan.
Buku ini menggambarkan betapa Hernowo sangat terpikat dengan konsep belajar ala Bobbi DePorter dengan Quantum Learning-nya. Tidak hanya itu Hernowo juga memunculkan konsep pembelajaran yang sangat fantastis yang digagas oleh Jeannette Vos dalam The Learning Revolution. Ia juga terpikat dengan konsep Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence dan juga Multiple Intelligence-nya Howard Gardner.

Menghadirkan Rasa Fan
Melalui model-model pembelajaran tersebut Hernowo ingin menghadirkan rasa fun bagi siswa sekolah. Dengan rasa ini siswa akan merasakan bahwa sekolah ternyata merupakan tempat yang sangat mengasyikkan. Perlu dicatat di sini bahwa menyenangkan dan mengasyikkan bukan berarti menciptakan suasana ribut dan hura-hura dalam kelas. Ini tidak ada hubungannya dengan kesenangan yang sembrono dan kemeriahan yang dangkal.
Kegembiraan di sini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh serta terciptanya makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajarinya), dan nilai yang membahagiakan siswa. Itu semua adalah kegembiraan dalam melahirkan sesuatu yang baru. Penciptaan ini jauh lebih penting daripada segala teknik, metode atau media belajar yang mungkin dipilih untuk digunakan dalam proses pembelajaran.
Untuk mendukung gagasan ini Hernowo juga memunculkan fenomena "sekolah sihirnya Harry Potter". Betapa siswa yang bersekolah di sana memiliki ketergantungan yang sangat besar untuk selalu belajar dan berkreasi. Mereka justru merasa sedih ketika musim liburan tiba. Sewaktu liburan datang mereka selalu berharap agar waktu liburan dapat berjalan dengan cepat.
Dengan jalan ini akan tercipta suatu kebutuhan siswa terhadap sekolah. Sejalan dengan ini akan terbangun pula suatu kebutuhan terhadap buku sebagai sarana yang tidak bisa dipisahkan dari sekolah. Dengan demikian akan tercapai suatu kultur membaca yang mengasyikkan yang dilahirkan dari sistem sekolah yang menyenangkan.
Merujuk peta kecerdasan Howard Gardner, aktivitas membaca dapat memacu kategori kecerdasan linguistik. Kecerdasan ini merupakan suatu kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Pada halaman-halaman depan buku ini, Hernowo memberikan penekanan yang besar tentang apa yang dapat diperoleh dari kecerdasan ini. Ia mengungkapkan berbagai profesi yang dapat dikembangkan dari kecerdasan linguistik.
Di halaman depan tersebut Hernowo memunculkan sederet nama yang telah mampu melejitkan potensi diri mereka berdasarkan kecerdasan yang mereka miliki. Nama-nama tersebut di antaranya Hilman "Lupus" Hariwijaya, Emha Ainun Najib, Nurcholish Madjid, K.H. Abdullah Gymnastiar, Butet Kertarajasa dan juga Helmi Yahya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang mampu menemukan dan kemudian mengembangkan potensi sesuai dengan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya.
Sesuai dengan teori "buku sebagai makanan" yang digagasnya, Hernowo tampaknya ingin memunculkan daya tarik buku di halaman-halaman depan. Daftar keberhasilan tokoh-tokoh tersebut seolah dijadikan sebagai "aroma" yang dapat menggugah selera para pembaca. Awalan yang sedemikian menarik ini masih dilengkapi dengan berbagai tips tentang cara membaca secara kreatif. Dengan melahap halaman-halaman tersebut para pembaca akan semakin tergoda untuk mendalami buku ini lebih lanjut.

Penutup
Buku ini dapat dikatakan sebagai refleksi seorang Hernowo. Ia sangat terinspirasi oleh Akhmad Wahib (1942-1972) dan Soe Hoek Gie (1942-1969), dua orang tokoh muda yang berhasil membuat catatan harian dan kemudian mampu mewariskannya kepada generasi berikutnya dalam bentuk buku. Sebagaimana kedua tokoh muda yang mati muda tersebut, Hernowo bermaksud membagi kesuksesannya dalam bidang tulis-menulis kepada masyarakat luas. Di samping ingin mentransformasikan kesuksesannya itu Hernowo juga ingin mencapai suatu perubahan cara pandang terhadap buku dengan suatu perubahan paradigmatik, kultural, dan sistemik.
Buku ini terbagai ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama diberi judul "Makna yang Berproses". Kelompok pertama ini dibuka dengan dua tulisan yang mencoba memposisikan buku sebagai "makanan". Selanjutnya diikuti oleh beberapa konsep praktis yang dapat dilakukan untuk membuat seseorang dapat melakukan kebiasaan membaca buku sejak usianya sangat dini. Pada bagian akhir kelompok pertama ini, para pembaca diajak untuk menggunakan aktivitas membaca dan menulis buku sebagai salah satu cara untuk mengenali buku sebagai salah satu cara untuk mengenali diri. Di sini ditekankan bahwa buku dapat mengubah pandangan, sikap hidup dan cara berpikr seseorang.
Kelompok kedua dilabeli identitas "Makna yang Menjadi". Makna yang menjadi merupakan hasil pembacaan yang efektif terhadap buku. Pada kelompok kedua ini kumpulan tulisan yang disajikan seolah ingin menunjukkan bahwa Hernowo betul-betul tekah mengikat makna terhadap buku-buku yang telah dibacanya. Buku-buku tersebut berupa wacana-wacana pendidikan kontemporer alternatif yang dapat dijadikan pilihan untuk mengelola proses pendidikan secara lebih efektif sehingga mampu melejitkan diri setiap siswa yang ada di dalamnya.
Terakhir, judul yang disajikan buku ini sangatlah tepat. Ada dua hal yang ingin dicapai dalam judul itu. Pertama, membangun kultur baca yang mengasyikkan. Dan kedua, menggunakan kultur baca tersebut sebagai sarana untuk melejitkan potensi kecerdasan linguistik. Karenanya buku ini sangat cocok dikonsumsi. Di samping isinya yang menarik, penyajiannya pun amat memikat. Wajar saja jika dalam waktu dua bulan, buku in telah naik cetak sebanyak dua kali. Sungguh menakjubkan.  ** Majalah Gerbang, Edisi 4, Th III, Oktober 2003.


Menulis di Rumah Buku
Oleh : Hernowo

Di kawasan Hegarmanah, Bandung, ada sebuah tempat yang mengasyikkan. Tempat itu bukan café, juga bukan mall ataupun rental VCD dan DVD. Di tempat itu terdapat buku-buku yang memperkaya wawasan dan membantu siapa saja untuk menumbuhkan sel-sel otak (neuron). Buku-buku di Rumah Buku ada yang dijual dan ada juga yang disewakan.
Saya beruntung dapat mencicipi tempat yang mengasyikkan itu pada sore hari, Minggu 21 September 2003. Kebetulan sore itu hujan deras datang mengguyur sebentar dan mengubah hawa yang semula gerah dan berdebu menjadi sejuk dan nyaman. Sungguh sore itu merupakan sore yang mengondisikan diri saya untuk menyerap apa saja yang baik dan menarik.
Rumah Buku terletak agak masuk ke dalam, tepatnya di Jalan Hegarmanah 52. Ruangan yang digunakan untuk memajang buku-buku tidaklah besar, namun terasa asri. Ada tempat duduk yang empuk untuk membaca buku, disertai ngobrol ringan, dan ada tempat untuk menulis yang, sepertinya, mampu merangsang imajinasi.
Sore itu saya diundang oleh pengelola Rumah Buku untuk membagikan pengalaman saya menulis kepada komunitas baca-tulis yang akan dibentuk di situ. Menurut rencana, komunitas baca-tulis yang masih mencari nama itu kelak akan membincangkan kegiatan baca-tulis yang dapat memberdayakan anggotanya.
Saya tentu menyambut baik gagasan untuk mendirikan komunitas seperti itu. Indonesia masih sangat memerlukan sekian juta komunitas yang mempedulikan kegiatan baca-tulis. Ada kemungkinan, mendirikan komunitas baca-tulis pada saat ini bukan merupakan suatu kegiatan yang dapat menarik perhatian masyarakat luas.
Akan tetapi, apabila komunitas baca-tulis direkayasa sedemikian rupa sehingga menjamur, dan masing-masing komunitas itu lantas sabar untuk terus hidup dan bertumbuh, saya memperkirakan dalam jangka 3 atau 4 tahun, Indonesia akan berubah secara dahsyat. Modal penting untuk mendirikan komunitas baca-tulis hanya satu: kemauan untuk terus bertumbuh.
Usai mengikuti rapat awal yang menggairahkan, tibalah giliran saya untuk mengisahkan pengalaman saya ketika menulis. Kepada para peserta komunitas yang hadir, saya menunjukkan tiga macam strategi menulis yang saya gunakan untuk mengatasi hambatan kurangnya percaya diri pada saat menulis. Tiga macam strategi itu adalah "meniru", membebaskan diri, dan mengkonstruksi pemahaman.
Strategi pertama, "meniru", saya ibaratkan sebagai langkah wajar yang dapat dijalani oleh seorang penulis pemula. Untuk mampu melakukan sesuatu, kita harus meniru. Untuk dapat berbicara, kita harus meniru orangtua kita ketika mereka berbicara. Untuk dapat menendang bola dengan baik, kita harus meniru seseorang yang sudah berpengalaman dalam menendang bola dengan baik.
Begitu juga menulis. Kadang meniru seseorang yang sudah piawai menulis dianggap sebagai plagiat. Itu betul apabila proses meniru itu lantas kita tunjukkan kepada publik. Yang saya maksud meniru di sini tentu bukan untuk keperluan publikasi. Kita meniru menulis dalam konteks belajar menulis.
Pada saat-saat awal menulis, saya meniru Cak Nun--sapaan akrab Emha Ainun Nadjib. Cak Nun, dulu, begitu lihainya memadukan dua kata yang memiliki latar belakang budaya sangat berbeda. (Sebagai contoh, misalnya penciptaan frase "ahlul-terminal" untuk menggambarkan preman di stasiun bus.) Saya kadang terdorong untuk menciptakan frase sebagaimana cara Cak Nun menciptakan frase yang menggelitik.
Contoh lain meniru yang saya lakukan, misalnya, tiba-tiba di pikiran saya terbangun sebuah konsep tentang masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Saya ingin merumuskannya secara tertulis. Tetapi saya tidak mampu. Lalu bertemulah saya dengan tulisan Cak Nun yang cocok dengan pikiran saya yang ingin saya rumuskan itu. Saya langsung meniru saja rumusan Cak Nun.
Saya juga meniru Kang Jalal--sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat--ketika ingin menata tulisan saya. Kang Jalal adalah model saya dalam menulis secara jernih dan tertata. Saya ingin menyerap (meniru) keahlian Kang Jalal dalam menulis secara jernih dan tertata. Lantas saya membaca secara asyik buku-bukunya. Apabila saya menemukan tulisan panjang Kang Jalal yang bagus, saya menirunya yaitu dengan memindahkan tulisan tersebut ke catatan harian saya.
Juga, selain Cak Nun dan Kang Jalal, saya meniru cara menulis Ustad Quraish Shihab. Ustad yang satu ini sangat ahli dalam membongkar dan merumuskan makna sebuah kata. Saya kadang diajak untuk menjelajahi sebuah makna kata yang luar biasa kaya dan konkret. Cara memilih sebuah kata yang cocok dalam mewakili perasaan dan pikiran saya, saya tiru dari cara Ustad Quraish menulis.
Saya kok yakin bahwa dengan meniru, kita tetap dapat mengembangkan gaya-tulis khas kita. Artinya, karakter kita tidak mungkin habis digilas oleh proses peniruan kita. Model yang kita tiru--dalam hal ini berkaitan dengan menulis--malah akan membantu kita mencuatkan karakter tulisan kita. Bisa jadi, pada saat awal, kita masih dipengaruhi oleh model yang kita tiru. Tetapi, dalam jangka panjang, kita tentu dapat memunculkan keinginan, kehendak, dan kemauan kita sendiri dalam tulisan kita.
Setelah meniru, saya lalu menggunakan konsep "pembebasan diri" pada saat awal menulis. Saya membebaskan diri dari aturan apa pun, termasuk aturan kebahasaan. Pada saat awal menulis, saya memposisikan diri sedang mencari dan mengumpulkan bahan yang ingin saya tulis. Jadi, agar bahan-bahan yang tersimpan di dalam diri saya itu dapat mengalir dengan lancar, maka saya harus membebaskan diri dari kerangkeng apa pun.
Teori membebaskan diri dalam menulis ini, sekarang dikembangkan oleh para pakar menulis dengan cara-cara yang sangat menarik. Dr. Rico, misalnya, menamakan proses membebaskan diri ini sebagai cara menulis dengan teknik "clustering". Tony Buzan menamakannya sebagai teknik "mind mapping". Dan seorang psikolog kondang yang namanya sulit dieja, Mihaly Csikszentmihalyi, mengartikannya sebagai "flow".
Terakhir, setelah meniru dan membebaskan diri, saya mempersepsi menulis sebagai cara saya menyusun atau mengonstruksi proses pemahaman. Hingga saat ini, saya berpendapat bahwa lewat menulislah (mengikat hal-hal yang bermakna) seseorang dapat dibantu untuk "menguasai" suatu masalah. Ingat, "ikatlah ilmu dengan menuliskannya" kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. Demikianlah, sore itu di Rumah Buku saya menyampaikan hal-hal itu.***


Bagaimana Membuat Buku yang Bergizi
Oleh: Hernowo

Senang sekali dapat terus bertemu dengan Anda di Mizan OnLine. Meskipun pertemuan kita hanya lewat jembatan bernama kata-kata, namun saya harus bersyukur karena saya diberi kesempatan untuk terus berlatih menulis. Semoga, saya sungguh ingin berharap, pembaca juga mendapat manfaat dari tulisan-tulisan saya.
Mulai minggu depan, insya Allah, saya akan membuat tulisan berseri di rubrik "Plong" dengan topik sebagaimana judul tulisan saya ini. Saya ingin mengajak para pembaca untuk melakukan eksplorasi bersama saya ke dunia buku, tepatnya dunia yang di dalamnya kita dapat menikmati bagaimana seseorang membuat buku.
Saya akan mencoba menjadi pemandu pembaca dalam menjelajahi hampir semua corak buku yang pernah dibuat oleh para penulis andal. Tentu, kata "hampir semua" itu tidak lantas merujuk ke seluruh buku yang ada di dunia. Saya akan memilihkan buku-buku yang, menurut penilaian saya, memberikan hal-hal baru.
Titik tekan saya dalam memilih buku-buku yang memberikan hal-hal baru itu terletak pada bagaimana seorang penulis menyajikan gagasannya, dan bagaimana penyajian itu dapat memberikan suasana lain saat seorang pembaca masuk ke dalam dunia buku yang diciptakan penulis tersebut.
Apa yang saya rumuskan itu tentulah masih abstrak. Namun, saya akan mencoba menunjukkannya pada serial tulisan saya yang berkaitan dengan "bagaimana membuat buku yang bergizi tinggi". Pada tahap awal, kita akan belajar kepada penulis-penulis sukses, seperti Tony Buzan, Spencer Johnson, Jalaluddin Rakhmat, J.K. Rowling, Helen Fielding, dan masih banyak penulis lain, yang menuangkan gagasannya secara apik dan tertata.
Selanjutnya, setelah kita memiliki sejumlah pengetahuan tentang corak buku yang disajikan dengan sangat kaya dan berbeda, kita akan masuk ke pengenalan komponen buku secara sangat tajam. Dalam buku Mengikat Makna, saya telah menunjukkan secara selintas anatomi buku. Nah, di dalam serial tulisan saya kali ini, saya akan mempreteli (membongkar secara detail dan satu per satu) setiap komponen dan kemudian mengenali apa fungsi tiap komponen itu dalam "membunyikan" buku.
Setelah semuanya itu, saya akan menunjukkan kepada pembaca bagaimana kita dapat mengelola energi kreatif yang ada di dalam diri kita untuk menciptakan judul-judul yang "menggigit". Atau, dalam konteks lain, misalnya, adalah bagaimana kita memanfaatkan benar potensi kita untuk memadukan bahasa rupa (visual) dan bahasa kata (tekstual) secara melejit dan menarik.
Pembaca yang budiman, membuat buku memang dapat mengasyikkan. Bagi saya, membuat buku bagaikan melakukan pemotretan atas kehidupan diri saya, dan kemudian hasil pemotretan itu saya petakan secara apik di sebuah album. Menata foto yang diletakkan secara miring, atau memberikan komentar foto yang mengesankan, hampir persis keadaannya saat saya merakit gagasan orang lain ke dalam buku-buku saya.
Tentu, saya akan berusaha sekuat daya saya untuk tidak terjebak pada pemaparan yang pelik, rumit, dan cepat membuat para pembaca bosan. Saya akan mencoba memberikan paradigma baru dalam membuat buku. Saya akan mencoba menyajikan tulisan-tulisan saya sependek mungkin dan bersifat "how to" (bagaimana melakukan sesuatu secara praktis). Doakan saja ya supaya saya dapat memenuhi syarat-syarat yang telah saya rumuskan tersebut.
Yang lain, saya ingin proses saya menyajikan serial tulisan ini berlangsung interaktif. Artinya, saya mengajak para pembaca untuk memberikan respons dan bertanya tentang apa saja. Anda dapat langsung mengirim e-mail ke info@mizan.com, atau bisa langsung juga mengirimkannya kepada saya. Saya akan senang sekali apabila proses interaksi ini terjadi. Sebab hanya dengan bertukar pengalaman secara aktiflah, sebuah gagasan atau perumusan itu dapat terus direvisi dan disajikan dengan lebih baik.
Kemudian, selain itu pula, saya juga akan membangkitkan minat para pembaca untuk punya kemauan, terutama, dan kemampuan menulis buku. Tentu, saya tidak bisa mengarahkan agar pembaca membuat buku ini dan buku itu. Pilihan membuat buku dalam konteks ini atau konteks itu, saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca. Saya akan menunjukkan saja, di dalam serial tulisan saya ini, bahwa potensi membuat buku itu sebenarnya sudah tertanam di dalam diri pembaca.
Nah, akhirnya sampailah saya pada penjelasan soal kenapa harus menggunakan kata "bergizi" dan ditambah dengan kata "tinggi" lagi. Kan sudah cukup kalau buku itu "bergizi" dan tidak usah gizi yang dikandungnya tinggi? Benar sekali. Buku yang bergizi saja sudah cukup. Buku yang bergizi sudah pasti akan membuat seorang pembaca buku mampu menyerap gizi-ruhani yang luar biasa. Kenapa harus ditambahi kata "tinggi"?
Pembaca, saya menambahi kata "tinggi" agar di dalam menuliskan serial tulisan ini ada semacam tantangan. Saya memang belum punya konsep tentang "bergizi tinggi" itu seperti apa. Atau bagaimana merumuskan secara objektif dan bisa disetujui oleh hampir semua kalangan tentang buku yang miliki "gizi tinggi" itu. Sungguh, pada saat ini, itu belum terpikirkan oleh saya.
Saya, sekali lagi, hanya ingin ada tantangan. Soal buku yang bergizi, saya kira sudah saya jelaskan di dalam dua buku saya, Mengikat Makna dan Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Saya merumuskan buku-buku yang memiliki gizi adalah buku-buku yang mampu menggerakkan pikiran pembacanya. Dan proses penggerakan pikiran yang dapat dilakukan oleh sebuah buku, ada kemungkinan, hanya lewat susunan kata yang memang memenuhi kaidah penalaran, diksi yang baik, serta juga koherensi dan komposisi yang yahud pula, yang disajikan oleh sebuah buku.
Lantas, kira-kira bagaimana rumusan soal buku yang bergizi tinggi? Semoga saja, serial tulisan saya nanti dapat memecahkan soal ini. Selamat menikmati, dan senang dapat membantu Anda. **Bandung, 21 Agustus 2003


Jangan Berhenti Pada “Sekedar Tahu”: Paradigma Baru Pembelajaran ?
Penulis: Hernowo


Pendidikan bukanlah ibarat mengisi sebuah ember. Pendidikan adalah menyalakan sekelebat api. –William Butler Yeats

Ketika saya terus berusaha mengotak-atik wujud konkret dari kurikulum berbasis emosi, saya menemukan pentingnya mengubah paradigma pemelajaran selama ini. Gagasan memunculkan paradigma-baru dalam pemelajaran ini saya peroleh sebenarnya sudah cukup lama. Dalam buku Vitamin T, saya menunjukkan pentingnya seorang pembaca buku memiliki paradigma-baru membaca pada zaman yang serbacepat berubah ini.
Dan paradigma-baru membaca ini saya peroleh dari pemikiran Sindhunata--yang dipijakkan pada gagasan Bloom dan Conrard--yang tertuang dalam sebuah pengantar yang ditulisnya untuk buku saya yang lain, Main-Main dengan Teks Sembari Mengasah Kecerdasan Emosi. Sindhunata menunjukkan bahwa saat ini tak cukup jika seorang pembaca buku memiliki paradigma, "Apa yang dapat diberikan oleh teks?" Paradigma-lama membaca itu harus diganti dengan paradigma-baru yang berbunyi, "Teks yang mana yang dapat mengubah diriku?
 Nah, berpijak pada pemikiran Sindhunata tersebut, saya kemudian membawanya ke proses pemelajaran. Tampaknya, kini, seoang pemelajar tak cukup jika memiliki paradigma belajarnya dalam konteks, â€Å“Apa yang dapat kupahami dari mata pelajaran ini?” Merujuk ke pemikiran Sindhunata, selayaknyalah para pemelajar dewasa ini, sudah mulai mengganti paradigma-lama belajarnya dengan paradigma-baru yang berbunyi, â€Å“Apakah mata pelajaran yang kupeljari ini dapat mengubahku?"
Untuk sampai ke paradigma-baru belajar, seorang pemelajar perlu menggunakan kecerdasan emosinya. Tentu, kecerdasan rasionalnya sudah lebih dahulu digunakan untuk menganalisis hal-hal penting berkaitan dengan mata pelajaran yang ingin dipelajarinya. Namun, setelah kecerdasan rasionalnya membantu memahami mata pelajaran yang ingin dikuasainya, dia perlu melanjutkan proses belajarnya dengan menggunakan kecerdasan emosi miliknya secara sadar.
Menggunakan kecerdasan emosi berarti mencoba melibatkan atau mengaitkan dirinya dengan mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Sekali lagi, menurut para pakar otak, emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memberi arti. Lewat emosilah seseorang kemudian mencoba mengaitkan apa yang ada di dalam dirinya dengan apa yang sedang terjadi di luar dirinya. Emosi dapat membawa masuk pengalaman eksternal (atau hal-hal yang sedang terjadi di luar diri) untuk digabungkan dengan pengalaman internal (atau hal-hal yang sudah dimiliki seseorang.
Apabila sebuah mata pelajaran yang sudah dikuasai oleh seseorang ternyata tidak nyantol atau terkait dengan pengalaman internal yang telah terbangun di kedalaman dirinya, ada kemungkinan mata pelajaran itu tidak memberikannya makna. Artinya, proses belajar dengan berpijak pada paradigma-baru, "Apakah mata pelajaran yang sedang kupelajari ini dapat mengubah diriku?", ada kemungkinan tidak terbangun di dalam dirinya. Hal itu dikarenakan mata pelajaran tersebut tidak bisa dikaitkan, lewat emosinya, dengan pengalaman yang sudah tertanam di dalam dirinya.
Mengapa ketidakterkaitan itu bisa terjadi? Ada banyak penyebab. Saya ingin menyebut beberapa hal saja. Pertama, proses pemelajaran tersebut tidak dalam kondisi yang menyenangkan. Artinya, ketika si pemelajar mendapatkan mata pelajaran tersebut, dia berada dalam keadaan yang diliputi oleh emosi negatif (risau, tertekan, bingung, kekalutan, ancaman, dan semacamnya). Emosi negatif kadang bersifat menolak atau membawa seseorang untuk tidak dapat berkonsentrasi atau fokus. Kedua, lingkungan eksternal yang melingkupinya (termasuk jika ada seorang pengajar yang membantu si pemelajar memahami materi pelajaran yang dipelajarinya) benar-benar tidak menyamankan (udara panas, perut lapar, presentasi hanya satu arah, monoton, kering, kelelahan fisik dan psikis melanda, dan semacamnya).
Ketiga, di dalam diri si pemelajar memang tidak ada pengalaman yang benar-benar pernah eksis yang terkait dengan mata pelajaran yang sedang dipelajarinya. Yang mungkin perlu diperhatikan di hal ketiga ini adalah ada kemungkinan dia punya pengalaman tentang mata pelajaran yang sedang dipelajarinya, namun pengalaman itu membuatnya mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Hal ketiga ini jelas perlu dievaluasi secara cermat oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pemelajaran. Yang lebih parah jika para pengajarnya pun tidak berusaha mengaitkan lebih dahulu kehidupan yang dijalani sehari-hari dengan mata pelajaran yang ingin diajarkannya. Atau dalam bahasa lain, sang pengajar tanpa sengaja memisahkan mata pelajaran yang ingin diajarkan itu terpisah dengan dunia-nyata dirinya.
Paradigma-baru belajar ini memberikan kepada siapa saja untuk tidak lagi menganggap bahwa memahami hal-hal baru itu atau ilmu sudah cukup. Belajar pada zaman sekarang sudah tidak lagi bermanfaat apabila hanya "sekadar tahu". Tingkat â€Å“sekadar tahu” harus dilewati sehingga seperangkat pengetahuan yang sudah dipahaminya mampu mengubah dirinya menjadi diri yang baru dan berbeda dengan diri sebelumnya. Ada kemungkinan apabila diri dapat berubah setelah mempelajari sesuatu yang baru, sang diri kemudian dapat mengumpulkan semangat dan gairah untuk mempelajari sebanyak mungkin hal-hal baru lagi.
Inilah kunci dari pentingnya melibatkan dan menggunakan kecerdasan emosi dalam sebuah pemelajaran. Emosi akan membawa diri untuk menjumpai warna-warni atau pelangi pemelajaran. Emosi akan mengajak seseorang untuk melihat kekayaan dan keanekaragaman sebuah peristiwa. Dan emosi akan mengajak inner-self (diri-lebih-dalam) seseorang untuk ikut terlibat dan mencari kaitan dengan apa pun yang sedang terjadi di luar dirinya. Apabila sebuah pemelajaran dapat melibatkan emosi, proses dan hasil pemelajaran, sudah dapat dipastikan, akan membaik ketimbang hanya menggunakan kecerdasan rasional.
Bukan hanya semangat dan gairah akan muncul jika emosi dilibatkan. Ada kemungkinan besar, si pemelajar akan mencoba menciptakan sesuatu yang baru yang berasal dari kedalaman dirinya. Karena emosi dapat menjangkau hal-hal yang paling dalam yang disimpan oleh seseorang di dalam dirinya, proses penciptaan tersebut bisa jadi akan sangat unik. Jadi, lewat emosi, yang dibantu (atau bekerja sama secara komplementer dengan) kecerdasan rasional, seorang pemelajar dapat menunjukkan (mengekspresikan) dirinya lewat karya-karya ciptaannya.
Apabila seseorang dapat menciptakan sebuah karya nyata--dalam bentuk apa pun sesuai dengan jenis mata pelajaran yang sedang dipelajarinya--maka karya nyata itu bisa dijadikan bukti bahwa dirinya telah berubah. Apakah dengan mendapat nilai sembilan atau sepuluh dalam sebuah ujian lantas pemerolehan nilai itu dapat membuktikan bahwa seorang pemelajar telah berhasil mengubah dirinya menjadi diri yang baru? Ada kemungkinan ya. Namun, ada kemungkinan juga bukti pemerolehan nilai itu tidak valid. Tentu bukti itu akan menjadi sangat valid apabila dia dapat menciptakan sebuah karya yang menunjukkan keunikan dirinya setelah dia mendapatkan nilai tinggi tersebut.
Apa yang saya ungkapkan terakhir ini juga sejalan dengan definisi kecerdasan menurut penemu teori multiple intelligences, Howard Gardner. Menurut Gardner, kecerdasan, di masa sekarang, perlu dirumuskan menjadi dua. Pertama, untuk memecahkan masalah; dan kedua, untuk menciptakan sebuah karya. Defenisi kecerdasan yang pertama jelas merupakan paradigma-lama belajar. Ini berkaitan dengan tes atau ujian, sementara definisi kedua sangat terkait dengan paradigma-baru belajar. Seseorang dapat dikatakan dapat memanfaatkan pengetahuan yang telah dikuasainya (yaitu dengan mengubah dirinya) apabila mampu menciptakan sebuah karya yang sesuai dengan mata pelajaran tersebut. Semoga bermanfaat. (Subuh, 26 Januari 2005)




Membaca & Menulis Bukan Sekedar Teknik ?
Oleh  Hernowo


Hidup itu terbatas. Kita mendiami satu tubuh, satu pikiran, dan melihat dunia dengan sepasang mata. Melalui menulis dan membacalah dunia kita menjadi lebih terbuka. Kita menjadi lebih terbuka--dan dengan demikian menjadi tidak terbatas--dikarenakan dapat menggunakan "mata" (pikiran) orang lain yang tersebar di mana-mana.-JOAN LINGARD

Hari Sabtu, 3 Desember 2004, kemarin merupakan hari yang penuh kenangan. Sekitar pukul 09.30 WIB saya memasuki sebuah ruangan kelas di kampus ITB. Rasa-rasanya, dulu, saya sering memasuki ruangan kelas yang kini saya masuki dengan peran berbeda. Dulu saya memasuki ruangan itu untuk mendengarkan penjelasan para dosen. Kini saya memasuki ruangan tersebut untuk menyampaikan penjelasan kepada para mahasiswa.
Saya diundang oleh Jurusan Informatika ITB untuk menyampaikan pembahasaan mengenai salah satu kemampuan akademis, yang diperlukan untuk studi, kepada para mahasiswa baru angkatan 2004. Saya tak mengira kalau jumlah mahasiswa baru itu lebih dari seratus orang. Saya ingin kemampuan akademis yang dirumuskan oleh panitia tersebut saya rumuskan sendiri sebagai keterampilan-dasar (basic skill) penting dalam ikut menyukseskan studi. Dan basic skill yang saya sampaikan jelas tak jauh dari reading and writing skill.
Sayang, ruangan yang menghidupkan semangat saya itu lagi mengalami gangguan listrik. Sehingga OHP yang saya minta, dan sudah disediakan di ruangan kelas, tidak dapat saya gunakan. Saya pun harus berteriak agak keras ketika menjelaskan konsep saya tentang membaca dan menulis karena ruangannya cukup besar dan dipadati oleh banyak mahasiswa. Saya sebenarnya agak kurang puas kalau tak menggunakan OHP dalam mempresentasikan pikiran-pikiran saya.
Namun, alhamdulillah, presentasi saya dapat berjalan lancar dan, menurut saya, mampu mengusik perhatian para mahasiswa. Saya dapat mengajak para mahasiswa untuk berpartisipasi-aktif meramaikan ceramah saya. Ceramah saya dapat berlangsung interaktif. Saya memang meminta para mahasiswa untuk menyela (melakukan interupsi) selama saya menyampaikan penjelasan secara bebas. Saya, akhirnya, dapat menyelesaikan kegiatan saya tersebut dalam waktu hampir dua jam.
Meskipun, mungkin, saya melihat masih ada beberapa mahasiswa yang mengacungkan tangan untuk bertanya, saya harus menghentikan acara saya. Pukul 13.00 WIB, pada hari Sabtu itu, saya juga diminta oleh Jurusan Ilmu Perpustakaan UNPAD untuk menyampaikan materi membaca efektif kepada mahasiswa baru. Kebetulan penyelenggaraan acara membaca efektif tersebut berlangsung di Jatinangor. Jadi, saya harus menyiapkan diri saya supaya tidak terlambat datang ke acara kedua pada hari Sabtu itu.
Ada seorang mahasiswi ITB yang bertanya kepada saya. Sebenarnya, dia tidak bertanya. Dia menyampaikan semacam hampir keluhan. Katanya, di SMA dulu dia pernah memperoleh materi yang hampir sama dengan materi yang saya berikan. Katanya, ketika dia mengikuti program tersebut, dia memiliki semangat untuk menerapkan materi yang diperolehnya ketika dia duduk di bangku SMA. Namun, keluhnya, ternyata dia hanya tahan menerapkan materi itu dalam beberapa hari saja. Selebihnya dia tak termotivasi bahkan terjerumus dalam lembah kemalasan membaca dan menulis.
Saya langsung, secara tegas, menjawab bahwa teknik-teknik membaca dan menulis itu kadang memang diperlukan. Hanya, teknik itu perlu dibiasakan penerapannya agar manfaatnya tampak kentara. Teknik yang hanya dicoba beberapa kali dan tidak dibiasakan, tidak akan memberikan sesuatu yang bersifat memberdayakan bagi si pengguna teknik. Nah, di balik pemberian teknik ada hal lain yang perlu diperhatikan. Hal lain itu bernama paradigma. Paradigma inilah yang akan memotivasi seseorang untuk membiasakan diri dalam menerapkan suatu teknik.
Paradigma adalah isi benak atau cara berpikir kita tentang bagaimana memahami dan menindaki sesuatu. Apabila pikiran kita tidak diubah dalam menjalankan suatu teknik, maka teknik itu tidak akan memberikan apa-apa kepada kita. Jadi, apabila seorang instruktur hanya melatihkan suatu teknik membaca kepada para peserta pelatihan--dan tidak memberikan landasan berpikir yang jelas dan kukuh berkaitan dengan mengapa teknik ini atau itu yang perlu dicoba diterapkan--ya ada kemungkinan teknik-teknik itu tidak ada gunanya dalam membangkitkan semangat peserta untuk memberdayakan dirinya dengan teknik-teknik itu.
Saya jelaskan kepada si mahasiswi bahwa materi yang saya berikan untuk para mahasiswa baru Jurusan Informatika sifatnya lebih mengarah pada persoalan paradigma--lebih tepat jika dikatakan sebagai "pergeseran paradigma". Ada kemungkinan besar, ketika saya menjelaskan landasan berpikir saya, saya pun menyampaikan teknik. Misalnya, ketika saya menjelaskan konsep "mengikat makna" (mengapa kegiatan membaca perlu dibarengkan dengan kegiatan menulis), saya sebenarnya sedang memberikan teknik membaca yang efektif.
Selain konsep "mengikat makna", saya pun menunjukkan pentingnya mempersepsi buku sebagai "makanan", yaitu makanan untuk ruhani. Kebetulan ketika saya menjelaskan soal ini, buku terbaru saya, Vitamin T, sudah jadi dalam bentuk buku yang ciamik. Akhirnya dengan menunjukkan buku Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza dan Vitamin T, saya mencoba menggeser paradigma berpikir para mahasiswa tentang buku serta menunjukkan secara jelas bahwa ada buku yang bergizi dan ada pula buku yang beracun.
Kepada si mahasiswi juga saya tunjukkan bedanya teknik yang dilandasi oleh sebuah paradigma yang kuat, dan teknik yang sekadar teknik tanpa ada landasan berpikir yang hebat. Untuk memperjelas soal ini, saya bertanya kepada si mahasiswi, "Apakah Anda percaya apabila saya katakan bahwa menulis itu dapat menyembuhkan?" Si mahasiswi menjawab, "Percaya!" Saya pun melanjutkan lagi pertanyaan tersebut, "Mengapa Anda percaya? Apa landasan berpikir atau argumentasi Anda?" Si mahasiwi diam tak menjawab.
Nah, apabila Anda menerima sebuah teknik untuk melakukan sesuatu atau Anda mempercayai bahwa sesuatu itu akan memberikan manfaat kepada Anda, namun Anda tidak bisa menjelaskan mengapa itu bermanfaat bagi Anda, ya Anda tidak memiliki paradigma-baru berkaitan soal itu. Si mahasiswi bertanya mendesak, "Bagaimana saya bisa memperoleh landasan berpikir atau sebuah paradigma-baru?" "Anda perlu membaca buku yang berkaitan dengan teknik yang ingin Anda terapkan atau yang berkaitan dengan landasan berpikir yang perlu Anda pahami."
Di UNPAD, seorang mahasiswi bertanya pula tentang perbedaan antara menyerap informasi (atau pengetahuan) lewat buku dan televisi (VCD). Dia mencontohkan misalnya di Metro TV kadang ada penayangan tentang biografi seorang tokoh. Sementara itu ada juga buku yang mengisahkan tentang kehidupan sang tokoh yang ditayangkan di televisi. Apakah materi yang diserap dari dua media yang berbeda ini memang memberikan pengetahuan yang berbeda atau sama saja? Sebab kalau sama, kan lebih enak menonton televisi ketimbang membaca buku ?
Secara tersirat tampak dari pertanyaan si mahasiswi bahwa dia ingin menunjukkan kepada saya bahwa membaca buku itu berat dan menonton televisi itu ringan. Saya kira saya mengamini saja hal yang ingin disampaikan secara tersirat ini. Namun, Anda perlu tahu bahwa meskipun membaca buku itu berat, ada hal-hal penting yang tidak dapat ditandingi oleh menonton televisi dari kegiatan membaca buku. Membaca buku itu aktif dan, bisa jadi, menonton televisi itu pasif.
Saya kemudian menjelaskan paradigma-baru membaca kepada para mahasiswi yang hadir di forum yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Perpustakaan bahwa apabila Anda membaca buku, Anda sebenarnya sedang menyerap perbendaharaan kata yang ada di buku tersebut. Jadi, apabila Anda membaca buku biografi seorang tokoh, Anda sebenarnya sedang memasukkan bahasa yang mengisahkan sang tokoh ke dalam diri Anda. Dan ini tidak terjadi dengan kegiatan menonton televisi tentang biografi sang tokoh.
Nah, apabila Anda ingin mengisahkan kembali kehidupan sang tokoh yang Anda pahami, Anda akan kelabakan apabila hanya menonton televisi. Anda baru akan lancar mengisahkan kehidupan sang tokoh apabila Anda membaca buku yang mengisahkan biografi sang tokoh. Apalagi jika Anda mau menulis sesuatu tentang sang tokoh, atau Anda ingin membuat makalah tentang sang tokoh, atau Anda ingin menganalisis sang tokoh, semua ini tentu memerlukan perbendaharaan kata yang sangat kaya agar Anda lancar menuliskannya. Dan jika hal ini yang ingin Anda capai, Anda perlu membaca buku.
Membaca buku yang bercerita (yang tidak berisi data dan angka), akan membuat seseorang dapat menceritakan kembali tentang apa yang dibacanya. Ketika saya menyampaikan soal ini kepada para mahasiswa Jurusan Informatika ITB, mereka segera saja mengeluh bahwa buku-buku yang mereka baca di kampus hampir semuanya berisi bahasa pemograman yang banyak data dan simbol-simbol serta angka. "Jadi, buku semacam ini tak bisa membuat saya menceritakan apa yang saya baca secara mengalir?" tanya seorang mahasiswa. "Ya, jelas," jawab saya. "Buku itu membuat Anda tak bisa ngomong apa-apa. Apalagi untuk menuliskan sesuatu. Buku-buku itu mungkin saja memberikan pengetahauan kepada Anda, namun hanya membaca buku-buku semacam itu akan membuat Anda kesulitan menyampaikan gagasan Anda secara bercerita." "Lantas bagaimana mengatasinya Pak?" "Ya, bacalah buku-buku yang bercerita, seperti buku biografi atau catatan harian," tambah saya.
Membaca dan menulis ada kemungkinan besar memang tidak hanya berhubungan dengan teknik. Apalagi jika mengingat keadaan masyarakat Indonesia yang kurang menghargai budaya baca-tulis. Untuk mengubah kekurangperhatian bangsa ini terhadap kegiatan baca-tulis diperlukan upaya mengubah cara berpikir mereka tentang kegiatan baca-tulis. Mengubah cara berpikir mereka tentu tak semudah melatihkan teknik membaca dan menulis. Mengubah cara berpikir hampir sama dengan mengubah wajah peradaban yang dimiliki sebuah bangsa. (Minggu, 4 Desember 2004, pukul 09.26)


Aki Achdiat, Sang “Raksasa” itu
Oleh : Hernowo

Tubuhnya tampak ringkih. Ketika berdiri pun dia perlu disangga oleh sebatang tongkat. Ada dua orang yang kemudian memegang dua lengan yang dekat dengan bahunya ketika dia harus berjalan. Tampak jalannya pun tertatih-tatih. Hanya, yang mengagumkan, bicaranya masih jernih dan lancar. Dialah sang "raksasa" di dunia sastra Indonesia (kata Yudi Latif) dan dunia-sastra dunia (tambah Saini K.M.) yang pernah mencetak prestasi besar dengan menelurkan roman ATHEIS.
Saya beruntung dapat melihat, dan merasakan, secara langsung "semangat"-nya yang luar biasa ketika bicara soal sekularisme di dunia sekarang dan juga soal-soal besar berkaitan dengan ideologi. Padahal usianya sudah mendekati seabad! Padahal sepasang matanya sudah tidak mampu lagi bekerja secara normal! Sosok sang "raksasa" ini, menurut saya, sudah sepantasnya untuk saya kagumi dan teladani, meskipun saya sendiri baru bersentuhan dengan kepribadiannya sore itu.
Ketika Aki Achdiat sempat bercerita tentang proses kreatif menulisnya, saya benar-benar dibuat ternganga. Saya yang belakangan ini menekuni dunia baca-tulis dan sudah seperti merasakan memiliki seabrek paradigma baru tentang baca-tulis, menjadi keder dan bersegera menyembunyikan apa pun yang saya miliki. "Mengarang itu bagaikan menuangkan seluruh pengalaman hidup," katanya. Ketika saya menangkap kata-katanya ini, saya membayangkan bahwa "pengalaman hidup" yang dimaksudkan oleh Aki ini adalah pergulatan hidup yang dalam dan intens.
Tepat saya kira rumusan Yudi ketika mengatakan bahwa Manifesto Khalifatullah--"kispan" (kisah panjang)-nya yang merupakan karya terbaru Aki--merupakan kisah yang berbeda dengan novel Atheisnya. "Kispan" ini adalah semacam wadah yang di dalamnya kemudian dimanfaatkan oleh si penulis untuk menunjukkan pergulatan ide. Ia tak sekadar cerita. Ia tak membawa-bawa kehidupan yang biasa-biasa saja. Ia merupakan pengalaman hidup yang panjang yang ditulis tidak sebagaimana penulis sekarang. Sebagaimana kata Yudi, "kispan" ini adalah semacam kisah panjang (terlalu panjang untuk disebut novel dan terlalu pendek untuk dimasukkan ke kategori cerita pendek) berbasiskan ide.
Manifesto Khalifatullah--atau sebuah tulisan yang dapat mengubah keadaan, terutama mengubah diri para pembaca--adalah sebuah proses. Ia tidak diketik kemudian langsung jadi. Aki mengaku tak bisa menulis cepat-cepat dan sekali jadi. Menulis bagaikan, sekali lagi, menuangkan kehidupannya yang panjang dan penuh oleh pertempuran. Menulis seperti ini jelas perlu melibatkan seluruh totalitas kehidupan seseorang. Menulis seperti ini membutuhkan semacam kejujuran tingkat tinggi. Bagaimana mungkin sebuah kisah ditulis dengan hebat apabila si penulis tak punya pengalaman hebat?
Yang mengagetkan saya (kalau saya tak salah dengar lho), Aki mengatakan bahwa proses menulis itu gampang. Atau, dalam bahasa yang lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada kesulitan menulis. Menulis tidak sulit? Menuliskan kehidupan adalah hal gampang? Soedjatmoko pernah menyampaikan pengalaman menulisnya bahwa menulis itu bagaikan kehidupan seorang ibu yang sedang melahirkan anaknya. Ada penderitaan hebat dan, tentu saja, ada kesulitan hebat (kadang-kadang). Sementara itu, Sindhunata pernah juga mengatakan bahwa menulis itu merupakan kegiatan yang tidak ringan karena melibatkan pikiran secara total.
Apa kira-kira yang dimaksud oleh kata-kata Aki bahwa menulis itu gampang? "Menulis itu gampang kalau si penulis sudah mematangkan benar pengalamannya. Bahan-bahan yang ditulisnya akan mengalir begitu saja tanpa dapat dicegah." Kematangan dan kepemilikan pengalaman itulah yang rupanya menjadi syarat utama agar seorang penulis dapat melahirkan gagasan-gagasannya. Dan kematangan plus kepemilikan pengalaman inilah yang membuat sebuah tulisan yang hebat mencuat. Tentu, yang dibicarakan Aki bukanlah tulisan yang sekadarnya. Tulisan yang diharapkan lahir dari seorang penulis beneran adalah model tulisan yang dilahirkan oleh seroang penulis semacam Bernard Shaw.
Saya kemudian mendapatkan banyak sekali bahan dari penuturan Aki sore itu. Saya seperti berubah menjadi seseseorang yang lagi belajar membaca dan menulis untuk benar-benar menjadi penulis besar dan hebat kelak. Saya merasakan ada "semangat" yang ditularkan oleh Aki dan kemudian menyusupi diri saya. Mungkin saya tak harus menjadi "sebesar" Aki Achdiat ataupun Bernard Shaw. Cukuplah jika saya punya impian atau cita-cita yang mendorong saya untuk terus mendekati kebesaran dan kehebatan Aki Achdiat. Cukuplah jika kemudian saya dapat mengembangkan diri saya terus-menerus, sebagai seorang penulis, sehingga impian saya itu dapat saya capai sedikit demi sedikit dan benar-benar saya nikmati.
Nah, ketika saya ketemu dengan Haris Priyatna di acara sore itu, saya ditanya olehnya, "Mas Hernowo mau seperti Aki Achdiat?" dan langsung saya jawab dengan tegas, "Ya." Sembari sedikit menjelaskan argumentasi saya kepada Haris kenapa saya ingin meneladaninya, saya menekankan sekali bahwa yang saya teladani itu bukan sosok "raksasa"-nya di dunia sastra. Saya ingin meneledani sosok beliau yang hingga usia 94 tahun masih memiliki pikiran segar dan jernih. Pastilah itu akibat kerutinan beliau dalam menjalankan kegiatan membaca buku dan menuliskan pengalaman beliau.
Saya yakin apa yang dilakukan oleh Aki Achdiat pasti dapat saya tiru. Bahkan saya sangat menganjurkan kepada rekan-rekan di Mizan untuk mengubah kegiatan rutinnya di Mizan, dalam konteks membaca dan menulis, untuk benar-benar menjadikan kegiatan itu digunakan sebagai salah satu cara terampuh menumbuhkan dendrit atau mengayakan dan merapatkan jaringan saraf otak. Tentu saja dengan mengubah cara berpikir kita seperti itu, ada kemungkinan besar rutinitas kerja yang kadang membosankan akan mendatangkan berkah tak terkira.
Lantas, setelah saya menuliskan semua yang saya alami ketika berjumpa dengan Aki Achdiat, saya diingatkan oleh tulisan Mas Haidar Bagir yang diposisikan untuk mengantarkan karya pertama saya, Mengikat Makna. Saya benar-benar tak pernah menghilangkan dari benak saya kata-kata Isaac Asimov yang dikutip Mas HB dalam mengantarkan karya saya itu. Apa yang dikatakan Asimov? "Kalau dokter saya mengatakan bahwa hidup saya hanya tinggal 6 menit lagi, saya tak akan menciut. Saya hanya akan mengetik lebih cepat lagi." **



Mengobrolkan “Ilmu Ngglethek” Dengan Sindhunata
Oleh : Hernowo


Bakiak itu laki-laki dan wanita
tak pernah keduanya berpisah
Bila yang satu melangkah
yang lain mengikutinya
seperti suami istri yang setia

Tak mungkin yang satu menyeberangkan ke kanan
lainnya menyeberangkan ke kiri
keduanya selalu maju, kiri-kanan, kanan-kiri, berganti-ganti
Tak mungkin yang satu meninggalkan yang lain
keduanya saling menunggu untuk maju


Sindhunata, "Bakiak alias Teklek" dalam Ilmu Ngglethek Prabu Minohek (Boekoe Tjap Petroek, Sleman, 2004, h. 298)
Begitu saya membaca kidungan ini, saya teringat diri saya yang lampau ketika saya menganalogikan kegiatan baca-tulis yang diselenggarakan secara bareng bagaikan kehidupan suami-istri yang saling komplementer (dukung-mendukung atau lengkap-melengkapi). Saya menuliskan soal pentingnya kebarengan penyelenggaraan kegiatan baca-tulis itu dalam sebuah tulisan di buku saya, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Kini, saya menemukan bait-bait indah yang mampu menggambarkan dua kegiatan yang telah mengubah diri saya tersebut dalam kidungan ciptaan Romo Sindhunata.
Kidungan indah itu saya temukan di buku terbaru Romo Sindhu, Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Buku ini mengisahkan secara lugas dan tuntas kehidupan seniman ludruk kondang Cak Kartolo. Lewat gaya tulis Romo Sindhu yang mengalir dan bersahaja, saya diberi semacam makna yang luar biasa berkaitan dengan sepenggal kehidupan orang bawah. Jelas bahwa sepenggal kehidupan itu, sebelum saya membaca buku karya Romo Sindhu,  sama sekali tak terbayangkan oleh diri saya. Mungkin saja saya sudah pernah membayangakan. Namun, saya yakin, pembayangan itu bukan pembayangan yang akhirnya meyakinkan bahwa sepenggal kehidupan manusia itu memang ada secara real.
Ada empat bagian materi yang dipisahkan secara tegas ketika saya mencoba memahami "the big picture" buku tersebut. Sebenarnya, buku ini sudah selesai di tiga bagian pertama. Bagian terakhir, atau bagian keempat, adalah cara penulisnya menunjukkan manfaat yang dapat diraihnya ketika menulis buku yang memiliki bobot tinggi ini. Bagian keempat adalah bagian, yang menurut saya, sangat penting karena si penulis dapat memeragakan kepada para pembacanya bahwa dia ternyata dapat menyerap secara hampir sempurna "ilmu" yang disampaikan oleh Cak Kartolo dan rekan-rekannya. Di bagian keempat itulah sang penulis menciptakan kidungan yang "meniru" kidungan Cak Kartolo. Ini sebuah pencapaian yang spektakuler. Jarang ada penulis buku yang kemudian memanifestasikan secara konkret perolehannya begitu selesai menulis buku.
Materi pokok buku ini memang diurai secara asyik dalam bagian pertama, kedua, dan ketiga. Bagian pertama berisi esai-esai ringan, namun menunjukkan kedalaman ketika saya membacanya berulang-ulang, yang berkisah tentang kehidupan Cak Kartolo dan rekan-rekan seprofesinya. Kehidupan mereka bak panggung ludruk yang mula-mula sulit sekali saya rasakan kebenarannya, meskipun Romo Sindhu berkali-kali menekankan bahwa itulah kehidupan sejati. Mungkin lantaran saya belum pernah merasakan secara nyata (atau mungkin juga karena saya nggak mau merasakan) kehidupan sebagaimana yang dialami oleh Cak Kartolo dan rekan-rekannya, menyebabkan saya belum dapat memasukkan kehidupan nyata Cak Kartolo dan rekan-rekannya sebagai pengalaman (kehidupan baru yang menyatu dengan kehidupan) diri saya.
Kehidupan para seniman ludruk itu, sungguh, merupakan ironi. Saya, misalnya, dibuat tertawa (namun tawa saya adalah tawa yang dilandasi rasa getir) menyaksikan Cak Tamin yang hanya punya satu stel baju dan celana. Jika baju dan celananya kotor, dia harus mencucinya dengan cara yang saya kira sulit diungkapkan kebenarannya dalam kata-kata. Bayangkan, setelah mencuci baju dan celana itu, dia harus kungkum (berendam) di sungai tempat dia mencuci baju dan celananya hingga baju dan celananya kering kembali. Apa mungkin ada kehidupan seperti ini? Dalam ludruk, dalam kehidupan para seniman ludruk, kehidupan seperti itu ternyata ada.
"Manusia adalah makhluk yang sangat pelit dengan tertawa," demikian tercantum sederetan tulisan di sampul belakang buku Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. "Padahal hanya dengan tertawa, ia akan menjadi makin bijaksana. Hanya dengan tertawa, ia akan kuat dan bisa menerima hidupnya sehari-hari yang rutin dan biasa, dengan segala beban dan kesulitannya. Tertawa adalah intisari ilmu ngglethek. Hanya dengan tertawa, kita bisa menyelami, sesungguhnya hidup ini hanyalah ngglethek belaka. Ngglethek, maksudnya, adalah apa yang kita bayangkan ternyata lain dengan kenyataan yang terjadi, dan apa yang kita usahakan mati-matian, ternyata tak berarti apa-apa buat hidup kita."
Dalam bagian kedua dan ketiga buku ini, saya menemukan banyak hikmah kehidupan. Ingin saya katakan di sini bahwa Cak Kartolo adalah seniman ludruk yang brilian. Ketika saya menyampaikan soal ini kepada Romo Sindhu, dia hanya bilang bahwa Cak Kartolo memang punya "kepekaan" yang sulit dirumuskan dengan kata-kata. Ringkasnya, Cak Kartolo memang punya "kelebihan" yang tak dimiliki seniman lain. Menciptakan kidungan dan jula-juli bukan pekerjaan gampang. Kidungan-kidungan itu ada aturannya yang ketat. Seseorang yang mencipta puisi di zaman kini mungkin lebih mudah karena kata-kata yang diciptakannya tidak diberi "bingkai". Sementara itu, kidungan model ludrukan Cak Kartolo perlu "bingkai" yang membuat kidungan itu dapat didendangkan (dengan, kadang, rasa getir yang mengoyak sukma).
Kidungan ciptaan Cak Kartolo dapat saya nikmati di bagian kedua, meski saya harus meraba-raba apa sesungguhnya makna kata-kata yang dibawa oleh kidungan miliknya itu. Lalu, ciptaan lain yang tak kalah hebatnya ada di bagian ketiga yang bercerita tentang lakon-lakon jula juli guyonan Cak Kartolo. Ada tiga lakon yang ditunjukkan oleh Romo Sindhu. Ketiga lakon itu berjudul Basman Juragan Genthong, lalu Cacing Anil, dan Loro Pangkon. Entah kenapa lakon Tumpeng Maut tidak dipertunjukkan di buku ini. Mungkin karena di bagian pertama, seluk beluk terciptanya atau hal-hal yang berkaitan dengan soal tumpeng itu sudah dibahas secara cukup komprehensif.
Apa yang saya peroleh usai membaca buku Romo Sindhu tentang Cak Kartolo ini? Pertama, saya memperoleh kehidupan yang kaya. Kegiatan membaca yang senantiasa saya persepsi sebagai sebuah cara menyerap kekayaan hidup saya peroleh dari buku ini. Saya diajak untuk menikmati kehidupan masyarakat bawah yang penuh ironi. Di balik kesedihan, di balik, penderitaan, dan di balik kesulitan hidup mereka ternyata ada tawa. Ketika saya sempat ngobrol langsung dengan Romo Sindhu, dia mengatakan bahwa tawa mereka itu mungkin dapat dikatakan semacam cara untuk mentransendensikan kepahitgetiran hidup. Orang-orang bawah itu dapat bertahan dan lebih kuat dalam menahan gempuran hidup yang menekan lantaran mereka mampu tertawa--meskipun tawa itu muncul lantaran ironi kehidupan mereka.
Kedua, buku ini membuktikan pentingnya para intelektual kita untuk bersegera mengabadikan (mendokumentasikan) warisan yang sangat bermanfaat untuk melangsungkan kehidupan kita di zaman yang gampang berubah seperti saat ini dalam bentuk tulisan yang berkisah (yang memudahkan seseorang menikmati dalam konteks membaca). Saya katakan kepada Romo Sindhu bahwa penyamarataan (globalisasi) manusia yang gencar berlangsung pada saat ini hanya bisa dikalahkan apabila kita memiliki keunikan etnis. Artinya, kita berbeda karena kita punya akar yang khas, yang menyejarah, dan dapat dilacak keberadaannya di masa lalu. Memang, mustahil untuk mempertahankan pentas ludruk dalam zaman seperti ini. Yang dipentingkan pada saat ini adalah merefleksikan kekayaan warisan ludruk dalam bentuk yang kontekstual dengan zaman. Kata Romo Sindhu, ini jugalah yang kemudian dilakukan oleh para filosof Barat dalam merefleksikan legenda atau drama-drama Yunani.
Ketiga, ketika saya membaca buku karya Romo Sindhu, saya mempersepsi diri saya mampu menyerap kemampuan Romo dalam berkisah tentang kehidupan manusia. Buku ini jelas bukan buku yang berisi kisah fiksi. Ini kisah yang real, yang nyata, dan ada di bumi kita. Kemampuan Romo berkisah tentang kehidupan seniman ludruk adalah kemampuan yang sulit dicari tandingannya. Kata-kata yang tercipta dari kepiawaian abstraksi Romo atas kehidupan para seniman ludruk--dalam menggambarkan kehidupan (misalnya, rasa getir--bukanlah kehidupan (rasa getir) sebagaimana digambarkan oleh kamus-kamus bahasa. Rasa getir yang diciptakan Romo dari kehidupan para seniman ludruk adalah kata yang memiliki daya gugah sekaligus daya ubah yang dahsyat. Saya merasakan benar soal ini dan saya kemudian malah tertulari oleh gaya berkisah Romo berkaitan dengan bagaimana saya nanti menuliskan sesuatu secara mengalir (misalnya kehidupan saya sendiri).
Obrolan saya dengan Romo Sindhu memang tidak hanya lewat buku ciptaannya. Pada siang hari yang terik, sekitar pukul satu lebih empat puluh lima menit, hari Rabu 17 November 2004, saya bertemu beliau di kantornya, yang terletak di Deresan, Jogjakarta. Kantor majalah Basis begitu nyaman dan asri. Pepohonan tinggi dan besar masih memenuhi halaman-halaman yang sangat luas. Panas terik yang menyengat kota Jogja dapat diredam dan diubah oleh dedaunan yang menghijau menjadi angin semilir yang menyehatkan sekaligus memberikan gairah untuk hidup lebih baik di masa depan. Saya ngobrol dengan Romo Sindhu di tempat yang nyaman dan asri ini. Sekitar dua jam kami mengobrol ditemani teh panas dan potongan mangga yang ranum.
Kehidupan memang indah. Kehidupan yang kadang kita lihat tampak garang dan mengerikan, sebenarnya dapat kita ubah menjadi kehidupan yang damai dan menenteramkan. Siapkah kita mengubah kehidupan yang kadang tampak garang dan angker itu menjadi kehidupan yang indah memesonakan? Siapkah kita melihat diri kita sendiri dan bersabar lebih dahulu dalam melihat diri sendiri sehingga diri kita benar-benar mau dan mampu memperhatikan atau mempedulikan diri sendiri kita sebelum kita ingin memedulikan orang lain? Siapkah kita mengubah diri kita lebih dahulu sebelum terburu-buru memperingatkan orang lain dan mengajak mereka untuk berubah?
Kadang kita sendiri belum memahami diri kita sendiri. Kadang, yang lebih parah, kita terburu-buru melompat untuk memperhatikan diri orang lain sebelum diri kita sendiri tuntas kita perhatikan. Melalui karya-karya Romo Sindhu dan menikmati proses berinteraksi dengan pikiran beliau, saya merasakan bahwa saya masih harus banyak belajar. Saya masih harus meningkatkan kegiatan berlatih saya membaca dan menulis untuk menyerap sesuatu yang pokok dan penting bagi perubahan diri saya agar diri saya terus mampu menjadi lebih baik. Obrolan dengan Romo Sindhu mengingatkan saya bahwa manusia itu lemah. Hanya dengan membagikan apa yang kita milikilah kelemahan kita itu dapat kita ubah menjadi semacam kekuatan yang luar biasa.
Terima kasih untuk Romo Sindhu atas waktu yang disediakan untuk saya pada hari Rabu itu. Saya merasakan hari-hari saya ke depan semakin bertambah cerah dan menggairahkan diri saya untuk terus mau belajar membaca diri saya dan menuliskan secara cermat tentang pertumbuhan dan perkembangan diri saya.Teruslah berkarya Romo. Dan sampaikan semua yang ingin Romo sampaikan dalam bahasa yang mengalir, bahasa yang menggugah dan memiliki daya ubah. (Ditulis di Jogja, Kamis pagi,18 November, dan disempurnakan di Bandung, Sabtu pagi, 20 November 2004 dalam keadaan yang menyenangkan dan menyamankan). **


Revisioning : Menyunting Berbasiskan Emosi Posistif
Oleh : Hernowo

Segala sesuatu yang ingin Anda kerjakan harus menjanjikan manfaat bagi Anda atau Anda tidak akan termotivasi untuk melakukannya.-Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning

Saya mempersepsi tugas seorang editor sebagai tugas memberikan opini-kedua (second opinion). Tugas editor tidak hanya berkaitan dengan perbaikan bahasa. Editor juga perlu memperhatikan gagasan yang dibawa oleh sebuah tulisan dan, ini yang penting, bagaimana gagasan tersebut dapat dikemas menjadi sesuatu yang mudah dibaca dan memotivasi sang pembaca.
Berdasarkan persepsi saya tersebut, saya berharap seorang yang ditugasi untuk menyunting (baca: memperbaiki) sebuah tulisan menjadi mampu untuk memperkaya dan memperindah tulisan yang disuntingnya. Salah satu tugas penting editor dalam konteks memberikan opini-kedua adalah membuatkan judul-judul baru. Judul-judul baru ini dapat terletak di jantung tulisan dan juga di sekujur tulisan.
Keberhasilan seorang editor, biasanya saya soroti dari kepiawaiannya menemukan judul yang lain daripada yang lain. Bagi saya, judul adalah identitas sebuah tulisan. Judul adalah perasan dari inti gagasan sebuah tulisan. Pabila judul tidak "menggigit", ada kemungkinan seorang pembaca tidak tertarik untuk memperhatikan secara saksama sebuah tulisan yang sedang dibacanya.
Memang, kadang pembaca tidak memerlukan judul yang "menggigit". Asal judul itu sudah memberikan suatu makna tertentu yang membuatnya tertarik untuk membaca, itu sudah cukup. Biasanya, straight news tidak memerlukan judul yang, katakanlah, bombastis. Judul untuk sebuah berita cukup apabila dapat langsung memberikan pemahaman atas apa yang sedang terjadi.
Ini berbeda dengan feature. Feature jelas membutuhkan judul yang "menggigit" dan impresif. Penulisan feature lebih bebas daripada penulisan berita. Waktu untuk menulis feature juga lebih banyak ketimbang menulis berita yang kadang sangat dibatasi oleh keadaan. Dengan keadaan seperti ini, seorang editor kemudian dapat lebih leluasa untuk memilih dan menentukan judul yang menarik perhatian pembaca.
Mengapa saya menekankan sekali persoalan judul? Saya menekankan soal judul ini karena di sinilah letak dari seni menulis. Dalam bahasa Quantum Learning, seni menulis ini disebut sebagai teknik "show not tell" (memeragakan dan bukan hanya memberi tahu kepada pembaca). Ketika sebuah tulisan tidak dapat berperan sebagai seorang peragawati yang melenggok-lenggok di catwalk, bisa jadi sebuah tulisan itu mati.
Tulisan yang menggugah adalah tulisan yang mampu menunjukkan dirinya. Tulisan yang menarik minat seorang pembaca untuk mau terus memperhatikan tulisan yang dibaca adalah tulisan yang dinamis. Untuk memahami seni menulis ini, saya akan mengutipkan beberapa contoh yang saya ambil dari buku Quantum Learning, tepatnya di Bab "Menulis dengan Penuh Percaya Diri".
Ini contoh kalimat yang memberitahukan: Ini adalah hari yang indah. Hujan menimpa atap. Di seberang jalan, padang rumput menghijau.
Ini contoh kalimat yang memeragakan atau menunjukkan: Ketika membuka jendelanya pada hari Sabtu pagi yang cerah, dia merasakan kesegaran menebar di udara. Dedaunan di setiap pohon kemilau terkena pantulan sinar mentari. Hamparan bunga yang beraneka warna menghiasi jalan masuk dan berseru, "Musim semi!"
 "Penjelasan yang hidup adalah alat yang ampuh bagi para penulis. Ketika Anda belajar menulis deskripsi, Anda akan mampu mengembangkan gambaran visual dalam benak para pembaca. Anda akan mengubah pernyataan-pernyataan yang kering mengenai fakta menjadi ilustrasi yang memesonakan. Orang tidak hanya akan membaca dan memahami, tetapi mereka akan menghubungkan dan bereaksi," tulis Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam karyanya, Quantum Learning.

***
Dalam buku Write Where You Are: How to Use Writing to Make Sense of Your Life karya Dr. Caryn Mirriam-Goldberg, ada beberapa hal menarik yang perlu juga diperhatiakan oleh seorang editor. Salah satu hal menarik yang ingin saya perkenalkan di sini adalah konsep revisioning (meninjau kembali). Saya berpendapat bahwa konsep revisioning ini perlu dijadikan rujukan oleh para editor yang ingin menjadikan sebuah tulisan yang diperbaikinya menjadi tulisan yang menggugah.
Hebatnya, Dr. Caryn tidak hanya menunjukkan bagaimana melakukan revisoning. Dia juga menjabarkan secara detail bagaimana seorang editor dapat mempraktikkan secara baik konsep tersebut. Salah satu di antara persyaratan penerapan konsep revisioning adalah seseorang perlu berada di dalam kondisi yang memungkinkan emosi positif muncul.
Dalam buku Meraih Kebahagiaan, Jalaluddin Rakhmat menunjukkan adanya empat ciri berkaitan dengan emosi positif. Pertama disebut joy (keriangan), kedua interest (ketertarikan), ketiga contentment (kepuasaan), dan keempat love (kasih sayang yang menyebar). Apabila empat ciri ini tampak pada seseorang, niscaya orang tersebut berada dalam balutan emosi positif.
"Jangan pernah menganggap revisi sebagai memperbaiki sebagai sesuatu yang salah," tulis Dr. Caryn mengutip pendapat Marion Dane Bauer. "Anggapan itu akan membuatmu memulai dalam keadaan mental yang negatif. Lebih baik menganggap revisi sebagai kesempatan untuk meningkatkan sesuatu yang kamu sukai."
Di tempat lain di dalam bukunya, Dr. Caryn juga menulis soal revisi ini dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat, "Anggap revisi sebagai kesempatan untuk melihat hasil karya seseorang dengan mata segar. Dalam prosesnya, Anda (wahai para editor) lebih banyak belajar mengenai diri sendiri, mengenai sebuah tulisan, dan bagaimana Anda dapat memperbaiki sebuah tulisan. Proses menulis (dan tentu saja menyunting--H)--menulis sesuatu, membentuknya, memperbaikinya, dan membiarkannya bertualang di sebuah dunia yang baru--dapat membantu Anda lebih banyak dari sekadar menuangkan tulisan sekali jadi."
Ketika saya membaca dan memahami tulisan Dr. Caryn tentang merevisi (memperbaiki) tulisan ini, saya mendapatkan gairah, motivasi, dan sesuatu yang ingin saya raih lewat kegiatan menulis dan memperbaiki tulisan. Merevisi tulisan jadinya adalah sebentuk kegiatan yang sangat menyenangkan. "Meninjau kembali (revisioning) adalah kata yang diciptakan penyair Adrienne Rich. Kata ini berarti melihat tulisan dan hidup Anda dengan cara baru untuk melihat kemungkinan yang ada di luar batas-batas waktu dan adat kebiasaan," tulis dr. Caryn menutup uraiannya. **Bandung, 24 Oktober 2004


Menulis Feature di Dunia Venus
Oleh: Hernowo

Hampir setiap penulis profesional tahu tentang Fog Index--agar tulisannya mudah dibaca: menulis dengan kata-kata yang sederhana dan aktif, serta kalimat-kalimat yang pendek, jelas, dan padat-berisi. -GORDON DRYDEN DAN JEANNETTE VOS

Tulisan yang bagus biasanya bernada seperti mengobrol. Tentu saja, untuk beberapa topik, gaya yang lebih formal pasti lebih sesuai--tetapi jangan salah menganggap bahwa bersikap serius itu sama dengan bersikap membosankan. -COLIN ROSE


"Bumi kini telah menjadi Venus," kata pakar marketing, Hermawan Kartajaya, dalam karyanya yang menerobos, Marketing in Venus. "Dunia Venus adalah dunia yang lebih emosional dan interaktif. Di dunia itu, EQ lebih unggul ketimbang IQ atau--dalam bahasa yang lain--feel lebih penting dari think." Oleh sebab itu, lanjut Hermawan, "Untuk memenangkan persaingan di Venus, Anda harus lebih banyak bermain di context (how to offer). Content--what to offer--yang bagus adalah suatu keharusan. Namun, content yang bagus tidaklah cukup. Content hanyalah 'tiket' untuk masuk ke arena persaingan, bukan untuk memenangkan persaingan. Context-lah 'tiket' Anda untuk memenangkan persaingan di Venus."
Saya berpendapat dari sejak dahulu, apa yang dirumuskan sebagai jenis tulisan yang dapat dikategorikan sebagai feature (karangan khas) tidaklah berubah. Merujuk ke pandangan Hermawan, content yang dikandung feature adalah tetap. Menurut Drs. Andi Baso Mappatoto, M.A.--pernah menjabat Ketua Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA)--dalam bukunya, Teknik Penulisan Feature (Karangan Khas), arti kata feature adalah "karangan lengkap nonfiksi bukan berita-lempang (straight news) dalam media massa yang tak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas yang kadang-kadang menggunakan sentuhan subjektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan dengan tekanan pada daya pikat manusiawi untuk mencapai tujuan memberitahu, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca".
Dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas content (what atau apanya) tulisan yang dapat digolongkan sebagai feature. Saya akan lebih menekankan pembahasan pada context (how atau cara), yaitu bagaimana seorang penulis dapat menciptakan feature yang menarik dan sesuai perkembangan zaman. Dalam bahasa Hermawan, saya ingin mengajak siapa saja untuk menulis feature yang dapat dinikmati masyarakat Venus dan tulisan tersebut benar-benar dapat "memenangkan" persaingan dalam merebut hati sebagian besar pembaca. "Memenangkan" di sini saya artikan sebagai sebuah kesuksesan yang dicapai sebuah tulisan feature dalam menginspirasi atau--dalam bahasa saya--menyentuh dan kemudian mampu "menggerakkan" pikiran pembacanya.
Untuk keperluan tersebut, saya menggunakan empat tulisan sebagai sumber rujukan dalam membahas context tulisan feature yang cocok untuk masyarakat Venus--sebuah masyarakat yang lebih menekankan sisi emosional ketimbang rasional. Keempat tulisan itu adalah, pertama, karya Ignas Kleden, "Esai: Godaan Subjektivitas"; kedua, karya Agus R. Sarjono, â€Å“Sebuah Bukan Esai tentang Esai” (kedua tulisan ini dimuat di majalah sastra Horison, edisi Januari 2004); ketiga, karya Mula Harahap, "Tentang Esai-Esai Pribadi" (saya peroleh dari sebuah milis di internet); dan keempat, karya Farid Gaban, "Kolom: Esai dengan Gaya" (pernah disampaikan di depan para editor Penerbit Mizan).

Feature yang Berbasiskan Esai ?
Tentu saja feature bukan esai, atau esai bukanlah feature. Kata Ignas Kleden, esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan. Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan. "Sebuah esai, karena itu," tulis Ignas, "menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, dan daya tarik itu muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.
"Apabila kita membaca esai Putu Wijaya, 'Meditasi di Madison', maka yang menarik di sana bukanlah lukisan pengarang tentang suasana di sebuah universitas Amerika tempat dia tinggal dan bekerja selama beberapa bulan. Yang membuat kita tercekam adalah cerita pengarang tentang dirinya sendiri. Kita turut merasakan betapa dia gugup melatih para mahasiswa Amerika agar dapat memainkan sebuah teaternya berjudul 'Gerr'. Betapa pula dia kesulitan dan cemas--dengan bahasa Inggris yang masih terbatas--menjelaskan konsep teaternya dan berusaha melepaskan para mahasiswanya dari konsep teater barat, sebagaimana yang mereka pelajari dari kuliah dan latihan yang mereka peroleh sebelumnya."
Subjektivitas dalam mengutarakan gagasan adalah hal yang memberikan watak khas pada esai. "Apabila subjektivitas itu dikontrol dan ditekan sampai minimal, maka yang kita dapati adalah tulisan ilmiah. Seperti kita tahu, ilmu pengetahuan menuntut lukisan dan uraian dapat diusahakan sedekat mungkin dengan keadaan suatu objek yang diteliti atau yang sedang diamati, Subjektivitas yang terlalu banyak dianggap mengganggu dan merendahkan mutu sebuah tulisan. Esai, sebaliknya dari itu, justru menghidupkan subjektivitas," tulisan Ignas menegaskan.
Ada banyak jenis tulisan yang bagus di media massa, namun tulisan itu jarang dibaca oleh para pembacanya. Mengapa? "Hal ini karena banyak tulisan dalam rubrik opini, misalnya, yang memiliki kecenderungan bernada kering, tidak 'berjiwa'. Para penulis, lagi-lagi, kadang-kadang punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: objektif, berjarak, anti-humor, dan tanpa bumbu," tulis Farid Gaban. "Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir 'semua orang'. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman, dan tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan."
Bagaimana agar sebuah tulisan dapat menarik perhatian, renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu)? "Kreativitas," jawab Farid Gaban pendek. Kreativitas? Ya. "Dalam era kebebasan seperti sekarang ini, seorang penulis dituntut memiliki kreativitas yang lebih tinggi untuk memikat para pembaca. Para pembaca, dewasa ini, memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran atau majalah lain, tetapi juga bersaing dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu para pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, berselancar di internet, mengasuh anak, dan sebagainya."
Farid kemudian mengenalkan satu "genre" baru penulisan esai yang disebutnya sebagai "creative nonfiction", atau nonfiksi yang ditulis secara kreatif. "Dalam 'creative nonfiction', penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti-klimaks, serta ironi) ke dalam nonfiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak objektif, 'creative nonfiction' juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subjektivitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subjektivitas lebih banyak, esai seperti ini juga umumnya menawarkan kekhasan gaya ('style') serta personalitas si penulis," demikian tulis Farid Gaban.

Langkah Menuju Penulisan Feature yang "Menggugah"
Seperti tergambarkan dalam penjelasan Ignas dan Farid tentang bentuk tulisan esai di atas, feature dapat ditulis secara lebih "menggugah" apabila si penulis dapat melakukan pergerakan secara tepat dari tulisan yang bersifat subjektif menuju tulisan yang bersifat objektif. Dalam bahasa akademis, feature yang "menggugah" adalah feature yang berada di antara tulisan yang benar-benar bebas dan tulisan yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Atau, mengikuti rumusan Edward de Bono, tulisan tersebut dapat dipenuhi dengan cara bergerak dari pemikiran vertikal menuju pemikiran lateral. Berikut ini usulan tiga langkah saya untuk menjadikan diri Anda sebagai penulis feature yang andal.
Pertama, ketika Anda ingin mengawali kegiatan menulis esai, cobalah menggunakan metode "mind mapping" (pemetaan pikiran). Metode ini, setidaknya, akan mendukung Anda dalam membuat jaringan fakta (bahan yang hendak diungkapkan dalam bentuk feature) secara detail dan terkuasai secara total. Apabila "peta pikiran" dapat dibuat, si penulis feature dapat memiliki keyakinan tinggi bahwa bahan-bahan yang dikumpulkan memang hampir mendekati lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Dan untuk mengecek apakah bahan-bahan yang sudah dikumpulkan itu memang sangat lengkap (dan kemudian dapat benar-benar dikuasai), penggunaan metode "mind mapping" (Tony Buzan) atau "clustering" (Gabriele Rico) dapat sangat membantu.
Kedua, diri si penulis (terutama pengalaman yang sudah dimiliki si penulis) benar-benar connect dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Apabila ini dapat dilakukan, maka tulisan feature akan unik. Kata Viki King, "Anda sedang menulis feature yang tidak mungkin ditulis oleh orang lain. Sebuah kisah yang berkobar di dalam diri Anda adalah feature yang 'komersial'. Anda tidak menjadi penulis kelas dua di bawah siapa pun. Anda menjadi yang terbaik bagi diri Anda sendiri. Anda memiliki satu hal yang layak jual sebagai seorang penulis--sudut pandang Anda. Sudut pandang Anda adalah sebuah cara unik untuk melihat dunia berdasarkan seluruh pengalaman Anda dan bagaimana Anda merasakan dunia di seputar Anda."
Ketiga, awalilah menulis feature dengan memanfaatkan otak kanan. Menurut Roger Sperry, pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran yang menemukan dua belahan otak, setiap orang punya otak kiri dan otak kanan yang berfungsi secara berbeda. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, urut, dan rasional. Belahan ini sangat teratur. Sementara itu, proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi. Dengan menggunakan otak kanan lebih dahulu, berarti bahan yang akan dialirkan menjadi lebih terbuka, bebas, dan tidak kaku. Baru setelah semua bahan dikeluarkan oleh otak kanan, gunakan otak kiri untuk menatanya. Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan mampu "menggerakkan" pikiran Anda.[]


Mengeksplorasi Potensi Kecerdasan
Oleh : Hernowo

"Pada akhir tahun 2002, Andrew Oswald dari Warwick University mempublikasikan sebuah survei atas 2.500 orang Inggris yang dipilih secara acak. Survei Oswald menunjukkan bahwa penjelajah Internet lebih banyak yang menjadi anggota grup komunitas atau organisasi sukarela dibandingkan yang nonpenjelajah Internet.
"Lebih jauh diungkapkan oleh Oswald bahwa para penjelajah Internet itu kemungkinan besar adalah mereka yang mengunjungi gereja secara teratur, lebih berpendidikan, dan lebih memiliki penghasilan yang baik ketimbang orang yang bukan penjelajah.
"Kebalikan dari opini umum yang terdapat di Inggris, tampaknya para penjelajah Internet sudah mulai dapat menyeimbangkan kehidupan elektronis mereka dengan kehidupan sosialnya. Mereka tidak terus-menerus membungkuk di depan komputer sepanjang hari sebagaimana semula diasumsikan. Mereka, ternyata, lebih jarang menonton televisi daripada rata-rata orang lainnya.
"Ini menyiratkan bahwa ketimbang menggunakan waktu bebasnya untuk kegiatan yang bersifat pasif, mereka secara aktif menggunakan Internet untuk berhubungan sosial dengan orang lain."
Laporan tentang survei Oswald ini saya peroleh dari buku Tony Buzan yang membahas kecerdasan sosial. Secara menarik, Buzan menunjukkan bahwa Internet dapat memperkaya kehidupan sosial seseorang. Ini berarti, Internet dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kecerdasan sosial seseorang.
Data lain yang menarik juga ditunjukkan oleh sebuah studi yang dilakukan di Jepang. Seorang spesialis otak, Takashi Tsukiyama, melakukan penelitian ke sebuah kelompok yang mengalami penurunan daya ingat. Dia tertarik meneliti kasus tersebut karena surat kabar Straits Times pernah membuat berita yang kurang lebih menyatakan bahwa "kurangnya interaksi sosial di antara generasi muda di Jepang menyebabkan menurunnya daya ingat seseorang".
Para peneliti membenarkan hal ini, dan menuding bahwa penyebab utamanya adalah kecenderungan meningkatnya isolasi sosial di antara orang-orang karena mereka terlalu bergantung pada mesin-mesin yang secara bertahap mengikis daya ingat. Banyak orang yang diam dan terkungkung di dalam rumah dan tidak memiliki kesempatan untuk saling bersosialisasi secara tatap muka. Hal ini dikarenakan sejak kecil mereka sudah akrab dengan video games.
Menurut para peneliti lebih jauh, sosialisasi membutuhkan kesiagaan terus-menerus dan daya ingat yang teruji di mana semua indra--yang merupakan pilar utama daya ingat--digunakan secara aktif. Para peneliti juga menyimpulkan bahwa mainan dan layar komputer yang bersifat mengisolasi diri menghambat pertumbuhan daya ingat.
Dalam bukunya itu, Buzan tidak hanya menunjukkan secara menarik tentang fakta-fakta baru yang mengubah proses pemelajaran berkaitan dengan peningkatan kecerdasan. Dia, secara terampil dan lugas, juga mengajak para pembacanya untuk mengeksplorasi setiap jenis kecerdasan yang dimiliki oleh manusia. Bahkan, buzan juga menunjukkan secara gamblang bahwa jenis kecerdasan yang satu dapat menunjang pelejitan jenis kecerdasan yang lain.
Ketika Buzan menyinggung kecerdasan spasial atau "picture smart", dia mengatakan begini: "Termasuk dalam kecerdasan spasial adalah kemampuan menempatkan atau meletakkan barang dalam suatu lingkungan tertentu sehingga dapat menimbulkan rasa nyaman dan menyenangkan bagi orang lain. Seni yang berasal dari negeri Cina kuno yang disebut Feng Shui adalah pemanfaatan kecerdasan spasial yang diterapkan pada kecerdasan sosial."
Ketika Buzan sampai pada kecerdasan fisik (physical intelligence) atau dalam bahasa Howard Gardner diistilahkan sebagai bodily-kinestetic intelligence, dia menunjukkan manfaat kecerdasan ini. Menurutnya, kecerdasan fisik menyangkut kemampuan menjadikan diri fit secara fisik, leluasa bergerak, seimbang serta tenang dan semuanya terkendali. Menyantap makanan yang bergizi, memiliki tubuh yang kuat, lentur, dan bugar juga termasuk dalam kemampuan kecerdasan ini.
Nah, bila Anda mampu mengembangkan kecerdasan fisik, kata Buzan, lingkungan teman-teman Anda secara otomatis akan menjadi semakin luas. Hal ini dikarenakan naluri orang-orang akan membawa mereka kepada seseorang yang sehat, seimbang, serta penuh semangat dan gairah hidup.
Meskipun Buzan tidak sebagaimana Gardner yang melakukan penelitian, namun proses penjelajahan Buzan atas pelbagai potensi kecerdasan dapat membantu kita untuk melihat secara luas dan kaya tentang peran masing-masing kecerdasan dalam menumbuhkembangkan diri. Saya juga kaget ketika Buzan menemukan tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai seberapa tinggi kecerdasan verbal atau "word smart" yang dimiliki seseorang.
"Kecerdasan ini diukur berdasarkan besarnya perbendaharaan kata yang Anda miliki," katanya. "Lalu juga kemampuan Anda untuk dalam waktu yang singkat mengerti hubungan antara suatu kata dengan hal-hal lain; sejelas apa Anda dapat mengekspresikannya, ketajaman Anda dalam melihat hubungan logis yang terdapat pada kata-kata, dan keanekaragaman imajinasi yang Anda gunakan."
Meskipun saya ragu ketika Buzan mengaitkan imajinasi dengan kecerdasan verbal, saya merasakan betapa J.K. Rowling dapat menggegerkan dunia perbukuan, lewat serial novel fantasi yang fantastis, Harry Potter. Ada kemungkinan besar, Rowling menjadi salah seorang terkaya di Inggris ya gara-gara kekuatan imajinasi Rowling yang yang sangat dahsyat itu.
Ketika mengaitkan kecerdasan verbal dengan kecerdasan sosial, Buzan pun mengajak saya untuk memasuki wilayah yang sungguh mencengangkan saya. "Dalam percakapan normal, kecerdasan verbal yang berkombinasi dengan bahasa tubuh merupakan paket yang utuh!" Lantas, Buzan juga menunjukkan kepada saya, "Renungkanlah bagaimana percakapan, kuliah, pidato, surat, koran, majalah, buku, Internet, dan puisi telah mempengaruhi hidup Anda dan hubungan Anda dengan orang lain."
Baik, mari kita berhenti sejenak di sini. Lihatlah diri hebat Anda. Di dalam diri hebat Anda tersimpan pelbagai potensi kecerdasan yang siap Anda manfaatkan dan eksplorasi secara luar biasa. Diri Anda dapat menjadi apa saja. Anda punya kombinasi unik yang setiap saat dapat berubah sesuai keinginan Anda. Dan itu baru berkaitan dengan kecerdasan lho. Saya kira masih banyak potensi diri kita yang belum kita ketahui dan kita eksplorasi secara baik dan benar. Selamat mengeksplorasi diri Anda yang menakjubkan.**

Kegiatan Membaca Berbasiskan “Multiple Intelligences”.
Oleh : Hernowo

"Seperti yang diungkapkan Elbow dalam risetnya pada tahun 1973, sulit untuk mengendalikan lebih dari satu gagasan dalam pikiran secara sekaligus. Tatkala kita menuliskan gagasan kita, hal-hal samar dan abstrak menjadi jelas dan konkret. Ketika semua pikiran tumpah di atas kertas, kita dapat melihat hubungan di antara mereka, dan proses itu kemudian dapat menciptakan pemikiran yang lebih baik. Menulis, dengan kata lain, dapat membuat seseorang lebih cerdas." -STEPHEN D. KRASHEN dalam The Power of Reading
Dalam sebuah pelatihan membaca yang dihadiri oleh para guru SD, saya diberi pertanyaan oleh seorang peserta tentang bagaimana caranya menghilangkan kejenuhan membaca buku. Pertanyaan itu membawa saya ke Universitas Harvard tempat Profesor Howard Gardner berasal. Lewat "Project Zero"-nya, Profesor Gardner kemudian menemukan sebuah teori yang dinamainya Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk--selanjutnya saya singkat KM).
KM adalah teori baru pemelajaran yang menunjukkan bahwa kecerdasan yang dimiliki setiap anak itu tidak hanya satu. Menurut Profesor Gardner, sedikitnya ada sembilan tipe kecerdasan yang sudah tertanam sejak lahir yang dimiliki seorang anak. Asal dia tidak mengalami cacat fisik di bagian otaknya, tentulah kesembilan kecerdasan itu dapat dikembangkan. Bahkan satu atau dua kecerdasan dapat dikembangkan menuju puncak. Teori KM ini jelas merupakan teori yang mampu mengubah cara berpikir seseorang berkaitan dengan cara-cara mengukur kecerdasan.
Apabila KM dikaitkan dengan kegiatan membaca, jelas kecerdasan yang dominan di dalam membantu seseorang untuk mau dan mampu membaca adalah kecerdasan linguistik atau word smart. Kegiatan membaca buku adalah kegiatan yang berkaitan dengan teks. Agar dapat menyerap informasi yang bermanfaat dari buku, seseorang perlu memiliki keterampilan atau kemampuan mencerna teks. Memang, kadang, di sebuah buku ada gambar yang menyertai teks. Namun, tetap saja, gambar kadang tidak mampu menghadirkan makna yang solid. Tekslah yang dapat diandalkan untuk membangun makna secara utuh.
Saya jelaskan kepada para guru bahwa ketika seseorang menggunakan word smart-nya, dia juga dapat bersuara. Apa artinya ini? Word smart juga berkaitan dengan telinga. Merujuk ke sini, jelas bahwa membaca buku tidak harus diam membisu. Membaca teks dapat juga bersuara sehingga telinga lahir mendengarkan apa yang disuarakan oleh mulut. Bahkan, menurut kabar, pada zaman dahulu, para filosof Yunani semacam Socrates atau Plato, jika mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya lewat buku, mereka membaca buku bagaikan membaca puisi--dengan suara atau intonasi yang sangat indah dan kadang menggetarkan kalbu.
Membaca buku juga dapat menggunakan kecerdasan matematika atau logic smart. Bagaimana caranya? Sebelum membaca, seseorang dapat mengkalkulasi pelbagai hal yang ada di sebuah buku. Misalnya soal ketebalan buku dan berapa jumlah bagian atau bab yang ada di buku. Lalu juga dia dapat menghitung berapa rata-rata alinea yang terdapat di setiap lembar halaman buku. Atau, ini yang penting, dia dapat menghitung kemudahan teks, yang ada di sekujur halaman buku, untuk dibaca lewat perhitungan "Fog Index". Bahkan "Fog Index" ini juga dapat mendeteksi secara matematis seberapa tinggi kandungan teks dalam memberikan motivasi (soal ini tentu memerlukan pembahasan tersendiri), dan seterusnya.
Apabila dua macam variasi membaca buku sudah dicoba diterapkan, tambahlah dengan satu kecerdasan lagi bernama kecerdasan gambar (picture smart). Apabila buku yang dibaca tidak ada gambarnya (bukan buku komik), cobalah berusaha keras menggunakan daya imajinasi yang kita miliki. Setiap kali membaca deretan teks, berhentilah sebentar dan bayangkan di benak kita tentang gambaran yang ingin dimaksudkan oleh si penulis buku. Kira-kira bentuknya seperti apa ya? Atau, cobalah kaitkan kisah yang dilukiskan si penulis dengan keadaan diri kita? Daya imajinasi ini, menurut saya, dapat membantu kita juga dalam menafsirkan suatu makna teks yang terkait dengan karakter diri kita.
Lantas, membaca buku juga dapat menggunakan kecerdasan musik (music smart). Siapa tahu, dengan menyetel musik lembut yang menyamankan otak kanan akan membuat kita bersemangat untuk mencerna teks secara luar biasa. Apabila menyetel musik sudah dilakukan, cobalah juga membaca dengan berdiri atau berjalan-jalan secara perlahan. Apabila Anda membaca buku dengan cara ini, Anda sedang menggunakan kecerdasan kinestetik (body smart) Anda. Mungkin Anda jenuh membaca lantaran Anda terus-menerus duduk dan tidak menggerakkan fisik Anda. Nah, cara ini dapat dicoba. Sesekali berhentilah membaca dan berdirilah seolah-olah Anda sedang meraih buah jambu yang ketinggiannya melebihi jangkauan tangan Anda ketika tangan Anda direntangkan secara vertikal ke atas.
Kecerdasan lain yang dapat digunakan adalah kecerdasan merenung sendirian atau kecerdasan personal (self smart). Kecerdasan ini tentu sering Anda lakukan ketika membaca buku. Anda "mojok" sendirian di sebuah ruang yang hening dan Anda ingin sendirian berkonsentrasi memamah teks-teks yang berlarian. Ini sah-sah saja. Namun jika Anda jenuh dengan kegiatan semacam ini, ajaklah istri, anak, atau sahabat Anda untuk ikut "nimbrung" dalam kegiatan membaca Anda. Apabila hal seperti ini yang Anda lakukan, itu berarti Anda menggunakan kecerdasan bergaul atau kecerdasan sosial (people smart). Anda dapat mendiskusikan buku yang Anda baca dengan orang lain dan ambillah kesimpulan secara bersama.
Atau, apabila Anda punya taman, cobalah membaca buku di taman yang asri milik Anda. Di taman tersebut, Anda mungkin akan bertemu dengan kupu-kupu yang sedang terbang. Atau Anda hanya dapat menghirup wewangian yang dilepaskan oleh pelbagai bunga yang ada di taman tersebut. Atau, siapa tahu di taman itu Anda memiliki beberapa hewan piaraan seperti burung yang terus berkicau atau hewan-hewan lain. Jika kegiatan membaca buku yang Anda lakukan ini berlangsung dalam keadaan seperti di taman itu, Anda berarti sedang menggunakan kecerdasan alam (nature smart).
Berapa kecerdasan yang sudah Anda gunakan dalam membaca buku sebelum Anda menggunakan kecerdasan alam? Ada word, logic, picture, music, body, self, dan people smart. Ada tujuh kecerdasan! Ini artinya, Anda dapat menghilangkan kejenuhan membaca buku lewat delapan cara (jika ditambah dengan nature smart). Bayangkan, cara-cara yang saya jelaskan di atas belum menyentuh kombinasi antara kedelapan cara itu. Misalnya, Anda masih dapat mengombinasikan word smart dengan nature smart. Atau Anda bahkan dapat menggunakan keseluruhan kecerdasan tersebut secara serentak. Luar biasa bukan membaca berbasiskan KM?
Nah, kecerdasan terakhir, kecerdasan kesembilan, yang ditemukan Profesor Gardner perlu dicoba pula oleh Anda. Kecerdasan ini bernama kecerdasan meraih makna (existence smart). Orang kadang menyamakan kecerdasan ini dengan kecerdasan spiritual, sebagaimana kecerdasan personal/diri dan kecerdasan sosial/masyarakat dikaitkan dengan kecerdasan emosi yang ditemukan oleh Dr. Daniel Goleman. Memang sih sepertinya ada kemiripan antara kecerdasan eksistensial dengan kecerdasan spiritual. Namun, Profesor Gardner ingin agar kecerdasan eksistensial ini netral alias tidak dihubungan dengan kebenaran agama tertentu.
Profesor Gardner memang mencoba berusaha keras agar kesembilan tipe kecerdasan yang ditemukannya itu dapat diajarkan di sekolah. Artinya, pelbagai kecerdasan ini selayaknya dapat digunakan oleh guru ketika mengajar dan, terutama, setiap siswa ketika belajar. Karena dengan memberikan peluang kepada para siswa agar memahami materi pelajaran dengan pelbagai cara, ada kemungkinan seorang siswa dapat belajar secara alamiah, yaitu belajar sesuai dengan karakter dirinya. Apabila seorang siswa dapat menemukan gaya belajar yang khas dirinya, bisa jadi dia dapat belajar secara nyaman dan menyenangkan, meskipun yang dia pelajari itu hal-hal yang memiliki kesulitan yang tinggi dan gampang mendatangkan kebosanan.
Nah, bagaimana mengaitkan kecerdasan kesembilan ini dengan kegiatan membaca buku? Mudah sekali. Anda tinggal menyusun pertanyaan sebanyak-banyaknya ketika membaca. Dan tujukan pertanyaan itu kepada si penulis buku. Cuma itu? Ya. Hal ini dikarenakan kecerdasan eksistensial berkaitan dengan sebuah pencarian yang sangat intens dan dalam sekali. Apabila Anda menggunakan kecerdasan ini, Anda akan diajak untuk menggugat, mempertanyakan, dan bahkan bersikap kritis. Saya suka sekali menggunakan kecerdasan ini untuk mempertanyakan apa manfaat buku yang sedang saya baca. Kecerdasan ini, di tangan saya, bagaikan alat penggali yang mampu membantu saya memperoleh makna-makna hebat ketika membaca buku.
Dalam buku Quantum Learning, kedua penulisnya menganjurkan agar apabila seseorang melakukan sebuah kegiatan, cobalah mempertanyakan lebih dahulu manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan itu. Kedua penulis mengistilahkan kegiatan mempertanyakan ini dengan nama AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku?). Nah, ketika saya menggunakan kecerdasan eksistensial ketika membaca buku, saya pun sebenarnya sedang mencari manfaat sebanyak-banyaknya dari buku yang saya cerna. Akibat dari aktivitas mempertanyakan ini, saya kemudian didorong masuk lebih dalam ke materi yang saya baca di buku tersebut.
Akhirnya, kecerdasan ini juga membantu saya untuk melanjutkan kegiatan membaca dengan kegiatan penting lain, yaitu menuliskan apa yang saya dapat dari membaca buku tertentu. Dalam istilah saya, kegiatan lanjutan membaca buku ini saya sebut sebagai proses "mengikat makna". Setiap kali saya membaca buku, saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya harus mendapatkan "makna" (manfaat) yang sifatnya saya bangun atau saya konstruksi. Dan untuk mendapatkan bangunan makna tersebut, saya mau tidak mau harus menuliskan apa yang saya dapat tersebut.
Bayangkan, kegiatan membaca buku dapat mendorong seseorang untuk juga berlatih menulis? Betapa tidak menjenuhkannya apabila kita dapat melakukan kegiatan membaca dengan menggunakan sembilan kecerdasan yang diusulkan oleh Profesor Gardner. Semoga lewat tulisan ini, saya sudah dapat memberikan jawaban kepada seorang peserta pelatihan membaca yang bertanya kepada saya. Semoga tulisan ini bermanfaat dan mendorong Anda untuk membaca buku dengan pelbagai cara yang terkait dengan potensi diri Anda yang bernama kecerdasan. Selamat membaca buku.[]


Membangun Citra Diri Lewat Menulis
Oleh : Hernowo

.... hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk keperluan hari esok .... (Al-Hasyr: 18)
Ketika saya membaca buku Marketing Yourself: Kiat Sukses Meniti Karier dan Bisnis karya Hermawan Kartajaya, saya merasakan sekali gejolak-hebat terjadi di dalam diri saya yang terdalam (inner-self). Saya merasakan sekali bahwa selama ini saya seperti kurang memperhatikan diri saya sendiri. Boro-boro mempedulikan, memperhatikan diri saja rasa-rasanya susah sekali.
Selama hampir setengah abad hidup saya, sudah banyak ilmu yang saya pelajari. Sejak masuk TK, saya sudah diajari macam-macam--ilmu menyanyi, berbaris, hormat kepada ibu guru, dan banyak lagi. Masuk ke SD, para guru saya, selama enam tahun, juga telah memberikan banyak sekali ilmu. Begitu juga ketika di SMP dan SMA. Apalagi setelah saya menjadi mahasiswa. Rasa-rasanya, setiap hari saya belajar sesuatu yang baru.
Lantas, apa yang saya lakukan dengan ilmu-ilmu yang saya miliki? Saya memang tak ingin sekadar mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang saya dapat itu sudah memberikan manfaat banyak kepada keberlangsungan hidup saya. Saya menjadi seperti ini pada usia hampir setengah abad ini, ya tentu dikarenakan ilmu yang saya peroleh selama saya bersekolah. Setelah membaca Marketing Yourself--meskipun, sekali lagi, ilmu-ilmu yang saya dapat itu telah memberikan manfaat kepada saya--saya ingin tunjukkan kepada para pembaca tulisan saya ini bahwa ilmu-ilmu yang saya dapat saya rasakan juga berperan mengasingkan diri saya terhadap diri saya yang lebih dalam.
Agak susah ya kalimat terakhir itu Anda pahami? Begini. Meskipun ilmu-ilmu yang saya miliki sekarang telah memberikan manfaat, namun ilmu-ilmu itu sekaligus membuat diri saya menjauh dari diri saya sendiri. Lewat ilmu-ilmu yang saya dapat, saya seperti didorong untuk bisa lebih memahami keadaan yang berada di luar diri saya. Ringkasnya, ilmu-ilmu itu membuat saya lebih tahu banyak tentang hal-hal di luar diri saya ketimbang memahami apa yang ada di dalam diri saya sendiri. Bagaimana pembaca, kira-kira sudah dapat Anda pahamikah hal-hal yang ingin saya sampaikan ini?
Semakin banyak ilmu yang saya dapat dari sekolah, semakin terasing diri saya dengan diri saya sendiri. Saya memang lantas dapat menulis tentang kota Frankfurt dan London ketika saya berkunjung ke sana. Saya juga dapat menuliskan keadaan kota Makkah dan Madinah ketika saya berhaji ke Tanah Suci. Saya juga dapat mengamati rekan-rekan saya ketika bekerja bersama saya. Saya bahkan kadang dapat melemparkan kritik kepada hal-hal yang terjadi di luar diri saya. Tentu, semua itu dapat saya lakukan karena saya punya ilmu.
Namun, dapatkah saya merumuskan diri saya secara baik dan benar? Apakah saya mengetahui apa yang bergejolak di dalam diri saya? Sudah sampai di mana perjalanan diri saya selama ini? Apakah yang saya cari sudah saya dapatkan? Sebenarnya tujuan hidup saya itu apa ya? Apakah saya sudah pernah merasakan cinta yang sesungguhnya? Apakah saya perlu benar-benar merasakan cinta? Sudahkah saya bahagia? Dalam konteks apa saya berada dalam keadaan bahagia? Apa yang sudah saya lakukan sehingga yang saya lakukan itu dapat bermanfaat bagi orang lain? Apakah saya sudah memperbaiki kelemahan-kelemahan saya? Apakah saya berani mengkritik diri saya secara tajam dan blak-blakan?
Mungkin apabila saya terus menderetkan pertanyaan-pertanyaan tentang diri saya, sebagaimana yang saya lakukan di atas, kertas yang saya gunakan untuk menulis ini akan sangat panjang jadinya. Nah, pertanyaan saya yang paling penting untuk saya tujukan kepada diri saya adalah "Apakah ilmu yang saya peroleh selama ini sudah membantu saya untuk memahami diri saya?" Saya ingin secara tegas di sini menyatakan bahwa saya belum memperoleh ilmu untuk memahami diri saya. Jadi, dengan pernyataan ini, saya kemudian dapat secara tegas menyatakan hal penting berikutnya bahwa ilmu yang selama ini saya miliki cenderung untuk tidak membuat saya memahami diri saya sendiri.
Buku Marketing Yourself sungguh mendorong dan mendukung saya untuk mencari ilmu yang dapat saya gunakan untuk memahami diri saya. Mengapa saya ingin mendapatkan ilmu yang dapat membantu saya untuk memahami diri saya? Sebab jika saya tidak bersegera mendapatkan ilmu tersebut, ada kemungkinan ilmu saya yang lain (di luar ilmu untuk memahami diri) dapat saja bertambah, namun saya semakin dijauhkan dari diri saya oleh ilmu yang terus bertambah itu. Ini akan berakibat fatal. Saya bisa berubah menjadi orang yang tidak rendah hati. Saya bisa menjadi orang yang tidak jujur. Saya juga, ada kemungkinan besar, lantas bisa menjadi orang yang kadang bersikap arogan karena ilmu saya yang banyak itu (minus ilmu untuk memahami diri).
Setidaknya, buku Marketing Yourself ini mengingatkan saya bahwa saya perlu merumuskan diri saya secara segera. Buku ini mengenalkan konsep membangun citra diri dengan nama "segitiga PDB". PDB adalah singkatan dari "positioning", "differentiation", dan "brand". Sebagaimana yang saya pahami atas konsep "segitiga PDB", konsep tersebut menganjurkan agar seseorang itu dapat memposisikan dirinya di tengah masyarakatnya. Memposisikan diri berarti mengenali diri dan kemudian meletakkan diri dalam konteks yang diinginkannya.
Setelah berhasil memposisikan diri, seseorang perlu terus mempertajam detail tentang dirinya. Proses memposisikan (atau dalam bahasa saya adalah merumuskan dan mengenali) diri sendiri itu, perlu berlangsung secara kontinu dan konsisten--kalau perlu setiap hari. Apabila proses itu dapat dilangsungkan secara kontinu dan konsisten, nanti orang itu akan masuk ke wilayah berikutnya yang bernama diferensiasi. Artinya, tiba-tiba saja detail diri atau keunikan diri itu akan mencuat hebat.
Detail atau keunikan diri yang sudah diperoleh seseorang pun perlu dijaga. Sebab, detail diri itu bisa hilang ditelan perkembangan zaman. Jadi, detail atau keunikan diri itu perlu diasah terus-menerus sehingga semakin mengkilap dan terang benderang. Inilah proses yang tidak mudah karena seseorang yang sudah mencuat keunikan dirinya cenderung untuk merasa "berbeda" dengan orang lain (dalam bahasa kasarnya, ini bisa disebut dengan "sombong"). Kesombongan akan merusak baik "positioning" maupun, yang akan dirusak lebih parah, "differentiation".
Apabila seseorang dapat secara hebat dan konsisten menjaga "positioning" dan "differentiation"-nya, maka--menurut konsep "segitiga PDB"--secara otomatis orang tersebut akan memiliki semacam merek atau citra atau "brand". Sebagaimana produk benda mati seperti mobil, "brand" tentu akan mampu membuat perbedaan. Bisa jadi sebuah produk yang fungsinya sama (mobil adalah alat transportasi), namun jika yang satu lebih kuat "brand"-nya, maka nilai jualnya tentu akan lebih tinggi. Begitulah seorang manusia yang sudah sampai ke taraf memiliki "brand".
Apakah konsep "segitiga PDB" itu dapat dikatakan sebagai ilmu yang dapat membuat seseorang dapat memahami diri? Apakah ini merupakan ilmu yang dapat membuat seseorang menjadi tidak terasing dengan dirinya apabila dapat menguasai dan--ini yang penting--menerapkan konsep "segitiga PDB"? Saya tidak tahu. Ada kemungkinan ya, dan ada kemungkinan tidak. Lho kok akhirnya, Pak Hernowo tidak dapat memutuskan soal ini secara tegas?
Saya berpendapat, konsep "segitiga PDB" ini akan dapat membantu seseorang untuk mengenali dirinya. Hanya saya akan menambahkan di sini bahwa konsep "segitiga PDB" ini baru akan efektif apabila orang yang ingin memiliki "brand" itu dapat merumuskan dirinya secara tertulis. Artinya, hanya lewat kegiatan "merumuskan" atau menulis (dalam bahasa saya, ini disebut "mengikat") ada kemungkinan besar seseorang dapat dengan cepat dan kukuh memposisikan dirinya, lantas mencari keunikan dirinya, dan akhirnya membangun citra diri yang baik.
Saya khawatir jika penerapan konsep "segitiga PDB" itu dituliskan oleh orang lain, ada kemungkinan orang yang akhirnya memiliki "brand" itu tidak mampu untuk mengendalikan dampak negatifnya (ingat soal "sombong" yang saya singgung di atas). Apabila seseorang dapat merumuskan dirinya dan memiliki catatan yang akurat tentang dirinya dalam bentuk tertulis, bukan saja dia dapat mengatasi dampak negatif tersebut, melainkan juga dapat terus mengembangkan dirinya secara terprogram dan terarah.
Marilah kita membangun citra diri kita--dalam konteks yang terus membaik hari demi hari--lewat menuliskan diri kita dalam bentuk catatan harian.[]



Basic Skill
Oleh : Hernowo

Keyakinanku semakin kuat bahwa kegiatan membaca dan menulis dapat membantu seseorang untuk mengatasi sebagian besar persoalan hidup yang berat-menekannya. Apabila kegiatan membaca dan menulis dikaitkan dengan pendidikan, keutamaannya sudah sangat jelas. Buku telah membuktikan kepada dunia bahwa dirinya mampu membuat peradaban dapat bertahan dalam kebaikan atau, bahkan, terus meningkat menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Apalagi yang dapat aku kata-katakan tentang buku dan dua macam kegiatan yang mengiringinya itu? Apakah aku harus terus mencari manfaat dari kegiatan membaca dan menulis hingga jumlahnya bertambah banyak, sebagaimana aku senantiasa mengawali kegiatan membaca dan menulisku dengan mencari dan mendapatkan manfaat?
Aku, misalnya, sudah bertemu dengan psikolog James W. Pennebaker. Aku juga sudah bertemu dengan neurolog Edward Coffey. Bahkan aku juga sudah bertemu dengan ahli linguistik Stephen D. Krashen lewat hasil-hasil penelitiannya yang terkait dengan buku dan kegiatan membaca-menulis. Semua yang kubaca hampir pasti menyatakan bahwa kegiatan baca-tulis itu sangat bermanfaat bagi pengembangan diri seseorang yang melakukannya.
Selain itu, aku juga sudah membaca banyak buku yang ditulis oleh para tokoh hebat yang mampu mengubah dunia. Buku-buku itu mengubah dunia lewat perubahan yang terjadi pada diri-diri para pembaca buku mereka. Misalnya, Karen Armstrong, penulis buku menyejarah, Sejarah Tuhan, telah mengubah diriku dalam menjalankan agamaku. Bahkan secara unik, Karen telah memasukkan kosakata ke dalam diriku yang teramat kaya berkaitan dengan bagaimana ku harus merumuskan Tuhan yang kuyakini ada. Karen jugalah yang mengajakku untuk menikmati kekayaan para penulis zaman dahulu lewat perjalanan panjang membaca teks yang dilakukannya yang, sungguh, sangat mengasyikkanku.
Aku juga telah mengenali sosok J.K. Rowling, Stephen King, Tony Buzan, Pramoedya Ananta Toer, Kuntowijoyo, Fatima Mernissi, Ali Syari`ati, Joyce Wycoff, Thomas Armstrong, Daniel Goleman, Stephen Covey, Ignas Kleden, Ratna Megawangi, Sindhunata, dan masih banyak lagi penulis "berkarakter" lewat tulisan-tulisan mereka. Tak terhitung serbuan pengalaman mereka yang dirumuskan dalam teks-teks yang "menggigit" yang memasuki tubuh dan jiwaku dan menyatu dengan diriku. Aku benar-benar merasakan perubahan yang terjadi di dalam diriku akibat "gizi teks" mereka yang menyerbu diriku.
Sungguh, aku menemukan banyak sekali makna. Makna-makna itu tampil dalam warnanya yang paling cemerlang dan kadang menyilaukanku. Makna itu tak hanya berhenti pada kata. Makna itu terus menyerbuku hingga membumbui kehidupan nyataku. Aku lalu dapat mengutarakan pengalaman mengesanku dalam bentuk yang komunikatif dan, mungkin, indah. Aku lantas tidak kehabisan kata ketika muncul sesuatu yang bergejolak dan menyentak di dalam diriku yang harus kutampakkan secara jelas. Lewat membaca dan menulislah diriku dapat kudeteksi perkembangan dan pertumbuhannya.
Apalagi yang aku cari dan ke mana lagi aku harus menuju berkaitan dengan buku? Apakah setelah aku menuliskan pengalamanku ini aku dapat menemukan sesuatu yang baru? Bukankah aku berkali-kali dibantu oleh kegiatan membaca dan menulisku untuk senantiasa siap dalam menerima hal-hal baru? Bukankah buku-bukuku yang kubaca mampu membawaku untuk terbang bebas dalam memandang dunia secara berbeda? Apalagi yang harus aku kata-katakan soal buku dan kegiatan membaca-menulis? Apalagi yang harus kutunjukkan kepada pembaca bukuku tentang kegiatan yang telah membawaku menuju dunia yang baru dan terus-menerus berubah?
Aku ingin bertanya kepada diriku sendiri. Apakah setiap hari aku memang hanya membaca buku dan menuliskan sesuatu? Apakah tidak ada kegiatan penting lain selain membaca buku dan menuliskan sesuatu? Mengapa harus buku dan kegiatan baca-tulis yang memenuhi kehidupanku? Tidakkah lebih baik mencari variasi kegiatan lain yang lebih kaya dan beragam ketimbang hanya menekuni dan fokus pada buku dan kegiatan baca-tulis? Apakah buku dan kegiatan baca-tulis benar-benar telah menjadikan aku sebagai manusia yang utuh dan memiliki sesuatu yang layak ditunjukkan kepada dunia?
Tidak mudah untuk menjawab pertanyan-pertanyan itu. Apa untungnya aku menjawab pertanyan-pertanyan seperti itu? Apakah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, aku lantas dapat menemukan sesuatu yang lain dan lebih hebat ketimbang kegiatan membaca dan menulis? Apakah ada pengganti yang lebih baik untuk memperkaya diri dengan ilmu ketimbang buku? Bagaimana aku meletakkan semua pertanyaan itu dalam masa-masa sekarang ini? Oh ya, apakah aku juga harus terus menggenjot kemampuanku untuk terus menulis buku dan buku lagi?
Aku tidak tahu. Aku sudah menulis buku sebanyak hampir belasan buku. Di dalam diriku, dan sebagian diriku yang telah kukeluarkan dari diriku dalam bentuk buku, kini masih ada lebih dari lima buku yang siap aku munculkan. Rasa-rasanya aku tidak kehabisan gagasan. Bahkan, aku heran, gagasan yang aku ambil dari kedalaman diriku ini tak pernah kering. Aku juga dimudahkan dalam mengalirkan gagasanku dalam bentuk yang benar-benar tidak terpotong-potong.Kadang, memang, aku menjumpai tulisanku yang tidak selesai alias baru separuh atau tiga perempat jadi.
Meskipun begitu, aku merasakan bahwa aku kini tak gampang kesal atau frustrasi dalam menerima keadaan yang menunjukkan bahwa tulisanku, ternyata, belum selesai. Aku malah kadang merasa dinyamankan jika sebuah gagasan yang ingin kukeluarkan belum dapat kutumpahkan semua. Aku merasakan bahwa diriku tidak dapat harus terus-menerus memenuhi hasratku. Aku harus mengerem keinginanku dan mengendapkan agar dapat kucicil lagi pada kesempatan lain. Mencicil adalah temuanku yang luar biasa dalam menerjuni dunia membaca dan menulis.
Mencicil sangat terkait dengan keberadaan otakku. Mencicil membuat hidup ini lebih dapat dinikmati dan kemudian menampakkan detailnya secara perlahan-lahan dan apa adanya. Sungguh, aku diteguhkan oleh Karen Armstrong ketika dia menunjukkan kepadaku bahwa aku harus berada dalam keadan yang senang dan toleran terhadap pikiran orang lain jika sebuah teks yang kubaca ingin menyampaikan makna kepadaku. Metode Karen yang hebat--berkaitan dengan prinsip membaca dan menuliskan teks--ini sungguh mengeluarkanku dari kegelapan.
Aku memang terasyikkan oleh buku autobiografi Karen, Menerobos Kegelapan. Aku menemukan kata-kata yang ditulis Karen di buku itu yang sangat menggugahku. Aku jumpai berkali-kali menuliskan bahwa hidupnya berubah, dirinya berubah, ada sesuatu yang berubah di dalam eksistensinya sebagai seorang penulis ketika dia bersentuhan dengan baik teks maupun pengalaman orang lain. Aku yakin sekali buku dapat mengubah seseorang ke arah yang lebih baik. Aku yakin bahwa kegiatan membaca dan menulis dapat memberikan kepada orang, yang mau menjalaninya secara konsisten dan kontinu, sesuatu yang tiada ternilai hargaya.
Aku yakin... bahwa buku dan kegiatan baca-tulis layak dijadikan semacam--atau memang sudah dari sononya emang sudah disebut sebagai--basic skill. Apakah aku hanya mengulang-ulang saja hal-hal yang sudah lama diketahui orang berkaitan dengan tulisanku kali ini?[]



Menuliskan Kehidupan
Oleh : Hernowo


Saya baru paham benar pentingnya "menuliskan kehidupan" setelah menyampaikan materi "quantum writing" di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, pada Rabu, 25 Februari 2004. Pemahaman saya tersebut tiba-tiba muncrat tak terkira begitu pikiran saya berinteraksi dengan pikiran para peserta yang ikut mendengarkan "kuliah" saya.
Di tempat acara berlangsung, secara tegas saya membedakan antara menuliskan kalimat-kalimat sebagaimana biasa kita lakukan sewaktu menjalankan kegiatan menulis dengan "menuliskan kehidupan". "Menuliskan kehidupan" ini berarti kita mengeluarkan secara bebas hal-hal yang pernah kita alami lewat "kendaraan" bernama kata-kata.
Jika kita hanya menuliskan kalimat, kita dapat terjebak pada aturan berbahasa tulis. Kita harus, seolah-olah, mampu lebih dahulu menyusun sebuah kalimat yang terdiri atas subjek, predikat, dan objek. Atau kita dibingungkan lebih dahulu tentang bagaimana kalimat pembuka, dan sebagainya.
Sementara itu, "menuliskan kehidupan" tidak mempersoalkan aturan berbahasa tulis dan bisa dimulai dari mana saja. "Menuliskan kehidupan" lebih bebas ketimbang menuliskan kalimat. Di sini, tampak jelas bahwa menuliskan kalimat lebih mementingkan "kendaraan"-nya, sementara "menuliskan kehidupan" lebih mementingkan "isi"-nya.
Apakah kemudian kegiatan "menuliskan kehidupan" lantas boleh bebas melanggar kaidah-kaidah kebahasaan? Ada kemungkinan, pada tahap awal ya! Kan pada tahap awal menulis itu hasil tulisan kita tidak langsung sempurna bukan? Bagaimana kita dapat menulis jika kita sudah dipenjara oleh kaidah-kaidah kebahasaan?
Jadi, memang, jika Anda ingin berpindah dari sekadar menuliskan kalimat ke tahap "menuliskan kehidupan", Anda perlu menyadari bahwa "menuliskan kehidupan" tidak bisa langsung sempurna. Ada kemungkinan, pada saat awal menulis, tulisan Anda berantakan. Anda harus menerima lebih dahulu keadaan ini.
Yang lebih ditekankan pada saat Anda pertama kali "menuliskan kehidupan" adalah kebebasan, yang hampir-hampir mutlak, dalam mengalirkan semua hal yang memang ingin Anda alirkan. Jika sebelum Anda berniat menulis ada keinginan menulis tentang kehidupan Anda yang kaya, misalnya, tetapi setelah masuk ke praktik penulisan ternyata yang Anda tulis malah kehidupan Anda yang miskin, ya terus saja menulis.
Apa pun yang Anda pikirkan, ada kemungkinan setelah mewujud menjadi sederet tulisan, pada tahap penulisan awal, ada kemungkinan tidak sama. Inilah "menuliskan kehidupan" itu. Anda harus menerima keadaan tersebut. Bisa jadi isi kepala dan hati Anda jika dituangkan memang lain dengan yang dipikirkan dan dirasakan sebelumnya. Inilah, sekali lagi, arti "menuliskan kehidupan".
Nah, tahap lanjut "menuliskan kehidupan", setelah hal-hal awal tadi, adalah mengendapkan lebih dahulu bahan-bahan tulisan yang sudah Anda keluarkan dari kedalaman diri Anda. Jangan langsung memperbaiki tulisan kehidupan Anda. Anda bisa frustrasi jika membarengkan kegiatan mengeluarkan bahan dengan memperbaiki tulisan. Anda perlu mendiamkannya beberapa jam atau bahkan sehari.
Biarkan bahan-bahan itu hidup sendiri. Biarkan pula pikiran Anda tumbuh meninggalkan bahan-bahan tulisan Anda pertama kali yang, mungkin, masih berantakan. Biarkan. Dan Anda harus menerima kondisi seperti ini. "Menuliskan kehidupan" perlu kesabaran tinggi dan perlu ada jeda!
Saya yakin, jika Anda sudah terbiasa mengalami tahap-tahap sebagaimana yang saya jelaskan di atas, Anda akan mengalami peningkatan pesat dalam upaya "menuliskan kehidupan" Anda. Anda lantas tak terjebak dengan aturan kebahasaan. Anda sudah mulai berani untuk mengeluarkan apa saja. Anda kemudian--ini yang luar biasa--menemukan sesuatu yang bermakna dalam menjalani proses "menuliskan kehidupan" Anda.
Jika Anda sudah terbiasa "menuliskan kehidupan"--misalnya menuliskan kehidupan Anda setiap hari dengan bahasa khas milik Anda--Anda akan menjumpai bahwa ternyata tulisan Anda bisa mengalir dan enak dibaca. Siapa yang menentukan bahwa tulisan Anda mengalir dan enak dibaca? Ya, Anda sendiri, bukan ahli bahasa!
Andalah yang harus merasakan apakah tulisan kehidupan Anda itu dapat Anda pahami atau tidak. Bagaimana orang lain akan paham tulisan Anda jika Anda sendiri kesulitan memahami tulisan Anda sendiri? Jadi, "menuliskan kehidupan" berarti juga Anda sedang berkomunikasi--tepatnya berinteraksi--dengan diri Anda sendiri.
Lewat interaksi yang intens--ada kemungkinan Anda perlu memperbaiki tulisan Anda berkali-kali sehingga Anda menemukan sendiri bahasa khas miliki Anda--saya yakin bahasa-ungkap-tulis Anda akan sedikit demi sedikit terperbaiki. Saya yakin sekali jika bahan yang Anda tuliskan itu memang merupakan pengalaman Anda, dan Anda jujur dalam menuliskannya, bahasa Anda akan mengalir.
Perlu waktu berapa lamakah latihan "menuliskan kehidupan" itu sehingga yang berlatih dapat merasakan keberhasilannya? Saya tidak tahu. Andalah yang dapat mengukur keberhasilan diri Anda sendiri. Waktunya bisa sangat panjang, dan bisa sangat pendek, bergantung kemauan-kuat Anda. Apakah cepat-lambatnya keberhasilan itu juga bergantung pada "isi" kehidupan yang dituliskan?
Saya kira tidak. Saya yakin setiap orang punya pengalaman yang berbeda dengan orang lain. Kualitas kehidupan Anda akan semakin membaik jika dituliskan. Sebab, lewat proses penulisan kehidupan Anda, Anda akan mampu melihat secara gamblang proses kehidupan yang Anda jalani. Apakah tulisan Anda merekam kehidupan Anda yang membosankan, atau yang itu-itu saja, atau ada kehidupan yang membanggakan Anda?
Apa pun hasil tulisan Anda, jika Anda berhasil "menuliskan kehidupan" Anda, Anda memiliki peluang mengubahnya secara cepat dan drastis. Anda dapat mengendalikan dan mengarahkan kehidupan Anda dengan bantuan tulisan kehidupan Anda. Andalah tuan dari "takdir" Anda yang akan Anda jalani.
Inilah manfaat-hebat dari "menuliskan kehidupan". Ada kemungkinan Anda jadi bersemangat untuk mengubah hidup Anda yang tampak biasa menjadi "berharga". Ada kemungkinan pula Anda mau mencetak kehidupan yang membanggakan diri Anda dan mewariskannya kepada anak cucu Anda. Inilah manfaat lebih jauh dari "menuliskan kehidupan".
Jadi, tunggu apa lagi? Ubahlah paradigma Anda tentang menulis. Segeralah perbaiki cara Anda memandang kehidupan Anda lewat menulis. Dikarenakan "menuliskan kehidupan" ini tak berpijak pada aturan-aturan menulis secara kebahasaan, ada kemungkinan Anda--siapa pun Anda--dapat "menuliskan kehidupan" Anda yang bermakna dan berharga untuk dibaca oleh orang lain.
Selamat "menuliskan kehidupan" Anda yang hebat dan bermanfaat bagi orang lain. Senang dapat membantu Anda. (Bandung, 25 Februari 2004)



Bahasa Pengalaman
Oleh : Hernowo


Saya barusan digugah oleh kata-kata ciptaan Anthony Robbins. Robins dikenal sebagai pembangkit motivasi nomor wahid. Karyanya, Unlimited Power dan Awaken the Giant Within adalah, bisa dikatakan, semacam bacaan "wajib" bagi hampir semua orang yang ingin merasakan bahwa di dalam setiap diri manusia tersimpan kekuatan mahahebat.
Kata-kata Robbins yang menggugah diri saya itu saya peroleh dari karyanya yang lain, Giant Steps. Menurut Deepak Chopra, karya Robbins ini memberikan peluang bagi setiap pembacanya untuk menjangkau sesama manusia yang sedang mencari kedalaman hidup yang lebih hakiki dengan cara mengajak kita untuk merangkul visi pribadi kita selama setahun penuh.
Memang, tak seperti Unlimited Power ataupun Awaken the Giant Within, karya Robbins, Giant Steps, dipola sedemikian rupa sehingga menjadi bacaan yang berisi sebanyak 365 halaman pas. Setiap hari, kita diajak untuk merenungkan sesuatu yang sangat bermakna bagi kehidupan kita. Ini, tentu, luar biasa!
Oleh sebab itulah, Giant Steps diposisikan sebagai buku yang dapat memberikan inspirasi kepada siapa saja agar mampu menguasai diri setiap hari selama setahun penuh. Bahkan, secara sangat nyata, buku ini ingin menciptakan langkah-langkah raksasa bagi setiap orang agar, dalam kehidupan sehari-hari, dapat terjadi perubahan-perubahan kecil namun menghasilkan perbedaan besar.
Apakah sebuah buku dapat mengajak para pembacanya untuk melakukan langkah-langkah raksasa dalam mengubah kehidupannya? Bukankah buku hanya terdiri atas deretan kata-kata? Bukankah buku sifatnya diam dan kadang tidak secara aktif mempengaruhi dan mengubah diri seorang pembaca buku? Bukankah buku itu benda mati? Apakah ada buku-buku yang berisi sesuatu yang menghidupkan, membangkitkan, dan mendorong sesuatu untuk bergerak, berubah?
Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan sebelum ini dapat saya jawab secara negatif--artinya, buku memang tidak mampu mengubah seseorang ke arah yang lebih baik. Namun, tunggu dahulu pembaca. Saya bisa jadi memang dapat saja terdorong untuk memberikan jawaban yang negatif seperti itu. Akan tetapi, yang menjawab seperti itu adalah diri saya yang dahulu, yang belum membaca Giant Steps-nya Robbins.
Saya kini memiliki jawaban positif setelah membaca buku Robbins. Saya dipengaruhi. Saya digerakkan. Saya didobrak. Diri saya yang lama, yang karatan dan seperti tak berdaya menghadapi hidup yang senantiasa berubah, dihancurleburkan. Mengutip Jung, lewat Giant Steps, seolah-olah diri saya yang lama sedang mengalami peruntuhan, dan tiba-tiba, secara dahsyat, diri saya yang baru mengalami pengutuhan.
Ada dua belas kelompok gagasan Robbins di Giant Steps. Dan setiap kelompok gagasan tersebut dipecah-pecah menjadi unit-unit kecil yang berisi gagasan Robbins yang lebih detail dan menonjok. Unit-unit kecil gagasan tersebut akhirnya membentuk benang merah dari inti buku yang dipola menjadi 365 gagasan terkecil.
Setiap gagasan terkecil dapat dibaca habis dalam satu halaman. Ada halaman yang penuh berisi kata-kata Robbins, dan ada yang hanya separo. Kayaknya, setiap halaman memiliki bobot yang sama meskipun jumlah kata-katanya berbeda. Saya kira, Robbins tidak sedang bermain kata-kata. Robbins, secara cerdik dan cerdas, sedang memainkan pikirannya lewat kosakata yang sangat kaya dan terpilih.
Saya ingin mengutip saja satu bagian di buku tersebut yang memperkaya jiwa saya. Bab ini terletak di kelompok gagasan urutan keenam dan dijuduli dengan bagus, "Perbendaharaan Kata Sukses". Hari-hari ini, saya memang lagi tergila-gila dengan kata-kata hebat--katakanlah bahasa yang mampu membangkitkan jiwa. Saya yakin, kata-kata yang bagus dapat menggerakkan diri seseorang.
Nah, begitu saya sampai ke bab keenam Giant Steps, saya disambut oleh Aldous Huxley. Huxley adalah orang besar dan memiliki pengalaman luar biasa. Di halaman awal bab keenam itu, Robbbins mengajak Huxley untuk menyambut para pembacanya. Lewat kata-kata (lebih tepat "pengalaman") Huxley, Robbins berkata, "Kata-kata itu membentuk semacam tali yang di dalam tali itu seseorang mengaitkan dan mengikatkan pelbagai pengalamannya." Saya tercengang!
Sungguh, saya seperti disodok oleh tongkat yang kekuatan sodokannya tak terbayangkan oleh pikiran saya. Saya terjengkang dan dipaksa untuk merenungkan pengalaman saya. Punyakah saya bahasa yang hebat untuk melukiskan pengalaman saya? Saya merasa bahwa saya punya pengalaman. Dan, yang lebih membuat saya harus tunduk adalah, kenyataan, bahwa saya memiliki pengalaman selama hampir setengah abad!
Apakah pengalaman saya, sepanjang itu, cukup berharga bagi saya? Apakah pengalaman saya bermakna bagi saya dan keluarga saya? Apakah pengalaman saya sangat kaya? Apakah pengalaman saya berbeda dengan pengalaman orang yang sebaya dengan saya? Apakah pengalaman saya dapat saya gambarkan? Apakah pengalaman saya dapat saya bagikan? Bagaimana saya memahami pengalaman saya?
"Kebanyakan orang hanya memiliki perbendaharaan kata sebanyak kurang lebih ribuan kata. Jika Anda merenungkan bahasa Inggris saja, bahasa terbesar di dunia, Anda akan menemukan bahwa bahasa tersebut mengandung antara setengah hingga tiga perempat juta kata. Itu berarti kita, mungkin, hanya memiliki kira-kira dua persen dari perbendaharaan kata bahasa Inggris.
"Yang lebih parah lagi adalah bahwa kebanyakan orang hanya memiliki kira-kira selusin kata, mungkin paling banter dua puluh kata, untuk menggambarkan emosi-emosi mereka yang konsisten mereka alami. Dan dari semuanya itu, biasanya separo darinya--atau mungkin lebih--merupakan kata-kata yang menunjukkan emosi negatif.
"Nah," tulis Robbins sedikit menantang para pembaca bukunya, "seberapa banyakkah kata yang biasanya Anda gunakan untuk menggambarkan perasaan Anda, entah perasaan itu Anda ekspresikan kepada orang lain atau kepada diri Anda sendiri? Seberapa banyakkah kata yang bisa Anda tuliskan sekarang berkaitan dengan emosi Anda? Seberapa banyak?"
Sebelum saya tersadarkan oleh apa yang ditulis Robbins, saya sudah diserang oleh kata-kata Robbins yang lain, yang didasarkan atas pengalaman Dr. Norman Cousins. Masih dalam bab keenam, saya dibenturkan oleh Robbins dengan kata-kata Cousins, "Kata-kata itu bisa mendatangkan penyakit. Kata-kata itu bisa mematikan! Oleh karena itulah para dokter yang bijaksana sangat berhati-hati dalam berkomunikasi."
Apakah hanya dokter yang berhak berhati-hati dalam berkomunikasi? Apakah hanya dokter yang cara berkomunikasinya buruk yang dapat mematikan seseorang? Bukankah kita, kita sebagai manusia biasa, juga dapat "membunuh" seseorang lewat bahasa komunikasi yang kita gunakan? Bukankah kita kadang memarahi orang di tempat yang tak semestinya kita marah? Bukankah kita, kadang, menyindir seseorang dengan bahasa yang sudah dihaluskan namun tajamnya masih setajam pisau bedah? Bukankah, lewat kata-kata pula, kita masih sering "membunuh" semangat orang lain yang ingin bangkit? Dan bukankah kita sendiri kadang menggunakan kata-kata yang buruk untuk menunjukkan diri kita?
Sungguh betapa dahsyatnya kata. Taufiq Pasiak, dalam karyanya, Revolusi IQ/EQ/SQ, menunjukkan kepada saya bahwa kata-kata itu--dalam kosakata bahasa Inggris--memang dapat berubah wujud menjadi "pedang". Coba pindahkan huruf "s" di kata "words" ke depan. Anda akan menemukan sebilah pedang yang keluar secara cepat dari himpunan kata tersebut.
Untuk menutup tulisan saya ini, saya ingin mengunci semua pemahaman saya atas gagasan Anthony Robbins--yang tersimpan di dalam bukunya Giant Steps--dengan sebuah tanda tanya. Entah kapan saya dapat menjawab tanda tanya tersebut. Saya berharap para pembaca tulisan saya ini dapat membantu saya untuk memecahkan misteri kata-kata yang dilontarkan oleh Robbins.
Robbins menulis, "Ketika Anda menggunakan bahasa perlambang, Anda tidaklah sedang menggambarkan pengalaman Anda yang sesungguhnya, melainkan Anda sedang menunjukkan kepada orang lain tentang bagaimana Anda merasakannya." (Bandung, 8 Februari 2004)


Menuliskan Pengalaman : Bagaimana Saya Membangkitkan Motivasi Menulis
Oleh : Hernowo


Saya hanya dapat menulis apabila yang ingin saya tulis itu benar-benar sudah menjadi bagian dari pengalaman saya. Kadang saya memang ingin menulis sesuatu, misalnya untuk dapat dimuat di sebuah koran atau media lain. Kadang juga saya diminta oleh seseorang untuk dapat mengirimkan tulisan tertentu agar dapat dimuat di majalah miliknya. Atau, kadang, tiba-tiba saja saya memang ingin mengeluarkan sesuatu dalam diri saya dalam bentuk tertulis.
Menulis menjadi mudah bagi saya apabila, pada saat awal menulis, saya memiliki kebebasan mutlak. Memang, orang lain boleh saja menentukan topik untuk saya tulis. Namun, kendali pertama untuk menuliskannya haruslah ada di tangan saya. Dan biasanya saya memang mengetikkan topik-permintaan itu di layar komputer atau di kertas yang sudah saya sediakan. Namun, setelah terketik, saya langsung saja tidak menghiraukannya. Saya ketik apa saja yang memang ingin saya ketik. Saya keluarkan apa saja yang memang dapat saya keluarkan.
Apa yang saya lakukan ini kemudian saya ketahui sebagai salah satu teknik menulis yang disebut sebagai teknik freewriting atau fastwriting. Menulis akan menjadi sebuah kegiatan yang sangat sulit dan mengesalkan apabila saya tidak dapat membebaskan diri dari pelbagai penilaian dan ancaman. Keadaan itu akan tambah parah dan menekan saya apabila terjadi pada saat saya mau mulai menulis. Saya lalu mencoba mengatasi problem menulis ini dengan cara "membebaskan diri".
Lalu apa yang sebaiknya ditulis pada saat awal agar seorang penulis memiliki kendali mutlak saat mulai menulis? Ya menuliskan apa saja. Apa saja? Ya. Saya biasa menuliskan pengalaman saya yang paling dekat dan paling mudah diingat. Bisa jadi, topik yang diminta kepada saya itu berkaitan dengan cara mengatasi kebosanan dalam belajar. Namun, saya memulai menulis dengan mengutip sebait lagu yang baru saja saya dengarkan dan bait-bait lagu itu mengesankan saya.
Sungguh, saya sering bertemu dengan hal-hal "ajaib" begitu saya mulai memijit tombol-tombol huruf di keyboard komputer saya secara sangat-sangat bebas. Seiring dengan munculnya deretan huruf yang berbaris rapi di layar komputer yang kemudian barisan huruf itu memberikan makna, saya kemudian merasakan betapa di kepala saya muncul sesuatu yang berbentuk seperti "jaringan". Saya merasakan ada semacam kabel yang dengan cepat saling terjulur dan berhubungan antara kabel yang satu dengan kabel yang lain. Di kepala saya lantas terjadi hubungan hebat antara pengalaman yang satu dengan pengalaman yang lain. Bait-bait lagu yang saya ketikkan, yang mula-mula tak ada hubungannya dengan cara mengatasi kebosanan dalam belajar, tiba-tiba membawa saya menuju wilayah yang di dalamnya saya pernah mengalami suatu pembelajaran yang sangat menyenangkan.
Setelah itu, secara sangat cepat, saya seperti didesak, didorong, diempaskan oleh semacam gelombang dahsyat yang datang bagaikan air bah. Saya lalu dengan mudah mengalirkan apa yang mendesak itu lewat barisan kata-kata. Kalau sudah begini, wah, saya jadi sangat asyik menulis dan dapat terus bertahan hingga seluruh gelombang dahsyat itu habis saya keluarkan. Apakah tulisan kemudian selesai? Apakah kadang saya mengalami juga semacam kemacetan menulis meskipun sudah tujuh puluh lima persen bahan-bahan teralirkan keluar?
Ada kemungkinan tulisan memang tidak selesai pada waktunya atau pada saat saya termotivasi menulis. Atau, begitu saya asyik menuliskan apa yang ingin saya tulis, tiba-tiba mesin berpikir saya ngadat alias berhenti total. Ini bagaikan lampu yang sudah menyala sangat terang tiba-tiba aliran listrik putus dan lampu itu padam--byar kemudian pet! Jelas saya sering mengalami hal-hal seperti ini. Apa yang kemudian saya lakukan? Ya saya berhenti saja. Kadang saya ngomel dan kadang saya menyabari keadaan seperti ini. Sebab apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang penulis apabila tiba-tiba dia mengalami kemacetan dalam menulis?
Kalau, ternyata, kemudian kemacetan itu terus melanda bagaimana? Saya biasanya mengatasi problem ini dengan kembali membaca buku. Buku apa saja. Mengapa buku apa saja dan bukan buku yang relevan dengan topik yang hendak dituliskan? Maksud saya dengan pernyataan "buku apa saja" adalah buku yang kemungkinan besar berkaitan dengan topik yang hendak ditulis. Namun, saya juga menganjurkan agar membaca buku yang lain. Siapa tahu kemacetan itu justru dapat diatasi lewat jalur yang tidak lazim. Dan saya sering mengalami menemukan cara mengatasi kemacetan menulis lewat cara yang tidak lazim.
**
Motivasi menulis saya semakin berkobar-kobar setelah berkali-kali mendapatkan sesuatu yang kadang mencengangkan setelah saya selesai menulis, meskipun tulisan yang saya tulis belum selesai. Apa yang saya peroleh setiap kali selesai menulis? Kepuasan? Mungkin ya. Namun, yang sangat saya nikmati adalah kelegaan atau rasa plong yang luar biasa. Begitu saya selesai menulis, beban-beban yang menusuk-nusuk pikiran dan jiwa saya seakan-akan hilang, musnah terseret oleh kata-kata yang saya coba tuliskan di layar komputer atau di selembar kertas.
Mengapa bisa begitu? Ini lantaran, dalam menulis, saya senantiasa berprinsip bahwa yang ingin saya tulis adalah apa yang berkaitan dengan diri saya. Mau menulis tentang teori baru pembelajaran kek, atau mau menulis tentang demonstrasi mahasiswa kek, atau yang lain, saya harus yakin bahwa diri saya terlibat penuh di dalam tulisan-tulisan saya. Itu prinsip saya. Jadi, tulisan saya adalah juga karakter saya--apa yang memang betul-betul milik saya.
Oleh karena itulah saya senantiasa menganjurkan kepada siapa saja yang ingin menjadi penulis agar memiliki lembar-lembar catatan harian. Saya sendiri, setelah mengetahui bahwa menulis dapat "menyembuhkan", lalu berusaha keras untuk menuliskan apa saja tentang diri saya setiap hari. Saya menuliskan catatan harian saya tidak hanya di kertas-kertas lembaran atau buku tulis. Saya kadang bahkan memanfaatkan handphone untuk mencatat secara ringkas apa yang berkelebatan di pikiran dan hati saya. Selain kertas dan hp, saya biasa juga lari ke komputer dan menulis secara sangat cepat di situ.
Catatan-catatan harian saya terus saya perhatikan. Sekecil dan seremeh apa pun kandungan catatan harian saya itu, saya senantiasa mempedulikannya dan, terutama, saya rawat. Saya merawatnya dengan membacanya kembali dan menumbuhkannya. Kadang catatan yang ada di hp, saya pindahkan ke layar komputer dan saya kembangkan menjadi sebuah tulisan yang hidup dan bergizi. Kadang coretan-coretan yang tak keruan di buku-buku tulis saya, saya coba tata dan strukturkan kembali sehingga menjadi semacam himpunan gagasan yang sistematis dan tersusun rapi. Saya tak lelah-lelahnya untuk memberi pupuk kepada tulisan-tulisan mentah saya. Pupuk itu biasanya saya peroleh saat membaca buku atau berdiskusi dengan teman-teman saya.
Membaca dan menulis bagi saya merupakan dua kegiatan yang saling komplementer. Yang satu mendukung yang lain. Apabila dua kegiatan ini dapat kita lakukan secara serempak, insya Allah, dua kegiatan ini akan menjelma menjadi kegiatan yang efektif (ada efeknya terhadap perkembangan diri kita) dan menyenangkan. Menyenangkan? Ya, ini lantaran apabila kegiatan yang satu macet, kegiatan yang lain dapat mengatasi kemacetan itu. Saya telah membuktikannya berkali-kali pada saat saya mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat buku Mengikat Makna dan Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza.
**
Bagaimana agar kita dapat termotivasi untuk sangat bergairah menulis artikel popular di koran, artikel ilmiah di jurnal, dan juga skripsi? Sebelum saya melangkah ke tulisan-tulisan yang dapat dikonsumsi publik secara luas dan beragam, saya berprinsip bahwa saya harus memecahkan lebih dahulu kendala-kendala internal dalam menulis. Menurut saya, menulis artikel untuk dapat dikonsumsi publik akan terasa sulit dan berat bagi saya apabila saya belum dapat memecahkan kendala-kendala menulis yang bersifat internal. Apa itu, sebenarnya, kendala menulis secara internal? Dan adakah juga kendala menulis secara eksternal?
Kendala menulis yang bersifat internal sudah saya coba jelaskan di bagian-bagian terdahulu. Saya memecahkannya dengan membuat catatan harian dan mempersepsi menulis sebagai sesuatu yang dapat menyembuhkan diri saya. Kata "menyembuhkan" di sini memiliki arti yang sangat luas dan bermakna bagi saya. Pertama, menulis dapat membantu saya "mengikat" episode kehidupan saya yang mengesankan saya. Apabila saya dapat terus mengingat hal-hal berharga yang saya lakukan setiap hari, saya tentu saja akan bersemangat untuk terus hidup bukan?
Kedua, menulis dapat membantu saya menghilangkan tekanan-tekanan yang datang membanjir dari luar diri saya. Misalnya, ada pekerjaan kantor yang sulit dan tidak dapat saya rampungkan pada waktunya. Biasanya ini sangat menekan diri saya. Saya tidak dapat tidur dan terus dibebani dengan ketakselesaian itu. Nah, dengan menulis, saya kemudian dapat mengekspresikan seluruh apa yang menyesaki jiwa saya. Saya berusaha mengosongkan pikiran dan hati saya dengan membuang semua hal yang mengganggu. Saya lalu plong. Bukankah hidup jadi nyaman dan bisa dinikmati apabila jiwa kita lapang dan lega, tidak sesak oleh masalah melulu?
Ketiga, menulis dapat memunculkan hal-hal baru. Saya terbantu sekali mengumpulkan pengalaman saya dan kemudian mengombinasikan pengalaman saya dalam versi yang berbeda-beda untuk memunculkan pengalaman baru yang lain lewat menulis. Menulis bagaikan memetakan pengalaman konkret diri saya. Ada pengalaman yang masih mentah, dan ada juga yang sudah kebablasan dan harus distop. Ini semua tampak jelas apabila kita tuliskan dan kita baca tulisan kita itu. Saya kira inilah salah satu manfaat besar "menyembuhkan" itu. Bukankah dengan adanya sebuah peta pengalaman hidup yang tertata dan tergambar dengan jelas, kita lalu dapat melalui hidup kita dengan enak dan ringan?
Tentu saja, masih banyak sisi "menyembuhkan" yang saya dapat dari menulis. Namun, saya hentikan saja soal ini sampai di ketiga hal tersebut. Saya akan mencoba mengakhiri tulisan sederhana saya ini dengan menunjukkan adanya kendala-kendala yang bersifat eksternal dan bagaimana saya mengatasinya. Sebelum saya menguraikan soal ini, sebaiknya--apabila benar kita mau menjadi seorang penulis yang andal--pecahkan lebih dahulu kendala-kendala yang bersifat internal, baru kemudian melangkah ke pemecahan kendala yang bersifat eksternal.
Apabila saya ingin menulis untuk dapat dikonsumsi orang banyak, saya biasanya lalu memikirkan kebutuhan orang banyak itu dan bukan kebutuhan saya. Yang lebih parah lagi, saya biasanya lalu terjebak pada aturan-aturan menulis yang disyaratkan oleh, misalnya, tulisan ilmiah atau tulisan untuk media massa. Inilah salah satu kendala yang bersifat eksternal itu. Saya biasanya lalu sibuk mempelajari aturan dan lupa bahwa saya sebenarnya harus menuliskan terlebih dahulu apa yang hendak saya tulis. Biasanya, setelah itu, saya lalu kehilangan kepercayaan diri dan akhirnya potensi menulis saya atau, bahkan, semangat menggebu saya mendadak lenyap dan sulit saya munculkan lagi.
Kendala eksternal lain dalam menulis--yang biasanya sangat mengganggu saya--adalah ketaktersediaan bahan untuk dituliskan. Misalnya, beberapa waktu lalu sempat ramai tentang kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Saya tertarik dan ingin sekali menulis di salah satu koran tentang soal ini. Sudah saya tulis dan sudah saya revisi berkali-kali tulisan saya itu, namun kok ya rasa-rasanya tidak sempurna dan masih banyak kekurangan. Akhirnya, betul, saya kirim ke sebuah koran, dan beberapa hari kemudian artikel saya itu dikembalikan.
Saya lalu merenungkan soal ini dan apa sebenarnya yang terjadi. Ada kemungkinan, artikel saya tak dimuat lantaran ada artikel yang lebih bagus. Bisa jadi, artikel saya bagus, namun tidak tersedia ruang di koran itu untuk dapat memuatnya. Atau, artikel saya memang tidak bagus alias masih belum layak untuk dipublikasikan di media massa. Atau, ada faktor-faktor lain yang tidak saya ketahui yang menyebabkan artikel saya tidak bisa dimuat di koran itu.
Saya biasanya menyimpan artikel saya yang gagal dimuat di media massa. Kadang, saya membacanya lagi (karena saya senantiasa menyimpan apa pun tulisan saya baik yang belum jadi maupun yang sudah jadi) dan menemukan bahwa artikel saya masih belum utuh. Kalau saya menemukan artikel lain yang senada yang telah dimuat di koran, saya kemudian membandingkannya. Saya terus belajar untuk memperbaiki tulisan-tulisan saya yang akan "hidup" di masa datang.
Nah, dari pembelajaran itu, saya mendapatkan sesuatu yang berharga. Kadang pada saat saya punya keinginan menulis, saya mungkin belum benar-benar mengecek apakah bahan-bahan yang hendak saya tulis itu ada di dalam diri saya atau tidak. Apabila bahan-bahan itu tanggung dan kurang lengkap, bisa jadi akan menyebabkan tulisan yang sudah jadi itu tidak bertenaga alias biasa-biasa saja. Atau, kalau bahan-bahan kurang lengkap, ada kemungkinan saya tak dapat menyelesaikan tulisan itu atau, kadang, saya mengalami kemacetan di tengah jalan.
Bagi yang suka mempelajari teknik menulis, ada satu teknik lagi untuk memecahkan soal apakah kita punya bahan atau tidak. Teknik itu bernama clustering atau mindmapping. Selain teknik freewriting atau fastwriting, teknik yang saya sebut belakangan ini juga sering saya gunakan. Kadang-kadang efeknya sungguh tidak saya duga. Saya betul-betul merasakan, ketika menggunakan teknik ini, bahwa menulis yang dulu saya anggap sangat berat, ternyata dapat sangat menyenangkan. Bahkan, kabar terakhir yang saya dengar, teknik clustering ini juga dapat memicu seorang penyair untuk mengalirkan sekaligus menciptakan sepenggal puisi yang menggigit.
Teknik clustering atau mindmapping ini didasarkan pada fakta bahwa otak kita terdiri atas dua macam belahan, yaitu belahan kiri dan belahan kanan. Menurut para peneliti bekerjanya otak, masing-masing belahan itu bekerja dengan cara yang sangat berbeda. Nah, menulis, menurut para pakar otak itu merupakan kegiatan yang menggabungkan dua belahan otak kita. Apabila kita hanya menjalankan satu belahan saja, maka yang terjadi adalah pelbagai kerepotan dan frustrasi dalam menulis.
Di samping untuk mengecek apakah kita punya bahan atau tidak, teknik ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas kegiatan membaca. Teknik ini, hebatnya, juga mencoba memadukan aktivitas visual dan aktivitas tekstual secara bersamaan. Intinya, apabila kita mau mengingat dan proses mengingat itu diharapkan dapat bertahan cukup lama, maka gunakan teknik mindmapping (pemetaan pikiran). Salah satu aktivitas membaca yang sangat penting adalah mengingat dan mengait-ngaitkan. Nah, teknik ini, apabila dapat dilatih secara rutin dan konsisten oleh seorang penulis, maka tidak hanya tes-bahan saja yang dapat dilakukan, melainkan juga untuk mengefektifkan kegiatan membaca.
Pesan saya, cicillah bahan-bahan tulisan yang ada di dalam diri kita itu secara rutin dan konsisten dengan mengeluarkannya perlahan-lahan. Dengan menuliskan secara mencicil, kita sebenarnya sedang berupaya keras untuk memecahkan kendala internal. Kalau kendala internal bisa kita pecahkan, saya percaya sekali bahwa kendala eksternal akan lebih mudah kita atasi.
Demikianlah sedikit cerita saya tentang bagaimana membangkitkan motivasi untuk mau menulis. Semoga bermanfaat. Bandung, 9 April 2003


Gimana Sih Cara Membuat Artikel Ilmiah yang “Enak dan Perlu Dibaca "?
Oleh : Hernowo

Dalam segala urusan hidup, sungguh sehat apabila sesekali kita menaruh tanda tanya besar terhadap perkara-perkara yang sudah diterima sebagai kewajaran sampai tak pernah dipertanyakan lagi. -Bertrand Russell

Dalam upaya memompa semangat saya menulis makalah ini, saya ingin menyandarkan diri saya di "bahu" sang filosof Bertrand Russell. Saya memperoleh kata-kata sakti Russell itu dari buku yang juga hebat karya Wandi S. Brata, Bo Wero: Tips mBeling untuk Menyiasati Hidup (Gramedia, 2003). Kata-kata sakti Russell itu kayaknya pas apabila saya gunakan untuk menyoroti syarat-syarat penulisan karya ilmiah dan, setelah memahami syarat-syarat itu, apakah kita lantas termotivasi dan dapat menulis sebuah karya tulis ilmiah?
Sebelum masuk ke inti pembahasan, saya ingin merumuskan lebih dahulu apa yang saya maksud dengan tulisan yang--sebagaimana judul besar makalah saya ini--"enak dan perlu dibaca". Setelah saya menunjukkan kepada para pembaca mengenai maksud saya tersebut, saya baru akan menyajikan pendapat-pendapat saya berkaitan dengan karya tulis ilmiah, terutama dalam memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Saya berharap materi yang saya siapkan dan tulis ini dapat memberikan "mata baru" dalam memandang karya tulis ilmiah dan dalam mencoba membuat sebuah karya tulis ilmiah dengan cara-cara yang tidak sebagaimana lazimnya.
Nah, apa yang saya maksud dengan tulisan yang "enak dibaca"? Ini sebenarnya merupakan slogan majalah Tempo, tetapi akan saya maknai sendiri. Yang saya maksud dengan "tulisan yang enak dibaca" adalah tulisan yang ditata sedemikian rupa oleh seorang penulis sehingga tulisan tersebut, apabila dibaca seseorang, dapat menjelma bagaikan obrolan. Lho obrolan itu 'kan tidak dapat dikategorikan sebagai komunikasi ilmiah? Dalam karyanya yang sangat inspiratif, K.U.A.S.A.I Lebih Cepat: Buku Pintar Accelerated Learning (Kaifa, 2003), Colin Rose mengatakan, "Tulisan bagus biasanya bernada seperti mengobrol. Tentu saja, untuk beberapa topik, gaya yang lebih formal pasti lebih sesuai---tetapi jangan salah menganggap bahwa bersikap serius itu sama dengan bersikap membosankan."
Lalu, apa yang saya maksud dengan tulisan yang "perlu dibaca"? Ini juga merupakan slogan majalah Tempo. "Tulisan yang perlu dibaca" adalah tulisan yang membuat siapa saja yang membaca tulisan itu lantas terbangkitkan selera membacanya. Apabila selera membacanya terbangkitkan, tentulah dia akan bergairah membaca dan akan membaca tulisan tersebut dengan perasaan senang tiada tara. Dan, biasanya, ukuran "perlu" ini saya sandarkan pada tiga hal: (1) memenuhi kaidah penalaran (reasoning), (2) penulis melakukan pemilihan kata (diksi) yang baik dan akurat, serta (3) mengandung koherensi dan komposisi yang baik dalam setiap kelompok gagasan yang dirumuskan. 

Apa Saja Syarat-syarat Penulisan Karya Ilmiah?
Dalam menuliskan bagian ini, saya menggunakan dua buku. Sebenarnya ada banyak buku yang membicarakan bagaimana membuat karya tulis ilmiah. Namun, agar kebingungan saya tidak terlalu bertumpuk-tumpuk dan tugas saya membaca dapat sedikit dikurangi, maka saya memutuskan menggunakan dua buku saja. Tentu saja, saya tidak langsung memutuskan hanya menggunakan dua buku yang telah saya pilih. Saya memutuskan menggunakan dua buku yang saya pilih lantaran saya sudah membaca juga yang lain dan saya merasakan bahwa dua buku yang saya pilih ini dapat mewakili buku-buku lainnya.
Dua buku yang saya gunakan, pertama, adalah hasil suntingan Harun Joko Prayitno, M. Thoyibi, dan Adyana Sunanda. Buku hasil suntingan ketiga orang tersebut berjudul, Pembudayaan Penulisan Karya Ilmiah, terbitan Muhammadiyah University Press. Saya menggunakan edisi cetakan ketiga, yang diterbitkan pada Mei 2001. Melihat edisi cetakannya, buku ini cukup diminati konsumen. Terbukti, setelah cetakan pertama pada Maret 2000, buku ini dicetak kedua kalinya pada Oktober 2000. Dari pengantar edisi cetakan ketiga, dapat kita baca pula bahwa buku ini mendapat respons yang bagus. Selain itu, di edisi cetakan ketiga ini beberapa materi disempurnakan dan ditambah.
Buku ini disusun dan dikembangkan berdasarkan hasil "Pelatihan Penulisan artikel Ilmiah Perguruan Tinggi" yang diselenggarakan di Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta. Terdiri atas enam bagian, buku ini telah menunjukkan secara hampir lengkap tentang apa yang harus disiapkan oleh seorang penulis apabila ingin menulis karya ilmiah. Bagian Pertama membahas "kebijakan dan pengembangan jurnal ilmiah di perguruan tinggi". Bagian Kedua membahas "anatomi karya ilmiah", yang di dalamnya terdapat Bab "Pengertian dan Kriteria Karya Ilmiah", Bab "Anatomi Artikel Ilmiah", Bab "Sistematika Artikel Ilmiah Hasil Penelitian untuk Publikasi", dan Bab "Hak, Kewajiban, dan Tanggung Jawab Penulis".
Bagian Ketiga membahas "pengorganisasian gagasan karya ilmiah"; bagian keempat membahas "bahasa dan teknik penulisan ilmiah" (di sini dibahas masalah penggunaan bahasa, teknik pengutipan, dan penyuntingan); dan Bagian Kelima membahas "resensi buku". Sementara itu, bagian terakhir, Keenam, berisi lampiran-lampiran. Ada tiga macam lampiran, yaitu (1) majalah berkala yang disempurnakan, (2) kode etik ilmuwan Indonesia, dan (3) kriteria artikel ilmiah hasil penelitian. Saya tertarik untuk membaca lebih dulu bab lampiran ini lantaran di dalamnya disebut-sebut tentang karya ilmiah yang dapat digunakan untuk keperluan promosi staf di kalangan perguruan tinggi. Di sini ditunjukkan secara gamblang tentang instrumen evaluasi sebuah karya ilmiah yang dapat digolongkan sebagai "yang terakreditasi". Instrumen evaluasi ini dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1995.
Buku kedua yang saya gunakan berjudul Menulis Karya Ilmiah: Artikel, Skripsi, Tesis, dan Disertasi (PT Gramedia Pustaka Utama, 2001) yang ditulis oleh Etty Indriati, Ph.D. Apabila buku pertama ketebalannya mencapai hampir 300 halaman, buku kedua ini tipis, hanya 120 halaman. Saya memilih buku karya Dr. Etty ini lantaran dia menulis berdasarkan pengalamannya saat menyusun disertasi di University of Chicago. Lalu, yang membuat saya tertarik--selain ringkasnya buku karyanya ini--Dr. Etty pernah ikut belajar di Sekolah "Ilmu Menulis Karya Ilmiah" yang ada di Universitas Chicago yang bernama The Little Red Schoolhouse of Chicago. Apakah sekolah yang disebutkan ini beneran atau tidak, namun, sekali lagi, menarik perhatian saya.
Satu lagi yang menarik perhatian saya adalah apa yang ditulisnya di bagian akhir pengantarnya. Dr. Etty menulis, "Scott Anderson di University of Chicago sering menanyakan 'what do you mean?' pada waktu membaca tulisan penulis, yang memaksa penulis mencermati kembali tulisan yang tidak jelas pemaparan makna." Mengapa saya tertarik? Perhatikan pertanyaan dari Anderson, "What do you mean?" Saya kira, Anderson benar bahwa inti menulis itu sebenarnya adalah menunjukkan "makna". Atau, tulisan kita akan menjadi sangat efektif apabila ada maknanya dan bisa dimaknai.
Oleh sebab itulah saya memahami sekali ketika Dr. Etty mengatakan pula pentingnya berkomunikasi secara jelas dalam menulis karya ilmiah. "Menulis karya ilmiah," tulis Dr. Etty, "pada dasarnya adalah cara ilmuwan berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi yang baik bisa membuat yang diajak berkomunikasi mengertai apa yang dimaksudkan oleh komunikator. Sama halnya penulis yang baik harus bisa membuat pembaca mengerti apa yang dimaksudkan penulis tanpa arti ganda. Dengan demikian, penulis harus lebih dahulu memahami apa makna yang akan disampaikan kepada pembaca sebelum menuangkan gagasannya ke atas kertas. Dengan kata lain, menulis adalah kegiatan berpikir selain berkomunikasi."
Terdiri atas empat bab dan dua macam lampiran, buku ini sudah mampu memberikan gambaran tentang apa sih tujuan seseorang menulis karya ilmiah dan bagaimana meraih tujuan itu secara benar. Pada Bab Keempat, penulis dengan bagus menambahkan satu bahasan materi yang penting, yaitu ihwal menyiapkan presentasi. Ada dua macam presentasi yang dibahas penulis, yaitu prersentasi lisan dan presentasi poster. Dan di bab lampiran, ditunjukkan macam-macam tulisan ilmiah yang terdiri atas sebelas macam disertai penjelasannya. Lalu, yang menarik, ada satu lampiran yang bisa difungsikan sebagai "check list", yaitu "Daftar Pemeriksaan Bagian-bagian Tulisan". Dalam menyiapkan sebuah tulisan, apalagi sebuah buku, daftar periksa itu sangat penting agar seorang penulis dapat meneliti kembali apa-apa yang ditulisnya.

What Is To Be Done?
Ya, apa yang dapat dilakukan oleh seorang terpelajar setelah memahami syarat-syarat penulisan karya tulis ilmiah sebagaimana disebutkan dalam buku-buku yang membahas soal itu? Apakah sang terpelajar itu lantas secara cepat dapat terbangkitkan gairahnya untuk menulis karya ilmiah? Atau, sang terpelajar itu seperti saya, yaitu tertunduk lesu dan merenungkan betapa banyak syarat-syarat yang diperlukan agar sebuah tulisan dapat disebut sebagai tulisan ilmiah? Apa yang sebaiknya saya lakukan setelah memahami syarat-syarat itu?
Setelah membaca buku-buku berkaitan dengan cara, syarat, dan kriteria sebuah karya ilmiah, tiba-tiba di kepala saya banyak berjejalan pertanyaan yang harus saya keluarkan. Mengapa sedikit sekali buku-buku ilmiah yang menarik perhatian yang beredar di pasaran di Indonesia? Mengapa sebagian besar textbook kita masih menggunakan buku-buku yang ditulis oleh para sarjana dari Barat? Mengapa dosen-dosen kita tidak mencoba menyiapkan buku ajarnya sendiri yang menarik dan dapat dikonsumsi oleh para muridnya dari tahun ke tahun? Apakah menulis karya ilmiah itu sulit? Apakah menulis buku ilmiah itu tidak laku di pasaran?
Apa sebenarnya yang terjadi dengan budaya menulis-ilmiah di kalangan para terpelajar kita. Saya duga, setiap tahun ada ratusan skripsi, tesis, disertasi yang dimunculkan oleh perguruan-perguruan tinggi kita. Saya kira juga, ada banyak makalah, laporan ilmiah, artikel-artikel berbobot, yang terus mengalir dari kaum terpelajar kita. Namun, mengapa gairah menerbitkan buku ilmiah yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas kayaknya tidak muncul? Apa yang menyebabkan karya-karya ilmiah yang tersimpan di universitas kita lantas bisa dicap tidak layak dibukukan? Apakah ini benar? Apakah keilmiahan bertentangan dengan komersialitas? Apakah keilmiahan tidak sewajarnya disebarkan di tengah masyarakat? Atau, saya salah mempertanyakan hal ini? Atau, ada hal-hal lain yang lebih mendasar yang layak kita bahas lebih dahulu sebelum melontarkan pertanyaan seperti ini?
Bagaimana mengubah keadaan yang melanda dunia kampus kita yang sepertinya terasingkan dari kemeriahan penerbitan buku-buku orisinal dan yang memuat hal-hal baru sebagaimana ditunjukkan secara sangat lantang oleh Amazon.com ataupun oleh majalah mingguan Publishers Weekly? Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan buku, baik itu ilmiah maupun nonilmiah, terus memenuhi planet kita ini apabila, secara rutin, kita mau berkunjung ke situs-situs penjual buku di Internet. Tak hanya berhenti di situ. Planet kita juga dipenuhi oleh gagasan-gagasan baru dalam menampilkan buku. Buku, pada saat ini, tidak hanya berisi teks melulu (meskipun teks tetap penting), namun juga sudah dipermak sedemikian rupa sehingga di dalamnya tersaji gagasan-gagasan hebat yang ditampilkan lewat paduan bahasa kata dan bahasa rupa. Apakah hal-hal seperti ini juga menyentuh dunia kampus kita?
Saya sebenarnya masih ingin bertanya. Namun, saya harus berhenti di sini. Semoga tulisan saya ini bermanfaat dalam menyoroti karya tulis ilmiah dari sudut pandang yang, semoga, berbeda. Bandung, 19 Maret 2003



Sekadar Catatan tentang Tulis Menulis
Oleh : Sindhunata


Oleh Penerbit Mizan, saya diminta untuk membagikan  pengalaman di sekitar tulis menulis pada rekan-rekan penulis.  Seingat saya, pengalaman menulis itu begitu luas dan panjang, banyak variasi dan bidangnya.  Karena itu, saya tidak tahu, harus mulai darimana, atau harus mengutarakan pengalaman yang mana. Di bawah ini saya justru ingin menyampaikan  terlebih beberapa pengalaman dan pernyataan para penulis dunia tentang suka duka kepenulisan mereka.  Pendapat mereka ingin saya jadikan acuan bagi pengalaman saya sendiri. Semoga juga bagi pengalaman Anda.  Memang, acuan itu sifatnya lebih reflektif, filosofis, bahkan teologis. 

Kepenulisan dan Keberadaan-Diri
Kepenulisan (Jerman: Schreiben) dan keberadaan-diri (Sein) adalah dua hal yang tak terpisahkan.  Bahkan untuk  seorang penulis, kesatuan antara dua hal itulah yang menentukan identitasnya (Undine Gruenter, lih. Die Zeit (2003)14, hlm. 53).  Dalam bidang penulisan sastra, menulis sendiri adalah semacam rencana, dimana seorang pengarang ingin membangun estetika hidupnya.  Dengan menulis, orang ingin menyatakan apa saja yang ia cita-citakan dan impikan dalam hidupnya.
Kebenaran dari pernyataan ini dapat kita lihat dalam hidup para penulis-penulis besar.  Tampak, karya tulis mereka adalah pergulatan hidup mereka sendiri.  Nyaris tiada lagi perbedaan antara hidup mereka dengan apa yang mereka tuliskan.  Mulai dari nilai, harapan, keputusasaan sampai cinta mereka.  Menulis itu adalah identias bagi keberadaan mereka, atau sebaliknya: keberadaan mereka ditentukan oleh kepenulisan mereka.
Jelas, menulis di sini lalu bukan sekadar pekerjaan sambilan, "upaya untuk menambah dan mengejar (ngoyak) setoran", atau pencarian keselebritasan yang dangkal.  Menulis adalah pergulatan hidup dalam intinya yang terdalam, semacam upaya untuk menemukan dan menentukan identitas kita yang paling orisinal.  Jelas disini menulis bukan hanya pekerjaan yang menyenangkan, tapi keperihan dan kepedihan untuk mencari diri kita yang hilang dan tenggelam dalam pelbagai kedangkalan.

Wacana untuk menembus kegelapan
Kau yang turun dari surga
menentramkan segala sakit dan derita
siapa yang deritanya berlipatganda
akan diteduhkan berlipat ganda pula.

Ah, lelah aku sudah dengan pelbagai upaya
Apalagi artinya semua nikmat dan derita
Tentram dan lega, datanglah padaku
berisirahatlah di dadaku
(Goethe: Wanders Nachtlied).

Puisi itu adalah jeritan agar Tuhan menolong manusia, yang didera oleh derita, dan diombang-ambingkan oleh nikmat dan derita.  Ia ingin semuanya itu berhenti dan ia menjadi tenang.  Dalam keadaan demikian rasanya kematian lebih menghiburkan daripada perjuangan.
Di manakah dia dapat menemukan ketentraman itu?  Ya, dalam puisi itu sendiri.  Bahan puisi yang ditulisnya adalah kententraman itu sendiri.  Dalam puisi itulah, orang membuat suatu wacana tentang kegelapan hidup ini, dan mencoba untuk menemukan alternatif rasional untuk memecahkannya.
Itulah kiranya yang harus kita alami ketika kita menulis.  Kita didera oleh suatu persoalan, kita menjadi lelah dan capai, kita ingin terbebas dari kelelahan dan kecapaian itu, kita ingin menemukan kedamaian dan ketentraman.  Cara kita membebaskan diri dari persoalan, bukan dengan berpolitik, atau berdemonstrasi, tapi dengan menulis.  Tulisan kita harus menjadi "obat", atau "perhentian", yang dapat menyembuhkan sakit kita, mengheningkan dan mengisitirahatkan kelelahan dan kegelisahan kita.
Tulisan yang terburu-buru dan asal-asalan kitanya tak bakal menjadi tempat sandaran yang menentramkan.  Kita puas mungkin, tapi kepuasan itu hanya menyentuh nama  kita di luaran saja.  Di dalam, kita tetap merasa tidak puas, merasa belum menemukan jawab.  Ironisnya, tulisan yang dalam justru menegur kita, mengapa kamu hanya sedangkal itu saja.  Tulisan yang dalam makin menggelisahkan kita untuk terus mencari dan mencari lagi.  Tulisan itu mungkin menentramkan pembaca, tapi tidak bagi kita.  Dalam arti ini menulis adalah pekerjaan yang menyakitkan seperti sebuah pencarian diri yang tak pernah terpuaskan juga amat menyakitkan.
Nasib Tulisan di Tangan Pembaca
Tulisan itu menjadi berarti, ketika ia sudah memasyarakat.  Artinya, pembacalah yang menentukan apakah tulisan itu baik atau tidak (Martin Walser).  Ironisnya, ketika kita menulis, pembaca itu tidak terlalu kita perhitungkan.  KIta hanya berekspresi dan berekspresi.  Pembaca sendiri bisa mulai menemukan arti dalam tulisan itu, jika ia sendiri mempunyai pengalaman, seperti dituturkan dalam tulisan itu.
Dengan kata lain antara pembaca dan penulis harus ada sambungan pengalaman yang sama.  Dari sinilah sebuah tulisan itu akan membentuk suatu kesadaran.  Hanya kesadaran itu tidak dapat kita rencanakan dari awal.  Kesadaran itu muncul lewat pembaca dan dari pembaca, setelah mereka membacanya.  Ini paradoks suatu penulisan: arti dari suatu tulisan itu kelihatannya lebih merupakan produk dari pembaca daripada penulisan.  Karena itu benarlah kata-kata: "Nasib buku itu di tangan pembaca, sesuai dengan daya kemampuan dan tingkatan mereka" (Manfred Fuhrmann).
Dilihat dari kacamata di atas, menulis itu adalah suatu petualangan.  Kita boleh merasa tulisan kita baik, ternyata tulisan itu tak berbunyi apa-apa bagi pembaca.  Dalam bahasa pemasaran buku: pasar pembaca itu sulit diterka.  Melihat kenyataan itu, tak bisa kita mematok dari awal, bahwa tulisan kita akan laku.  Kita memang harus memperhitungkan pembaca, tapi kita tidak boleh didikte oleh pembaca.  Biarlah pembaca membacanya, sementara kita hanya menuliskannya.  Memang, jembatan antar kita dan pembaca akan terbangun, jika mempunyai pengalaman yang diandaikan juga dialami pembaca.  Maka menulis sesungguhnya bukan hanya pekerjaan otak, tapi pekerjaan pengalaman: pengalaman mendesak kita untuk merefleksikannya, dan kemudian menuliskannya.

Menulis Kkarena Dunia Tak Menyerupai Kita
Andaikan dunia sudah sama dengan kita atau keinginan kita, literatur itu takkan pernah ada (Martin Walser).  Tapi dunia tak pernah sama dengan keinginan kita.  Mengapat dunia tak menyerupai kita?  Karena dari dirinya sendiri, dunia itu tak mempunyai makna.  Sebagai manusia, kita tak dapat menanggung sesuatu yang tanpa makna.   Bahka menyelidiki sesuatu yang tanpa makna pun sudah merupakan upaya untuk memberi makna.  Menulis tak lain tak bukan adalah menanggapi dunia yang tanpa makna dan tak menyerupai kemauan kita itu menjadi sesuatu yang menyerupai kita.  Dengan menulis kita memberi jawaban atas sesuatu yang kita anggap kurang, karena tidak menyerupai kita. 
Untuk menjalankan tugas kepenulisan itu, kita hanya punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, kita mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan.  Sesuatu yang sudah kita rasa sama dan serupa dengan keinginan kita, belum betul-betul terasa sebagai serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan.  Baru dengan bahasa, kita dapat membuatnya terasa, nyata dan terungkap.  Kalimat, yang kita tuliskan, mengatakan pada kita tentang sesuatu, yang tidak kita sadari, sebelum kita mengkalimatkannya.  Jadi bahasa adalah semacam "alat produksi".  Patut diingat, kendati bahasa adalah alat kita, kita bukanlah â€Å“tuan” dari alat tersebut.  Karena itu, kita harus dengan sabar menunggu, sampai bahasa itu menjadi peluang, yang memberi kita jalan untuk mengerti dan membukakan banyak hal, yang sebelumnya tidak kita ketahui.  Percaya pada kekuatan bahasa, kita akan diajak untuk melihat banyak kemungkinan dalam hidup kita, untuk kita ungkapkan.
Banyak penulis lupa akan misteri dan kekuatan bahasa.  Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan pengalamannya.  Padahal semua itu tadi masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa.  Jangan mengira, menyatakan dengan bahasa itu mudah.  Sebelum menyatakan dengan bahasa, kita harus menggulati pengetahuan kita dengan bahasa.  Sering terjadi, dalam pergulatan itu kita kalah.  Kita merasa tahu dan mengerti, merasa mengalami dan sadar, tapi semuanya itu tudak dapat kita kalimatkan, artinya bahasa tak membantu kita untuk menyatakan semuanya itu tadi.  Akhirnya, semuanya tinggal sebagai kegelapan dan kebawahsadaran, padahal kita merasa tenang dan sadar tentangnya.  Dalam hal ini bahasa adalah sarana pencerahan bagi kegelapan kita.
Kendati tidak pernah bisa menjadi seratus persen tuan atas bahasa, bahasa harus kita latih dan kuasai.  Kalau logika bahasa kita mampet, kalau gramatika kita kacau, kalau keindahan bahasa tidak kita kuasai, dan perbendaharaan bahasa tidak kita punyai, dalam menulis kita hanya akan menjumpai kekeringan belaka.  Sebaliknya, jika kita terlatih dan kaya akan bahasa, lorong-lorong kepenulisan tiba-tiba membuka dengan sendirinya.

Menulis dan Kesepian
Berani menyendiri, berada dalam kesepian dan keterasingan adalah hal yang harus terjadi dalam kepenulisan (Marguerite Duras).  Kesepian itu bahkan harus dialami bukan hanya secara rohani, tapi juga secara badani.  Namun kesepian ini bukan berarti isolasi.  Kesepian itu lebih merupakan semacam keberadaan diri yang sadar, yang justru terus bergulat untuk menemukan kontak tapi juga menolak kontak.
Dalam kesepian itu orang bahkan menjadi liar.  Menulis memang membuat orang menjadi liar.  Menulis membuat orang kembali kepada kebuasan, yang  ada sebelum hidupnya.  Seorang penulis tiba-tiba mendapati dirinya liar seperti di hutan, dan selalu liar sepanjang hidupnya.  Untuk menulis, orang harus menggigit bibir, bergulat dengan keliarannya.  Untuk itu ia harus menjadi lebih kuat dari tubuhnya.  Ia juga harus lebih kuat daripada apa yang hendak ditulisnya.  Kalau tidak, ia akan menyerah dan kalah.  Maka menulis itu sebenarnya bukan hanya menulis, tapi mengalahkan kelemahan dirinya, menundukkan apa yang dihadapinya.  Penulis itu bagaikan binatang, yang berseru di kala malam.  Penulis itu tiba-tiba merasakan hidup ini vulgar, dan ia tidak bisa menghaluskannya, sebelum ia ikut dan terbenam dalam kevulgaran itu.
Jelas, orang yang tidak berani sepi, dia tak mungkin jadi penulis yang baik.  Tapi kesepian itu bukan romantisme kesendirian.  Kesepian itu adalah suasana, yang menantang kita untuk berani bergulat dengan seluruh realitas, yang ternyata tidak mudah kita taklukan.  Tak jarang orang menyerah dalam pergulatan itu, karena ia merasa tidak kuat dan tidak mampu.  Menulis akhirnya adalah suatu askese, matiraga, suatu kebertapaan di tengah keramaian. Karang Klethak, 29 Juni 2003



Mata Itu Begitu Jernihnya
Oleh : Faidah Azuz


"Kalau aku jadi raja, mereka tak hanya akan memperoleh pangan dan papan, tetapi juga ajaran dari buku, karena perut yang kenyang itu tak bernilai jika pikiran kelaparan". -The Prince and Pauper

Juli 2001, ketika saya mengunjungi stand Mizan di Pameran Buku Istora Senayan Jakarta, saya dihadiahi beberapa sticker kecil berwarna merah dengan tulisan seperti yang saya kutip di atas. Sticker itu saya bagikan ke beberapa teman kerja di Makassar sebagai oleh-oleh, reaksi mereka berbeda-beda. Ada yang langsung membacanya dan kemudian dengan antusias berkomentar tentang anak dan buku.
Di pikiran mereka dirinya adalah raja yang berkewajiban mengenyangkan anak-anak dengan ajaran dari buku. Tetapi ada juga yang tidak antusias, hanya berkata pendek "iya..ya..betul juga... " lalu menghentikan pembicaraan.
Di Pameran itu pula, saya berkenalan dengan Mas Hario yang diminta oleh Mizan untuk mengawal stand divisi anak-anak. Mas Hario dengan cekatan dan ekspresi penuh menjelaskan pada saya jenis bacaan dan kesesuaian tingkatan umur anak-anak. Juga tentang tata warna dan bentuk gambar. Saya kagum bukan saja pada keragaman bacaan anak-anak di Mizan, tetapi juga pada gaya Mas Hario menerangkan. Belakangan saya tau bahwa Mas Hario berprofesi sebagai pendongeng, maka tak pelak mulut saya membentuk huruf oooo yang panjang. Profesi ini belum ada di Makassar, kota saya itu.
Tahun 2001 tepatnya tanggal 18 Nopember, Yayasan Katutui mengundang Mas Hario ke Makassar untuk memberikan ceramah pada seminar "sayang anak lewat cerita". Kami ingin membagi pengetahuan dengan para orang tua bahwa kesibukan di tempat kerja tidak lantas membuat kita mereduksi waktu mendongeng pada anak-anak. Mas Hario mengajarkan bagaimana mengolah cerita, bagaimana menyelipkan pesan moral dalam bahasa anak-anak ketika mendongeng sebelum tidur.
Ketika Mas Hario memperagakan cara menuturkan cerita dengan mengambol contoh kisah sahabat Nabi yang susah bersyahadat dan hendak dibakar saat meninggal karena durhaka pada ibunya, sebagian peserta sekitar 200-an orang itu ada yang merembeskan sapun tangan di sudut mata. Ada yang memejamkan mata, ada yang menggit bibir kuat-kuat. Suasana menjadi hening.  Duh... kami terharu dengan cara penuturan Mas Hario.
Ini bukan kisah baru, hampir semua ibu-ibu yang hadir tau cerita itu..tetapi cara penuturan yang optimal mampu menyentuh sudut hati peserta. "Nah...bayangkan...jika...ibu-ibu saja sudah tersentuh hatinya, apalagi anak-anak di rumah..pasti hati mereka yang bersih itu akan merekam pesan moral baik-baik manakala disampaikan dengan cara yang menyentuh pula" Tutup Mas Hario. "Ibu-ibu tidak bisa mengolah cerita dengan baik kalau tidak memiliki sumber cerita...maka itu berarti...maaf ibu-ibu...apa boleh buat, saya sarankan untuk rajin membaca, rajin ke toko buku memilih buku untuk anak-anak..." begitu Mas Hario menyelesaikan sesinya. Kami menarik nafas panjang, membenarkan!
***
Sekarang, sudah tahun 2003. Pengalaman dengan Mas Hario plus pesan dari sticker Mizan melemparkan saya ke toko buku. Sudah dua jam saya berkeliling di sini, mencari buku untuk kemenakan saya. Saya berkeringat di toko Gramedia Jalan Dr. Ratulangi Makassar yang ber-AC. Bingung mencari buku yang cocok untuk anak menjelang usia 2 tahun.
Betul-betul saya merasa tak berkutik mencari buku cerita untuk sang kemenakan. Kebingungan ini semakin mengental ketika saya merasakan bahwa betapa mudahnya mencari buku untuk diri sendiri, atau buku wajib untuk mahasiswa, atau untuk perpustakaan tempat saya bekerja, atau bahkan untuk menghadiahi teman.
Kesukaan saya berinternet, berkomunikasi dengan beberapa penerbit atau penulis, diskusi dengan pakar, atau aktifitas lain harus tersentak, betapa tidak berdayanya ketika harus memilih buku untuk si kecil.  Bingung dan penasaran semakin menjadi-jadi. Dimana segala kemampuan---kata orang kemampuan intelektual---orang dewasa untuk mencerna buku? Kebingungan tersebut sampai pada puncak keputusan. Pulang tanpa membawa satu bukupun.
Tetapi rasa bingung telah berubah menjadi penasaran yang menggunung. Besoknya saya menyediakan waktu khusus membawa sang kemenakan ke toko buku. Saya menggiringnya ke bagian buku anak-anak. Membiarkan dia memilih, memilah, dan membuka-buka beberapa halaman buku.
Pushhh.. betapa gampang si kecil memutuskan buku yang disukainya. Ternyata si kecil hanya memilih satu majalah Bobo Yunior dan Buku cerita MIO-MIZAN  tentang "ajakan berolah raga". Matanya membesar dan tersenyum lucu ketika melihat ada gambar anak kecil berjilbab. Dia memegang ujung jilbab kecilnya. Lalu dengan lidah cadelnya mengatakan "Nuyu puna jibat," nurul juga punya jilbab, maksudnya. Masya Allah, begitu mudah si kecil Nurul Salsabila memilih.
Bobo Yunior yang dipilihnyapun ada alasan. Si kecil menunjukkan gambar jubah panjang Nirmala yang berwarna merah muda. Lalu berujar "ayun ade yaya". Ternyata jubah panjang Nirmala dilihatnya sebagai bentuk kerucut panjang mirip ayunan adiknya si Rara yang juga berwarna merah muda. Senyum saya melebar.
Saya ingin bereksperimen, melihat reaksi si kecil terhadap buku-buku lain. Saya memperlihatkan komik remaja. Dibukanya sebentar, lalu dikembalikan lagi. Tidak berminat. Saya menunjukkan komik tentang sahabat Nabi terbitan Rosda-Bandung. Si kecil langsung berteriak-teriak kegirangan, matanya berbinar jernih, seperti menemukan sesuatu, "ini abi aut... ini abi aut... " sambil menunjukkan gambar sorban. Mungkin teringat ketika dibacakan cerita Nabi Daud menjelang tidurnya.
Saya kemudian menunjukkan buku yang berderet dibawah tulisan Politik. Si kecil membukanya sebentar, membolak balik halaman tanpa curiga, kemudian mengembalikan pada saya dan berujar dalam irama bertanya "ini ida puna".  (Ini punya Ida?). Mungkin dipikiran sederhananya menemukan bahwa kalau buku yang banyak karakter teks pasti milik orang dewasa seperti saya.  Masya Allah betapa sederhananya anak-anak memilah.
Sekarang, di Bulan Juni 2003, ketika semua bangsa hendak memperingati hari anak sedunia, rasanya tidak perlu berangan-angan terlalu muluk untuk menyelamatkan anak-anak yang berada jauh dari jangkauan kita. Di lingkungan terkecil, di rumah, ternyata anak perlu diberdayakan. Berdaya secara intelektual, juga kemampuan emosional, apalagi kemampuan spiritual. Meminjam istilah sekarang, memberdayakan IQ, EQ, dan SQ.
Mungkin, jika negara ini telah mencapai tingkat kehidupan yang baik, persoalan ekonomi bukan jadi masalah, anak bisa sekolah secara gratis yang berarti IQ mereka bisa di perbaiki. Sekolah EQ dan SQ tidak bisa dibayar dengan rupiah, tetapi teladan, kearifan, tebaran rasa ruhama (rasa sayang) itulah uang sekolahnya. Untuk mengetahui apakah anak sudah terpuaskan IQ, SQ, dan SQ tidak perlu mencari jauh-jauh, lihat saja matanya, bercermin disitu, kita segera temukan jawabannya.
Saya kembali merenung kemudahan si kecil ketika memilih buku. Tidak semua buku diakui sebagai miliknya. Masih mengingat buku untuk orang lain ketika menemukan jubah Nirmala yang mirip ayunan. Agaknya kita orang dewasa perlu juga belajar dari anak-anak terutama sifat jujur, sikap sportivitas, setia kawan, tidak egois dan banyak lagi hal-hal natural dan normatif. Sampai disini teringat kembali pada bukunya Kak Seto Mulyadi "anakku adalah guruku". Saya mengangguk setuju.**



Menjadikan Teks sebagai Senjata
Oleh : Hernowo


Bahan-bahan yang saya gunakan untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak didik saya berasal dari apa saja yang saya baca. Saya mengajar sekali seminggu pada hari Sabtu. Selama hampir seminggu--hampir setiap hari--saya memilih dan mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku yang saya baca dan dari pelbagai ragam sumber informasi yang saya akses, seperti Internet, surat kabar, majalah, televisi, dan lain-lain.
Saya ingin materi kebahasaan yang saya ajarkan senantiasa up to date. Artinya, saya ingin menggunakan bahasa sebagai salah satu cara menjadikan mereka tahu tentang apa saja yang sedang berkembang di sekitar mereka. Saya kok merasa yakin bahwa dengan memosisikan bahasa seperti itu, akhirnya saya dapat membuat mereka dapat merasakan manfaat belajar bahasa Indonesia.
Kadang, setelah saya selesai mengisahkan apa yang saya dapat, saya lalu bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka dapat selama seminggu. Apakah mereka memperoleh hal-hal baru dari apa yang mereka baca? Apakah ada sebuah kabar atau berita yang mengesankan mereka yang mereka peroleh dari surat kabar, misalnya? Apakah ada yang bermanfaat untuk mengembangkan diri mereka yang berasal dari televisi, radio, ataupun Internet. Itulah, sekali lagi, bahan-bahan yang saya gunakan untuk mengajarkan bahasa Indonesia.
Apakah dengan begitu saya lantas tidak mengikuti kurikulum pengajaran bahasa Indonesia yang disediakan oleh pemerintah? Saya jelas masih berpedoman dan mempelajari kurikulum itu. Namun, saya menggunakannya secara fleksibel, tidak kaku. Misalnya, saya sadar bahwa saya harus mengajarkan bahasa Indonesia dalam konteks dapat mencakup empat keterampilan berbahasa: berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Saya, memang, senantiasa berusaha mencoba mendasarkan proses belajar-mengajar saya untuk keperluan peningkatan empat keterampilan berbahasa tersebut.
Benar, saya memang hanya menekankan pada salah satu aspek keterampilan berbahasa saja, yaitu menulis. Mengapa? Hal ini ada kemungkinan, pertama, lantaran keterbatasan saya. Saya merasa tidak layak untuk mengklaim bahwa saya mampu mengajarkan (apalagi melatih) mereka, anak didik saya, dalam keempat keterampilan berbahasa atau berkomunikasi tersebut. Saya lalu mengambil saja yang merupakan salah satu aspek yang, menurut saya, memang saya kuasai.
Kedua, saya kok merasa yakin bahwa dengan mengajarkan keterampilan menulis kepada mereka, saya sekaligus dapat menunjukkan bahwa apabila mereka mau dan akhirnya mampu menguasai keterampilan menulis, bisa jadi ketiga aspek keterampilan berbahasa--berbicara, menyimak, dan membaca--dapat mereka tingkatkan juga. Ini memang masih berupa hipotesis saya. Masih perlu diuji keandalannya. Apabila ditanyakan kepada saya apa landasannya, ya saya akan bercerita tentang pengalaman diri saya.
Selama ini saya memang mencoba benar-benar menggunakan kegiatan menulis untuk mengatasi permasalahan saya dalam berkomunikasi. Sebelum saya berlatih habis-habisan menulis, saya termasuk orang yang gagap berbicara secara lisan, apalagi kalau diminta berbicara di depan orang banyak. Saya kadang gugup dan gembrobyos (keringat terus mengalir dari tubuh saya). Yang lebih parah adalah saya kadang tidak dapat mengendalikan pembicaraan begitu waktu mulai bergerak. Kadang saya terjebak untuk bicara ke mana-mana, ngalor-ngidul, tak keruan ujung-pangkalnya. Ujung-ujungnya, saya bingung sendiri dan tak paham dengan hal-hal yang saya bicarakan.
Nah, lewat menuangkan lebih dahulu secara tertulis apa pun yang ingin saya omongkan, saya merasa lebih enak dan percaya diri. Saya menuangkan bukan dalam bentuk outline atau poin per poin. Saya menuangkan secara bebas dan total dalam bentuk esai yang kadang berlembar-lembar panjangnya. Yang penting saya sudah mengeluarkan semua hal yang memang ingin saya omongkan atau keluarkan. Apabila saya berhasil melakukannya, saya akan lebih mudah dan lancar dalam menyampaikan apa yang perlu saya sampaikan.
Yang mengherankan saya, apa pun yang saya tulis kemudian melekat-kuat di benak saya. Saya seperti diberi kekuatan untuk dapat mengendalikan omongan saya. Saya merasa, menulis dapat membantu saya untuk menyaring dan menguasai materi yang ingin saya omongkan. Dan kalau sudah begini menulis saya rasakan dapat mempiawaikan cara berkomunikasi lisan saya. Saya lalu dapat berbicara secara benar, tertata, dan fokus. Sekali lagi, kemampuan menulis dapat digunakan seseorang untuk memperbaiki komunikasi lisannya.
Menulis juga dapat "memaksa" saya untuk mau membaca atau mencari tambahan informasi. Lantas, setelah itu, apa saja yang saya baca dapat saya manfaatkan untuk mengembangkan diri saya apabila saya dapat menyerap "gizi" yang saya baca. Caranya? Ya dengan "mengikat" atau menuliskan hal-hal menarik dan mengesankan saya yang saya peroleh dari kegiatan membaca. Ada kemungkinan, tanpa didampingi kegiatan mencatat, proses pembacaan saya tidak begitu efektif. Informasi yang saya serap hanya menumpuk di kepala saya dan hilang satu per satu akibat tindihan informasi baru.
Nah, terakhir, untuk dapat mencatat secara baik, saya harus mendengarkan dengan baik pula apa saja yang saya baca. Kadang tuntutan untuk dapat menuliskan sesuatu secara bernas dan tuntas juga "memaksa" saya untuk menyimak dengan penuh perhatian terhadap sumber informasi yang saya serap. Apabila saya menyerap informasi dari sebuah buku, maka saya harus "mendengarkan secara aktif" (active listening) setiap gagasan yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang.
Hanya dengan menyimak secara penuh perhatianlah seseorang itu dapat "membaca" apa saja yang ingin diserapnya. Juga apabila kita ingin dapat menampung segala curahan hati (curhat) seseorang, kita perlu benar-benar merekam seluruh gerak-gerik fisik, kata-kata yang keluar, dan juga emosi yang bergejolak yang disampaikan oleh seseorang tersebut. Active listening tak mungkin terbentuk apabila tidak disertai kesungguhan membaca, merekam (bisa dengan mencatat), dan memberikan respons secara lisan (berkomunikasi secara empatik).
**
Demikianlah, kurang lebih, materi yang saya berikan kepada seorang mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra saat mewawancarai saya pada Jumat, 13 Juni 2003. Sang mahasiswi itu tertarik untuk mengetahui cara saya mengajarkan bahasa Indonesia di sebuah SMU. Dia ingin tahu metode yang saya gunakan dalam mengajar dan bagaimana saya menyusun kurikulum serta apa yang ingin saya raih. Yang menarik--di antara beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada saya--dia juga bertanya soal sebab-sebab pengajaran bahasa Indonesia yang--dirasakannya dan juga saya rasakan--kadang membosankan. Kenapa ya?
Apakah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah memang terasa membosankan? Saya kira bagi yang menyenangi mata pelajaran bahasa Indonesia, tentulah mata pelajaran itu menyenangkan. Bagi yang tak menyenangi mata pelajaran tersebut--apalagi bagi yang memiliki minat tinggi dalam mempelajari mata pelajaran lain selain bahasa Indonesia--tentulah, bisa jadi, kelas yang mengajarkan materi pelajaran bahasa Indonesia akan terasa membosankan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya membuat kegiatan belajar-mengajar bahasa Indonesia menjadi tidak membosankan? Atau, apakah membosankan dan tidak membosankan dalam kaitan pembelajaran bahasa Indonesia ini harus didudukkan lebih dahulu ketimbang memasalahkan dan kemudian mencari solusinya? Apakah pelajaran bahasa Indonesia di sekolah selama ini memang membosankan? Saya tidak tahu. Saya hanya menunjukkan kepada mahasiswi yang mewawancarai saya tentang pengalaman saya mengajarkan bahasa Indonesia selama hampir lima tahun di SMU.
Saya tunjukkan kepadanya--termasuk saya bertanya juga kepada mahasiswi tersebut--bahwa apabila seseorang ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, tentulah salah satu (atau mungkin lebih) dari empat cara berbahasa (yang telah disebutkan sebelum ini) sangat penting untuk dikuasai. Misalnya kemampuan menulis. Kemampuan menulis, setidaknya, perlu dikuasai oleh seseorang yang ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Apakah ada yang tidak setuju berkaitan dengan hal ini? Mungkin ada ya yang tidak setuju.
Lalu, saya dan mahasiswi itu terlibat diskusi tentang dunia tulis-menulis--di antaranya adalah bagaimana cara memotivasi seseorang untuk mau membiasakan diri menulis. Terutama, setelah mahsiswi itu tahu bahwa saya hanya mengajarkan bidang keterampilan menulis di SMU tempat saya mengajarkan bahasa Indonesia. Mengapa hanya menulis, kan belajar bahasa itu tidak hanya berkaitan dengan menulis? Kan masih ada keterampilan lain berbahasa yang perlu dipelajari? Saya kemudian menjelaskan kepadanya sebagaimana tulisan yang saya ciptakan di awal tulisan ini.
Apabila kegiatan belajar-mengajar bahasa Indonesia di sekolah kita anggap, memang, cenderung membosankan (tidak merangsang anak didik untuk menguasai keterampilan berbahasa), lantas apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah keadaan yang, mungkin, membosankan itu?
**
Saya katakan kepada mahasiswi yang mewawancarai saya bahwa tujuan saya mengajarkan bahasa Indonesia adalah untuk memperkaya pemikiran anak didik saya. Saya senantiasa mengawali pengajaran saya dengan menceritakan apa saja yang saya dapat berkaitan dengan teks. Kadang saya membawa buku dan menunjukkan manfaat yang saya serap dari teks yang saya baca. Kadang saya membuat transparansi yang bahannya saya peroleh dari Internet, surat kabar, atau media lain.
Saya merasa tidaklah mungkin pembelajaran di kelas yang hanya memakan waktu efektif selama satu setengah jam dapat digunakan untuk menyampaikan seluruh materi pelajaran yang ingin diajarkan. Saya kadang menyiasatinya dengan memberikan gambaran besar dan apa manfaat mata pelajaran yang ingin dipelajari mereka saat itu. Saya juga berusaha untuk merangsang mereka agar tidak hanya berhenti belajar di kelas. Saya mendorong mereka untuk belajar di dunia yang lebih luas.
Saya ingin anak didik saya belajar bahasa Indonesia sesuai dengan perkembangan yang terjadi di luar. Saya, terutama, ingin menunjukkan kepada mereka bahwa teks dapat dijadikan "senjata" untuk, salah satunya, memperkaya pikiran mereka. Apabila pikiran mereka dapat diperkaya dengan teks-teks yang membuat cakrawala mereka semakin lebar, tentulah mereka akan dapat merangsang diri mereka sendiri untuk terus mencari pengetahuan yang bermanfaat, salah satunya, lewat teks, dengan, misalnya menyelenggarakan kegiatan membaca buku, berselancar di Internet, atau berdiskusi.
Saya juga katakan kepada mahasiswi itu bahwa saya tidak hanya memberikan pengetahuan kepada mereka berkaitan dengan bahasa Indonesia. Saya kadang mengajak mereka untuk menggunakan bahasa untuk memecahkan problem-problem mereka. Saya ingin mereka berlatih menggunakan bahasa Indonesia demi keuntungan diri mereka. Saya, misalnya, memberikan tugas kepada mereka untuk membuat surat lamaran kerja. Saya kadang meminta mereka untuk menulis surat kepada orangtua atau sahabat mereka. Saya juga meminta mereka untuk mengekspresikan diri mereka secara tertulis dan bebas.
Saya menganjurkan mereka untuk menyediakan buku harian. Saya katakan kepada mereka bahwa buku harian dapat membuat mereka hidup dalam dunia yang ingin mereka ciptakan sendiri. "Menuliskan rasa marah, harapan, ketakutan, kecemburuan bisa mencegah Anda dari menguburkan emosi Anda dalam-dalam, yang menyebabkan emosi itu sulit diraih kembali. Penggunaan huruf besar, tanda seru, atau kata sifat saat menulis buku harian merupakan cara Anda berteriak tanpa harus membangunkan tetangga," tulis Laurel Schmidt.
Tugas-tugas yang saya berikan saya pola sedemikian rupa sehingga tugas itu betul-betul berkaitan dengan diri mereka dan mereka, nantinya, dapat merasakan manfaatnya. Saya ingin tugas-tugas bahasa Indonesia yang saya berikan kepada mereka dapat membuat diri mereka menguasai keterampilan berbahasa--setidaknya keterampilan menulis--secara benar-benar mengasyikkan mereka. Bagaimana membuat anak didik saya menyenangi sebuah tugas? Bukankah tugas-tugas mereka di sekolah sudah terlalu banyak untuk dikerjakan di rumah?
Saya senantiasa memberikan tugas dengan lebih dahulu membebaskan diri mereka. Misalnya, saya meminta mereka untuk mengirimkan tugas mereka dalam bentuk e-mail. Di samping mudah, cepat, dan murah meriah, e-mail dapat membebaskan mereka lantaran sifatnya yang sangat personal. Saya juga meminta mereka untuk mencatat perkembangan diri mereka lewat buku harian. Merujuk ke kata-kata Schmidt, saya kira buku harian juga dapat membebaskan diri mereka. Kadang cara saya mencek apakah mereka menulis atau tidak di buku harian mereka adalah saat mereka menjalani ulangan-ulangan harian yang kadang saya lalukan secara mendadak tetapi membuat mereka tidak merasa tertekan.
Nah, salah satu kegiatan menyenangkan yang terakhir saya berikan kepada mereka adalah tugas memilih lagu yang mereka sukai. Saya meminta mereka memilih satu lagu yang benar-benar bermakna bagi mereka. Saya meminta mereka--selain mendengarkan dengan saksama dan menikmati iramanya--agar menuliskan lirik dan kemudian mengapresiasi sesuai apa yang mereka pahami.
Tentu, untuk membuat mereka lebih senang, saya senantiasa memberikan hadiah berupa buku-buku yang cocok dengan karakter mereka, terutama bagi yang berprestasi. Reward semacam ini, saya kira akan membuat harga diri dan kepercayaan diri mereka membubung tinggi. Insya Allah.[]


Buku 'Curhat' Hillary Clinton
Oleh : Rostita


Semua orang bisa menulis. Menulis tema apa saja---termasuk curhat---dan itu dilakukan mantan first lady Amerika Serikat, Hillary Clinton. Tgl. 2 Juni 2003, buku tulisan senator New York itu diluncurkan. Judulnya Living History, berisi pengalamannya sebagai ibu negara selama 8 tahun di Gedung Putih mendampingi suaminya Bill Clinton yang menjabat presiden Amerika Serikat selama dua periode. Tapi yang jadi topik utama buku terbitan Simon&Schuster itu adalah 'curhat' Hillary Clinton seputar affair suaminya dengan Monica Lewinski.
"Sesak rasanya dada ini. Saya menangis dan saya membentak Bill. "Apa sih maksudnya? Ngomong apa kamu? Kenapa kamu begitu?' Saya sangat kesal. Bill berdiri di depan saya, sambil terus berkata, "Maafkan saya ya. Maafkan saya. Saya hanya ingin melindungimu dan Chelsea.'"
Perempuan lain mungkin enggan menuliskan hal yang paling rahasia seperti itu. Tapi Hillary memilih menuliskannya.  Hillary bukan hanya ingin memaparkan fakta, dan rasanya, ia juga tidak mencari sensasi, karena sebagai senator, ibu satu anak itu sanggup menyedot kucuran dana sampai 3 juta dollar AS untuk Partai Demokrat yang diwakilinya. 
Entahlah mengapa Hillary menuliskan pengalaman pahitnya. Tapi, Profesor di Fakultas Kedokteran Harvard, Alice Domar (penulis buku Self-nurture: Learning to Care for Yourself as Effectively as You Care for Everyone Else, (Wanita Belajarlah Mencintai Dirimu: Menyayangi dan Memerhatikan Keluarga Tanpa Mengabaikan Sendiri, Qanita, 2002), mengatakan "menuliskan segala sesuatu dapat mengatasi kenangan dan perasaan pahit, sehingga seseorang meneruskan kembali hidup dengan penuh percaya diri.
Entahlah, apakah Hillary ingin berbagi. Tapi, ada satu kutipan menarik dari The Associated Press yang mempublikasikan Living History. 
"Menurut Hillary, pencalonan dirinya untuk duduk di kursi senat mewakili New York menjadi jembatan penyembuh hubungannya dengan Bill Clinton. 'Bill dan saya jadi lebih banyak berdiskusi tentang kursi senat, dan kami tidak menggugat masa depan hubungan kami. Lama-lama kami jadi lebih santai.'" Ini mengingatkan saya akan sebuah pendapat yang mengatakan, jika kita sedang menghadapi satu masalah, alihkan konsentrasi ke hal lain, maka masalah itu akan terasa lebih ringan.
Hillary hanya menulis. Menulis saja. Menulis isi hatinya, perasaannya, pemikirannya, pengalamannya dan lain-lain. Dan kita---pembacanya (mungkin kita akan membaca bukunya karena menurut www.yahoo.com, hak terbitnya sudah dijual kepada 16 negara, mungkin, termasuk Indonesia)---menemukan banyak hal dari tulisannya. Dari publikasi The Associated Press saja, setidaknya ada dua hal, menulis untuk menyembuhkan hati, dan menulis untuk berbagi, memotivasi.  Tapi,  yang sangat jelas, buku Hillary Clinton ini juga membuktikan hasil riset James W. Pennebaker  (penulis "Ketika Diam Bukan Emas", Kaifa 2002) bahwa mencurahkan isi hati (self-disclosure) dapat berpengaruh positif bagi perasaan, pikiran, dan kesehatan tubuh---yang caranya sangat mudah dilakukan:  membuka-diri  kepada orang yang dipercaya, atau yang lebih baik lagi: menuliskan semuanya secara bebas di catatan pribadi.
Ngomong-ngomong, Simon&Schuster sangat yakin, Living History setebal 562 halaman bakal laris.  Edisi pertamanya yang dicetak 1 juta eksemplar memang laris di pasaran. Hillary Clinton sendiri dibayar 2,85 juta dollar AS. **



Wow, Aku Bisa Menulis!"
Oleh : Hernowo

Suatu ketika, setelah mencetak prestasi besar dalam sejarah kehidupannya sebagai atlet bola basket, Michael Jordan ditanya oleh seorang wartawan televisi terkenal. "Apa yang membuat Anda mampu melesakkan bola hingga mendekati angka 50 poin?" Jordan menjawab sembari mata-tajamnya menatap mata sang wartawan, "Keinginan. Saya memang mempunyai keinginan untuk mencetak angka yang banyak dalam setiap pertandingan."
Keinginan? Sekali lagi, apakah hanya keinginan yang mampu memotivasi Jordan untuk berprestasi dalam setiap pertandingan bola basketnya? Mari, pertanyaan ini tidak usah kita jawab lebih dahulu. Saya akan mengajak Anda untuk berpindah dari Jordan ke Covey. Dalam buku berpengaruhnya, The 7 Habits, Stephen R. Covey bercerita. Covey bercerita tentang apa sih yang dimaksudkan dengan "habit" atau kebiasaan itu. Katanya, kebiasaan merupakan titik pertemuan antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan keinginan (desire).
Lalu di dalam bukunya itu, Covey membuat gambar untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan titik pertemuan. Gambar itu terdiri atas tiga lingkaran, yang di dalam setiap lingkaran tertulis kata pengetahuan, keterampilan, dan keinginan. Ketiga lingkaran itu lalu dipertemukan dan di tengah-tengah pertemuan ketiga lingkaran itu diberi arsir (raster) dan terciptalah apa yang didefinisikan dengan kebiasaan. Apa sebenarnya yang diinginkan Covey dengan menciptakan ketiga hal itu?
"Pengetahuan adalah paradigma teoretis, 'apa yang harus dilakukan' dan 'mengapa', "tulis Covey. "Keterampilan adalah 'bagaimana melakukannya'. Dan keinginan adalah motivasi, 'keinginan untuk melakukan'. Agar sesuatu bisa menjadi kebiasaan dalam hidup kita, kita harus mempunyai ketiga komponen tersebut." Mari, kita berhenti sejkenak di sini dan merenungkan secara intens apa yang kita peroleh dari semua ini? Dari ucapan Jordan sekaligus kata-kata Covey?
Michael Jordan, salah satu atlet terbaik yang pernah dilahirkan oleh NBA, adalah olahragawan bola basket yang dikenal memiliki keterampilan sangat tinggi dalam bermain basket. Bahkan Jordan sempat disemati oleh sebuah istilah yang, bisa jadi, hanya dimiliki oleh pesawat terbang: Air Jordan! Dan dalam sebuah film, Space Jam, Jordan sempat dilukiskan sebagai pebasket yang tidak punya lawan-tanding di bumi ini sehingga harus dicarikan lawan-tanding dari planet lain.
Saya kira pengetahuan Jordan tentang olahraga basket juga tak kalah hebat dari keterampilannya memainkan bola basket itu sendiri. Bahkan, sebuah buku yang ditulis oleh seorang penceramah motivasi dan inspirasi terkemuka di Amerika, Pat Williams--How To Be Like Michael Jordan (Kaifa, 2002)--menunjukkan bahwa pengetahuan kebolabasketan Jordan telah membuatnya menciptakan aturan-aturan kehidupan yang membuat dirinya meraih prestasi tinggi baik di lapangan basket maupun di kehidupan yang lebih luas. Jordan adalah teladan kedisiplinan, tak kenal menyerah, dan pekerja keras dalam meraih sebuah hasil.
Bagaimana dengan keinginan (desire) Jordan dalam meraih prestasi tinggi ketika bermain bola basket? Inilah, menurut saya, salah satu aspek penting yang dimiliki Jordan. Jarang ada seorang atlet berprestasi atau tokoh-tokoh hebat yang mengeluarkan pernyataan seperti Jordan. Sebagaimana saya tulis di awal bahwa yang mendorongnya meraih prestasi tinggi adalah keinginan. Bisa jadi, Jordan punya pengetahuan dan keterampilan tinggi dalam bermain bola basket. Namun, apa jadinya apabila Jordan tak punya keinginan untuk meraih prestasi tinggi?
Tentu saja, ada kemungkinan, Jordan tak bisa seperti Jordan saat ini apabila tidak memiliki keinginan. Keinginan--meskipun sulit diprediksi bagaimana kita dapat merasakan memilikinya dan caranya supaya kita punya keinginan--merupakan unsur pembeda yang sangat penting antara apakah orang "hebat" yang satu dan orang hebat yang lain dapat meraih sukses. Meskipun ada dua orang yang sama hebatnya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, kedua orang ini secara sangat jelas dapat memiliki nasib berbeda apabila diukur dari sisi keinginan.

Lalu apa kaitan keinginan dengan kegiatan menulis?
Pembaca yang budiman, pada akhir Mei 2003 lalu, saya, selaku koordinator Mizan Writing Society (Masyarakat tulis Mizan [MTM]), mencoba melakukan aksi di Pesta Buku Jakarta. Aksi yang saya lakukan adalah membuka Klinik Baca-Tulis. Sifat aksi ini dapat dikatakan sebagai semacam "pelayanan" kepada masyarakat. Bisa jadi, klinik itu juga merupakan peniruan persis dari aksi Posyandu atau Poliklinik yang menggarap kesehatan masyarakat.
Benar bahwa Klinik Baca-Tulis yang diselenggarakan oleh MTM--bekerja sama dengan Penerbit Mizan di Pesta Buku Jakarta--tersebut memang mencontoh praktik-praktik poliklinik atau posyandu yang telah tersebar luas di tengah masyarakat. Klinik yang didirikan MTM dimaksudkan untuk membantu masyarakat luas dalam memecahkan problem-problem membaca dan menulis yang, mungkin, melilit mereka.
Memang, saya sebagai "dokter" di klinik tersebut tidak sebagaimana dokter beneran yang memberikan obat. Saya hanya mengajak para pengunjung yang datang ke klinik saya untuk mengobrol--tepatnya, membagikan pengalaman membaca dan menulis. Pada saat menyusun skenario bagaimana nantinya klinik ini berjalan, saya mengusulkan agar setiap pengunjung dapat menuliskan lebih dahulu apa saja yang mau diobrolkan. Saya beranggapan bahwa dengan menuliskan lebih dahulu apa yang mau diobrolkan tentulah akan memudahkan saya, terutama, untuk mempersiapkan obrolan-bandingan.
Juga, saya menganggap bahwa apabila seseorang dapat menuangkan secara tertulis persoalan yang menggayuti benak dan hatinya--terutama berkaitan dengan kegiatan membaca dan menulis--maka orang yang menuliskan persoalannya tersebut akan lebih mudah mengomunikasikan dan menikmati perbincangan yang terjadi. Saya juga merancang agar mekanisme klinik berjalan secara sangat personal. Artinya saya, sebagai "dokter", memang melakukan obrolan secara "face to face" dan pribadi.
Dengan mengobrol secara pribadi, biasanya orang lebih dapat terbuka dan total dalam mengeluarkan persoalannya. Apalagi persoalan yang ingin diungkapkan ini sebenarnya persoalan yang biasa dan, bisa jadi, melanda semua orang namun sangat urgen. Dan, meniru terapi berbicara dan menulis yang dilakukan oleh psikolog James W. Pennebaker, saya juga ingin menjadikan keterbukaan atau kesediaan mengalirkan secara bebas apa yang dipikirkan seseorang itu dapat membantunya dalam mengatasi tekanan.
Namun, apa yang terjadi dengan klinik perdana yang saya rintis ini? Skenario itu ternyata berantakan. Tiba-tiba saja ada banyak sekali orang yang datang dan mengerubung saya. Saya kemudian dibanjiri oleh banyak sekali pertanyaan yang bermacam-macam. Ada pertanyaan yang bisa saya tangkap secara jelas, dan juga, kadang, ada yang tidak dapat saya cerna. Akhirnya, saya pun harus melayani para pengunjung secara massal. Dan pengunjung tak berhenti bertanya. Saya pun harus terus berbicara, berbicara, dan berbicara.
**
Salah satu hal yang saya catat dan menarik untuk saya bagikan kepada para pembaca adalah antusiasme pengunjung. Rata-rata para pengunjung klinik saya itu memiliki "keinginan-kuat" untuk dapat membaca buku secara baik, rutin, dan akhirnya menjadi kebiasaan. Selain itu, mereka juga ingin dapat menuliskan seluruh pengalaman menariknya sehingga dapat dibagikan dan kemudian dibaca oleh orang lain. Saya kira--mengikuti Jordan dan juga teori Covey tentang kebiasaan--apa yang saya jumpai itu merupakan fenomena menarik. Saya katakan menarik lantaran sudah kerap terdengar di lingkungan kita bahwa budaya membaca--apalagi budaya menulis--masyarakat Indonesia itu rendah.
Meskipun data yang saya kumpulkan tidak sahih atau kurang memenuhi syarat untuk dijadikan referensi, namun saya merasakan sendiri betapa antusiasmenya para pengunjung yang datang ke klinik saya. Saya kemudian menebak-nebak sendiri kenapa mereka mengikuti klinik saya secara antusias. Atau, dalam bahasa lain, saya kok sangat yakin bahwa para pengunjung klinik saya itu sudah menyimpan "keinginan" yang sangat besar untuk dapat membaca dan menulis buku. Hanya kapan "keinginan" itu dapat diledakkan oleh mereka, mereka tidaklah mengetahuinya.
Ada dua hal yang perlu saya sampaikan di sini. Pertama, kalau itu benar--yaitu, dugaan saya bahwa mereka memang punya "keinginan"--maka saya kira apa yang disimpan oleh para pengunjung klinik saya itu dapat mengubah keadaan mereka. Sebab, mengikuti Jordan, keinginan mampu memotivasi seseorang untuk meraih sebuah prestasi. Dan apabila saja keinginan membaca dan menulis buku secara baik yang dimiliki para pengunjung klinik saya itu benar-benar mendorong mereka untuk melakukan kebiasaan membaca dan menulis secara sedikit demi sedikit, setiap hari, tentulah mereka akan menguasai keterampilan dan memiliki pengetahuan membaca dan menulis.
Kedua, kalau itu salah--yaitu mereka sebenarnya memang tidak punya keinginan sebelumnya--maka dengan merangsang mereka dalam bentuk pembukaan klinik sebagaimana yang saya rancang itu, sebenarnya tak sedikit orang yang kemudian berhasil memunculkan keinginan untuk bisa memiliki pengetahuan dan menguasai keterampilan membaca dan menulis. Saya percaya bahwa keinginan dapat diciptakan. Apabila seseorang berhasil merumuskan manfaat tentang apa saja yang ingin dilakukannya, tentulah orang itu dapat memunculkan keinginannya secara hebat.
Terlepas dari semua apa yang saya uraikan, Klinik Baca-Tulis milik MTM ini nantinya memang ingin, pertama-tama, menampung keluhan dan semacamnya berkaitan dengan buku, membaca, dan menulis. Kami menyadari betapa tidak mudahnya seseorang yang ingin bertanya soal buku yang baik dan menarik, dan juga soal kegiatan membaca dan menulis yang menyenangkan, menemukan orang yang tepat untuk melayani keinginan bertanya itu. Nah, Klinik Baca-Tulis MTM didirikan untuk membuka peluang kepada masyarakat yang ingin mengalirkan keluhan atau apa pun yang, mungkin, telah disimpannya lama sekali. Klinik Baca-Tulis akan bersedia berubah wujud menjadi "keranjang sampah" atau wadah apa pun yang bermanfaat bagi masyarakat yang ingin meningkatkan kemampaun membaca dan menulisnya.
Kedua, Klinik Baca-Tulis ingin membuat dan melontarkan isu ke tengah masyarakat tentang pentingnya membaca dan menulis buku. Sudah disadari sejak lama bahwa membaca dan menulis buku merupakan salah satu kegiatan yang dapat membawa sekelompok masyarakat membangun peradaban yang tinggi. Sayangnya, di Indonesia, kesadaran itu memang ada, hanya praktik atau aksi dalam menerjemahkan kesadaran tersebut dalam program-program yang nyata belumlah banyak. Beberapa komunitas yang peduli buku memang sudah mulai bermunculan. Namun, dukungan dari pelbagai pihak yang ingin diraih oleh komunitas-komunitas itu masih belum kelihatan secara sangat nyata. Dengan menciptakan isu, kami berharap dukungan perlahan-lahan bisa mulai mengkristal.
Ketiga, Klinik Baca-Tulis MTM melakukan pendekatan dalam memecahkan problem membaca dan menulis dengan cara yang diharapkan berbeda. Atau, kalau toh tidak bisa berbeda secara signifikan dengan pendekatan yang selama ini ada, maka diharapkan klinik ini dapat ikut memperkaya bagaimana merangsang tumbuhnya potensi membaca dan menulis di tengah masyarakat luas. Klinik ini mencoba memangkas kendala-kendala yang mengerangkeng seseorang untuk memunculkan potensi membaca dan menulis. Pendekatan yang digunakan dapat disebut sebagai "pendekatan unleashing" yang membuat seseorang secara sangat bebas memunculkan apa yang dipendamnya sekian lama.
Lewat pendekatan-pendekatan yang berbeda itulah diharapkan, suatu saat kelak, tentulah dengan usaha yang cukup dan kepemilikan "keinginan yang sangat kuat", setiap orang dapat berteriak sangat keras dan merasa dirinya menemukan sesuatu--"Wow, aku ternyata bisa menulis!"[]



Menulis Untuk Mentransformasi Diri
Oleh : Hernowo


Pada 12, 17, dan 20 April, Mas Hernowo berkeliling menjajakan (buku) "Pizza"-nya. Pada 12 dan 20 April dalam acara "Book Signing" di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta, dan Gramedia, Jalan Sudirman, Jogja. Pada 17 April dalam acara bedah buku "Pizza" di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Dalam ketiga acara tersebut, Mas Hernowo menyiapkan sebuah tulisan yang tersaji berikut ini. Selamat menikmati.
Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza merupakan contoh konkret bagaimana saya menerapkan teori "mengikat makna". Saya "mengikat" (mencatat) apa saja yang berkesan dan menarik bagi diri saya lewat tulisan.
Saya "mengikat" apa pun yang masuk ke dalam diri saya dan yang berasal dari mana pun.
Ada kalanya makna itu tak langsung muncul pada saat saya mencatat apa saja yang ingin saya catat. Kadang makna itu baru muncul setelah waktu berjalan beberapa saat. Atau, kadang makna itu tiba-tiba muncul setelah saya mengaitkannya dengan sesuatu, setelah saya berproses, mengalir biasa seperti orang lain mengalir. Yang pasti, makna itu muncul secara sangat kuat, setelah saya menuliskan sesuatu.
Oh ya, pada saat awal saya mencatat, media yang saya gunakan kadang tidak berbentuk kertas. Ponsel atau layar komputer juga sangat kerap saya gunakan. Nah, apa-apa yang saya "ikat" itulah yang ingin saya sebut sebagai catatan harian saya sebagaimana saya mengklaim buku Andaikan adalah wujud-konkret catatan harian saya.
Untuk apa saya menulis buku? Dalam sanubari saya terdalam, sudah lama sekali tersimpan sebuah obsesi. Saya ingin menunjukkan manfaat praktis dan manfaat sangat luar biasa dari aktivitas membaca dan menulis. Bahkan kalau seseorang dapat memadukan dua aktivitas tersebut secara rutin dan konsisten, misalnya setiap hari, saya berani memberikan garansi bahwa orang tersebut akan memperoleh "kekayaan" yang tiada tara pada suatu saat kelak.
Obsesi saya ini sebenarnya begitu jelas terlihat di buku Andaikan dan belum begitu jelas terlihat di buku Mengikat Makna, meskipun di MM soal obsesi saya ini sudah saya singgung selintasan. Nah, kini, saya sudah merasakannya. Dan apa yang sudah saya lakukan dan rasakan bisa juga dialami oleh siapa saja. Ya, siapa saja, saya tegaskan.
Catatlah apa saja yang memang menurut Anda layak dicatat. Kumpulkan catatan Anda itu secara teratur. Biarkan catatan itu tumbuh dan mengikuti mengalirnya waktu. Kalau perlu, sekali-sekali, rawatlah. Sayangilah. Beri pupuklah. Dan, ingat, seperti tetanaman atau hewan, kadang catatan itu ada yang mati dan ada juga yang "bersinar" sangat menyilaukan.
Saya mengaitkan seluruh materi yang ada di buku Andaikan dengan "word smart". Memang, saya terpengaruh oleh pandangan Howard Gardner dan pemikir seperti Buzan, Pennebaker, Krashen, Armstrong, dan yang lain soal kecerdasan-berbahasa ini. Saya kemudian merumuskan sendiri apa sih guna bahasa? Kenapa kita harus mempelajari bahasa?
Kebetulan saya mengajar bahasa Indonesia di sebuah SMU. Saya lalu merumuskan bagi saya sendiri sebuah tujuan baru mengapa saya mengajar bahasa Indonesia dan apa selayaknya yang perlu kita pelajari berkaitan dengan bahasa. Ketemulah rumusan berikut bahwa bahasa itu dapat digunakan sebagai salah satu senjata untuk memecahkan masalah-masalah kita. Misalnya untuk merencanakan masa depan atau untuk merumuskan siapa diri kita.
Konsep "word smart" itu kemudian saya kembangkan sebagaimana yang tampak pada bagan AMBaK Melejitkan "Word Smart" di buku Andaikan. Bagan itu tak ada di konsep pemikiran Gardner, Buzan ataupun yang lain. Ada kemungkinan apa yang dibayangkan oleh para penemu konsep "kecerdasan" itu seperti apa yang saya gambarkan. Namun, saya kira, pikiran saya dan pikiran mereka tidak persis sama. Kan saya punya karakter sendiri. Saya hidup dengan nasi dan kangkung, sementara Gardner dan Buzan tidak sebagaimana saya hidup.
Sungguh setelah dapat melahirkan buku kedua, saya ingin menegaskan di sini bahwa membaca dan menulis buku bagi saya itu "meringankan" sekaligus menyenangkan. Mengapa begitu? Pertama, ini lantaran dua macam kegiatan itu dapat saya lakukan secara mencicil. Kedua, membaca dan menulis itu sangat membantu saya dalam mengenali diri saya. Ketiga, bukan hanya menulis (ini konsep Pennebaker) ternyata membaca juga menyembuhkan. Saya merasakan semua ini.
Dan, tentu saja, ternyata apa yang saya tulis ini cukup memberikan imbalan yang lain, yaitu dapat "menghidupi" saya. Atau kalau saya boleh meminjam kata-kata Kiyosaki, dalam menjalankan aktivitas membaca dan menulis, saya tidak lantas mampu membuat buku demi uang. Saya membuat buku lantaran saya ingin agar "uang" bekerja untuk saya. Saya kira sungguh menyenangkan ya menjadi orang yang biasa lalu bisa "bermakna" bagi orang lain?
Benar, melakukan hal-hal biasa yang akhirnya bisa menjelma menjadi hal-hal yang luar biasa, eh, "berharga", sangat mempengaruhi saya belakangan ini. Ada kemungkinan saya mengetahui hal ini sudah cukup lama saat saya membaca buku Don Gabor, Big Things Happen. Itu terjadi pada tahun 1999 ketika saya ingin memberikan pengantar untuk buku yang diproses oleh rekan-rekan saya di Mizan berkaitan dengan "gaya selingkung" Penerbit Mizan.
Gabor mengilhami saya dengan kata-kata saktinya. Dia menulis, "Kalau saja Anda rajin melakukan hal-hal kecil dengan benar, (insya Allah) pada suatu ketika nanti Anda akan dapat menciptakan hal-hal besar." Saya kok waktu itu, dalam hati, meyakini soal ini. Lalu ya mengalirlah saya dengan membaca apa saja dan menulis apa saja.
Saya mengerjakan buku ini hampir mencakup seluruh aspeknya. Saya bisa melakukan itu karena saya bekerja pada penerbit yang menerbitkan buku saya. Saya mengerjakan hampir apa saja, dari mulai yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Saya menganggap buku saya adalah apa yang merupakan bagian dari darah dan daging saya. Ya seperti anak-anak sayalah. Ini lantaran saya memang terlibat sekali dalam melahirkan gagasan-gagasan saya hingga menjadi bentuk yang terstruktur dan dapat dibukukan.
Saya harus merawatnya (lihat tulisan asli saya di buku Andaikan, halaman 116, yang merupakan catatan harian saya yang usianya sudah 15 tahun kalau diukur pada tahun sekarang). Saya harus menyimpan dan menyusuinya hingga catatan-catatan saya itu tumbuh sehat, cerdas, dan bergizi.
Kini saya punya banyak sahabat, baik sahabat lewat SMS atau Internet ataupun surat tercetak. Ya, tak sedikit orang yang merasa terinspirasi oleh buku saya. Alhamdulillah. Saya jadi bersemangat sekali untuk membantu siapa saja agar bangkit dan mampu "menyulap" hal-hal biasa yang ada di dalam dirinya menjadi hal-hal berharga---paling tidak untuk diri sendirinya---lewat menulis.
Untuk mengakhiri catatan saya ini, izinkan saya mengutip pendapat Fatima Mernissi tentang menulis. Tulisan Mernissi ini saya cuplik dari artikelnya berjudul "Menulis Lebih Baik ketimbang Operasi Pengencangan Kulit Wajah" yang dimuat di karyanya, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Islam (Mizan, 1999, h. 34-35):
"Menulis adalah menangkap kesempatan yang amat-sangat-sangat kecil untuk mengungkapkan perasaan Anda. Itu berarti mengambil risiko untuk berkomunikasi dengan seseorang yang tidak peduli sama sekali dengan hal yang Anda pikirkan dan katakan. Menulis surat saja, misalnya, merupakan suatu kesempatan yang luar biasa bagi seseorang yang terisolasi.
"Pada saat Anda menulis surat, Anda mula-mula berdialog dengan diri Anda sendiri. Kemudian, ada kemungkinan surat itu Anda kirimkan kepada orang yang terdekat dengan diri Anda. Bahkan, bisa jadi, surat itu Anda kirimkan ke orang-orang yang sedang berkuasa.
"Meskipun saya tidak bisa menjamin surat Anda bisa dibaca oleh orang yang berkuasa, yang jelas apabila Anda berusaha mengungkapkan diri Anda setiap hari maka Anda memang tidak dapat mengubah langsung dunia, namun Anda sebenarnya dapat mengubah diri Anda sendiri. Dan saya yakin bahwa dengan mengubah diri sendiri, sesungguhnya Anda tengah mengubah dunia."
Saya kira, saya sudah membuktikan apa yang dikatakan dan diyakini oleh Fatima Mernissi. Saya dapat menunjukkan apa yang dikatakan Mernisi lewat dua karya saya, Mengikat Makna dan Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Semoga bermanfaat.[]



Menulis Itu Melatih Saya untuk Jujur
Oleh : Hernowo

Pada Jumat, 16 Mei 2003, pukul 13.00 WIB hingga selesai, akan diadakan sebuah diskusi buku karya Hernowo, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza: Rangsangan Baru untuk Melejitkan "Word Smart" (Kaifa, 2003, cetakan kedua). Acara ini akan diselenggarakan di Masjid Agung At-Tin, tepatnya di Ruang Serbaguna, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Penulis buku Andaikan akan hadir sebagai pembicara pertama, dan sebagai pembahas akan dihadirkan seorang penulis dan pemerhati sastra, Joni Ariadinata. Sementara itu, acara ini akan dibuka sekaligus dimoderatori oleh penulis fiksi yang baru-baru ini mendapat penghargaan dari Penerbit Mizan, Asma Nadia. Berikut adalah tulisan Hernowo untuk acara tersebut. Selamat menikmati.
Mahkota seniman adalah keindahan yang akan menghayati hasratnya dan menimbulkan cinta. Dalam menyampaikan tugasnya, seorang seniman harus jujur. Karyanya merupakan ekspresi perasaannya sendiri dan bukan hanya sekadar mewakili yang di luar dirinya.

Ali Audah
Ya, menuliskan apa saja ke selembar kertas berarti saya sebenarnya sedang berusaha keras untuk jujur kepada diri saya sendiri. Menulis adalah sebuah aktivitas yang sangat personal. Yang terlibat hanyalah diri sang penulis, meskipun dia menuliskan tentang persoalan-persoalan besar yang melingkupi dirinya.
Memang betul bahwa pada saat saya menulis, saya dibantu oleh banyak hal. Pertama, mungkin, adalah pengalaman saya berinteraksi dengan orang lain. Ini jelas sesuatu yang membuat saya punya bahan untuk dituliskan. Saya tidak dapat--atau akan mengalami kesulitan--menulis apabila bahan-bahan yang ingin saya tuliskan tidak atau belum menjadi bagian dari pengalaman saya.
Kedua, mungkin, saya dibantu atau, bahkan, didorong oleh gagasan-hebat milik orang lain sehingga saya harus menuliskan sesuatu. Gagasan-hebat ini bisa saja saya temukan di buku-buku yang saya baca, atau saya peroleh dari menonton film, sinetron, atau saya gaet dari irama musik yang saya dengarkan. Kadang-kadang gagasan yang mampu mendorong saya menulis datang bagaikan kilat. Dan ini, kadang, tidak bisa saya duga sebelumnya.
Ketiga, mungkin saja, saya dibantu oleh ketidakstabilan emosi saya akibat gangguan orang lain. Misalnya saja saya dibuat kesal oleh seseorang atau saya dipuji habis-habisan oleh seseorang sehingga diri saya limbung. EQ atau kecerdasan emosi biasanya sangat sering saya gunakan pada saat-saat awal mau menulis.
Tentu, tidak hanya tiga hal itu yang membantu saya sehingga saya dapat menuliskan sesuatu. Saya kira saya masih bisa menyebutkan banyak hal. Dan saya kira, orang lain bisa menyebut lagi lebih banyak hal ketika dia dapat menuliskan sesuatu. Saya cukupkan tiga hal itu sekadar menunjukkan bahwa, meskipun menulis itu merupakan kegiatan yang sangat personal, tetap saja banyak faktor di luar sang diri personal yang membantunya dapat menulis.
Namun--lagi-lagi saya harus cepat-cepat menambahkan sesuatu di sini--semua itu tetap harus dikembalikan kepada diri sendiri pada saat kita mau menuliskan sesuatu. Apa pun faktor di luar diri Anda yang dapat mempengaruhi atau menggerakkan Anda untuk bisa menulis, faktor-faktor dari luar itu tetap tidak ada gunanya apabila tidak Anda pertemukan dengan totalitas diri Anda. Apabila kita tidak dapat berkompromi dengan, atau tidak mau memahami, atau tidak jujur kepada diri kita sendiri, ada kemungkinan kita tidak dapat menulis secara lancar, mengalir, dan menyenangkan.
**
Apa yang saya maksud dengan "jujur kepada diri sendiri"? Tidak mudah, memang, membicarakan soal jujur ini. Bagaimana kita mengukur sebuah kejujuran? Apabila kejujuran dikaitkan dengan kegiatan menulis, ada kemungkinan kita dapat mengukur soal jujur ini dari seberapa jauh seorang penulis tidak menjiplak atau menelan mentah-mentah gagasan-orisinal orang lain.
Apakah di dunia ini ada gagasan-orisinal milik seorang penulis, misalnya? Bukankah setiap penulis itu tentu, ujung-ujungnya, hanya merakit gagasan-gagasan banyak orang dan kemudian sedikit diimbuhi dengan gagasannya sendiri? Bagaimana menentukan bahwa sebuah gagasan adalah milik atau merupakan temuan orisinal seorang penulis ?
Bagaimana pula dengan sosok seorang Chairil Anwar yang, pada awal mencipta sajak, menurut beberapa pengamat, beliau belajar banyak dari sajak-sajak orang lain? Bagaimana pula dengan Buya Hamka yang pernah diisukan menciptakan sebuah novel yang juga, menurut beberapa pengamat, mirip dengan novel yang diciptakan oleh penulis asing? Bagaimana kita mendudukkan soal-soal seperti ini?
Saya tidak ingin membawa persoalan "jujur kepada diri sendiri" itu melebar-lebar. Saya akan mencoba menunjukkan saja kepada para pembaca tulisan saya tentang pendapat saya. Bisa jadi, pendapat saya ini masih belum sempurna atau banyak memiliki kekurangan. Namun, yang ingin saya harapkan adalah semoga saya dapat membantu Anda untuk memecahkan sendiri persoalan-persoalan berkaitan dengan kejujuran dalam menulis.
Pertama, saya kok sangat yakin bahwa setiap manusia--termasuk di sini para penulis--punya ciri khasnya sendiri-sendiri yang tidak mungkin sama persis dengan orang lain. Saya kira, pada suatu saat kelak, entah kapan, setiap manusia bisa menemukan sendiri ciri khas tersebut. Apalagi seorang penulis. Seorang penulis diberi kemampuan lebih oleh Sang Penciptanya untuk lebih cepat, lebih kukuh, dan lebih percaya diri dalam menemukan ciri-ciri khas yang dimilikinya.
Jadi, bagi saya, pada tahap sangat awal, seorang penulis layak meniru gaya penulis lain. Bahkan di sini, saya ingin mengatakan, secara tegas dan lantang: harus! Harus meniru lebih dahulu. Dahulu, waktu masih kanak-kanak, kita meniru cara bicara orangtua kita. Juga, kita meniru cara berjalan orang-orang di sekeliling kita. Sekarang, sesudah dewasa, kita punya ciri khas sendiri dalam berbicara. Juga, mungkin, dalam berjalan. Jadi, tidak apa, pada saat awal, meniru bukan?
Bagaimana supaya kita tidak jatuh dalam bentuk plagiat? Jujurlah kepada diri Anda sendiri. Saya kira tidak usah orang lain yang memutuskan bahwa kita ini seorang plagiat dengan deretan bukti yang ditunjukkan oleh orang lain. Sebelum kita mau menerbitkan karya tulis kita, sebenarnya kita dapat bertanya kepada diri sendiri tentang apakah karya tulis kita merupakan plagiat atau tidak.
Bagaimana kalau suara hati kita mengatakan itu tidak merupakan karya plagiat, namun di dalamnya ada beberapa tulisan yang meniru gagasan orang lain? Asal kita dapat mempertanggungjawabkan, kenapa kita harus takut? Sekali lagi, meniru tidaklah merupakan suatu cela pada saat kita memang mau belajar menulis. Meniru, ada kemungkinan, bisa membantu kita untuk menemukan karakter kita.
Kedua, saya kok juga yakin bahwa setiap orang dapat menuliskan sesuatu. Setiap orang tentu mempunyai pengalaman, seberapa pun sederhananya pengalaman yang dimilikinya. Pengalaman inilah yang dapat dijadikan bahan untuk dituliskan. Apa gunanya pengalaman dituliskan? Ya untuk diseleksi, lewat kegiatan menulis, apakah pengalaman itu berharga untuk diri sendirinya atau tidak? Kalau tidak atau kurang berharga? Ya dicoba dihargainya sendiri atau dicari jalan keluarnya agar pengalaman berikutnya dapat mengesankannya atau membuat dirinya berharga. Dan ini bisa dilakukan siapa saja lewat menulis.
Kadang-kadang, memang, ada orang yang sudah kebelet atau kepingin menulis tetapi macet atau kehabisan kata-kata. Saya ingin menunjukkan kepada orang ini bahwa sebenarnya bukan soal dia tidak bisa atau tidak mampu menulis. Tetapi yang membuat dirinya macet menulis adalah ketidaktersediaan bahan yang ada pada dirinya. Atau dalam kata lain, orang ini sebenarnya tidak punya banyak pengalaman mengenai apa yang ingin ditulisnya.
Nah, untuk memudahkan agar kita dapat menuliskan sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki, kita harus bersikap jujur kepada diri kita sendiri. Kalau kita menipu diri kita--dengan mengatakan bahwa di dalam diri tersimpan banyak pengalaman berharga yang layak dibagikan kepada orang lain, padahal sebenarnya tidak ada--ya, tentu, kita akan kesulitan dalam menuangkan pengalaman kita dalam bentuk tertulis. (Meskipun, ya meskipun, kita sudah dibantu oleh seorang penulis andal lain dalam menuliskan pengalaman kita itu.)
Agar kita dapat jujur dengan diri kita sendiri saat menuliskan pengalaman kita, saya sarankan menulislah lebih dulu untuk ditujukan kepada diri sendiri. Buatlah catatan harian yang diisi setiap hari secara kontinu dan konsisten. Buku catatan harian dapat menjadi alat bantu yang luar biasa--dan saya sudah membuktikan keampuhannya--dalam melakukan tes apakah kita punya pengalaman berharga atau tidak untuk kita bagikan kepada orang lain. Saya kira, buku catatan harian juga bisa lebih berperan dari sekadar alat bantu seperti itu. Buku catatan harian juga dapat menunjukkan siapa diri kita, apa ciri khas kita, dan apa sebenarnya keunikan yang kita miliki.
**
Sampailah kita pada batas akhir. Apakah kejujuran ini bisa menjadi kriteria-baru untuk sebuah tulisan yang baik? Apa sebenarnya tulisan yang baik itu? Menurut saya, tulisan yang baik adalah tulisan yang bermanfaat bagi perkembangan diri orang lain. Apabila tulisan itu dibaca orang lain dan orang lain yang membacanya dapat memperbaiki dirinya akibat membaca tulisan itu, maka inilah yang saya maksud dengan tulisan yang baik.
Tulisan dalam bentuk fiksi ataupun nonfiksi dapat bertindak sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini. Tulisan dapat mempengaruhi orang lain. Tulisan berbeda dengan penggambaran secara visual. Sebuah tulisan dapat mengajak seseorang untuk merenungkan diri sendirinya. Tulisan dapat berubah seperti cermin yang dapat digunakan untuk berkaca--baik itu menyangkut keadaan fisik maupun nonfisik orang yang membaca sebuah tulisan.
Nah, supaya setiap tulisan yang dilahirkan oleh seorang penulis dapat menjadi tulisan yang baik dan dapat mempengaruhi pembacanya menjadi lebih baik, saya ingin mensyaratkan bahwa tulisan tersebut harus ditulis secara jujur oleh penulisnya. Semoga apa yang saya gagas ini dapat dipahami. Dan saya ingin mengakhiri tulisan saya ini dengan kata-kata berikut ini:
"Saya hanya bisa mengeluarkan kata-kata dan merangkai kata-kata itu menjadi sesuatu yang berharga (atau kadang kata-kata itu "bertenaga") untuk diri saya--dan semoga juga berharga untuk pembaca tulisan saya--apabila saya menulis apa adanya tentang diri saya. Ini berarti saya harus jujur kepada diri saya sendiri.".**



Buku, Ingatan, Kenangan
Oleh : Anwar Holid

Barangkali buku memang menolong kita untuk mengingat kembali banyak hal, merunutkan segala yang berserakan di kepala dan hasrat. Menyimpan kenangan, mencatat sejarah dan kejadian, memberi banyak pengetahuan & harapan. Sejauh mungkin menyingkirkan ingatan kita pada kematian dan putus asa. Dengan segala cara buku memerangi sebisa mungkin musuh besar manusia yang disebut Milan Kundera: lupa. Jawaban membenarkan itu; bahwa semakin banyak orang membaca, semakin banyak mengisi akal dengan pengetahuan, jiwa diaktifkan, hidup seseorang akan semakin waras. Uzur dan pikun menjauh. Sebab begitu manusia pikun atau alpa, kehidupannya akan menyedihkan, menjadi kekanak-kanakan, dan emosinya tak stabil.
Minggu, 22 September 2002. Kami pindah ke sebuah rumah kecil, di kawasan Panorama, Geger Kalong Girang, Bandung. Saking kecilnya, tukang angkut yang membantu kami itu mengeluh, "Apa masih muat tempatnya?" saat kami bolak-balik keempat kalinya dari rumah lama membawa berbagai barang: buku, perabot, baju, kaset, CD, kertas, dokumen, dan lain-lainnya. Saya dan istri tertawa. Memang, rumah ini terlalu kecil untuk langsung diisi oleh barang sebanyak itu.
"Mas, bukunya banyak-banyak amat sih!" tukang angkut itu masih berkomentar saat harus bolak-balik membawa berkardus-kardus berisi buku yang kami miliki. Sebagian besar adalah buku yang saya miliki saat masih lajang dan akhirnya menjadi bagian dari mahar. Sebagian lagi milik istri saya. Lainnya jelas-jelas merupakan harta gono-gini, karena kami memilikinya saat sudah menjadi suami-istri. Sisanya berasal dari "warisan" banyak orang: paman istri saya mewariskan beberapa buku mewah tentang kapal, buku foto Indonesia masa revolusi, sejarah bergambar bangsa Yahudi, dan tumbuh-tumbuhan. Ada hadiah dari mantan atasan usai berhasil menulis di media massa. Ada kumpulan puisi sebagai hadiah perkawinan kami, dari pasangan penyair Benny R. Budiman dan Nenden Elis.
Betulkah buku milik kami sangat banyak? Meskipun kenyataannya memang menyita hampir seluruh rak lemari di rumah, saya tetap tak berani bilang bahwa itu banyak. Ketika saya beres-beres rumah hampir seminggu lamanya, ternyata buku menyita waktu paling lama untuk dirapikan dibandingkan baju, foto, dan perabot lain. Pantas saja tukang angkut itu keberatan mengangkat-angkat kardus-kardus, seakan tak akan habis.
Meskipun mungkin tak sampai ribuan judul--kami belum bikin katalog--buku menjadi hiasan dominan di rumah kecil itu. Saat malam-malam menjelang tidur, saya terhenyak, bagaimana jadinya kalau orang yang koleksinya lebih banyak dari kami pindah dan membawa serta buku mereka? Saya kenal beberapa orang yang koleksi bukunya ribuan. Artinya, milik kami itu tak ada apa-apanya. Tapi, memang sih, katakanlah di lingkungan RT, buku kami termasuk sangat banyak. Adakah sesuatu yang berharga dari deretan buku yang mengisi rak-rak almari itu?
Sambil membereskan buku, dalam hati saya mendesah, "Ya Tuhan, semoga saya mendapatkan setetes ilmu dari ratusan buku yang berjejer di sini." Saya terharu. Baru menyadari betapa banyak artinya buku-buku itu bagi kehidupan saya, istri, dan anak. Saya berharap minimal mendapatkan sesuatu dari buku yang bertumpuk-tumpuk memenuhi ruang dalam rumah dan hati ini. Apa pun. Barangkali sejumput hikmah, khazanah, pengetahuan, kenangan, puisi, kisah, keindahan, bahkan yang fisikal, termasuk sejumlah uang.
Ketika tiba-tiba memegang sebuah judul, saya teringat kala pertama kali mengerjakan order terjemahan dari penerbit yang saya sanjung. Atau teringat uang hasil terjemahan Fihi ma Fihi karya Rumi itu habis semuanya untuk keperluan salin istri dan belanja kebutuhan anak pertama kami. Ada yang merupakan hadiah dari kawan dekat, dibeli karena ingin mendekati seorang gadis, atau sebagai hadiah kepada istri dan anak. Begitu kembali melihat Merahnya Merah saya langsung takjub bahwa saya telah membacanya di usia yang sangat dini, kelas 5 SD. Bahkan saya sendiri ragu bisa memahaminya hingga kini, meskipun selalu tergetar oleh petualangan dan kisah tokohnya.
Saya tersenyum lebar memperhatikan print-out Saman, yang saya lakukan di sela-sela hiruk-pikuk demo menjatuhkan rezim Soeharto, krisis kertas, ekonomi, dan Piala Dunia 1998. Dulu, naskah itu baru menghebohkan sastra Indonesia, belum lagi diterbitkan, dan saya bersyukur sekali mendapatkan copy file-nya dari seorang teman, Aendra H. Medita, wartawan D&R. Sekarang, print-out itu saya sandingkan dengan Larung, yang ditandatangani Ayu Utami di ak.'sa.ra--sebagai bentuk takzim saya kepada para penulis--saat didiskusikan dan "dibandingkan" dengan The God of Small Thing. Bagi saya penulis itu mirip Tuhan, sebab mereka melakukan yang juga dikerjakan Tuhan: mencipta.
Sebuah buku Inggris bergambar ternyata kini menjadi kawan akrab anak kami, menjadi media latih bicara dan belajar mengenal banyak nama, peristiwa, angka, dan warna. Buku itu sering dia bawa ke mana pun dia pergi. Padahal anak lain biasanya membawa mobil-mobilan atau pesawat mainan. Sekarang dia mulai akrab dengan buku lain: kisah nabi, binatang, Harry Potter, Winnie The Pooh dan kawan-kawannya, dongeng rakyat, juga Harun dan Lautan Dongeng karya Salman Rushdie itu. Ibunya yang rajin mendongengkan menjelang tidur--dan itu rupanya menenangkan dia.
Ternyata, buku-buku itu memberi banyak sekali pada saya. Mereka memberi energi, semangat, inspirasi, gagasan, perubahan, membentuk sikap, wawasan, pengetahuan, ilmu. Benar-benar tak disangka, betapa dalam kehidupan ini saya setiap saat berhubungan dengan buku, sastra, penerbitan, dan tulis-menulis. Bahkan nyaris tenggelam di dalamnya. Saya melihat dan memahami banyak hal dari buku-buku. Mencoba memahami banyak hal: sastra, seni rupa, kebudayaan, filsafat, kritik sosial, filsafat, agama, tasawuf, tokoh-tokoh kehidupan.
Tapi, terus-terang, saya suka kecut jangan-jangan buku sebanyak itu tak sebegitu bergunanya bagi kehidupan seseorang. Kawan saya pernah bilang, "Kamu tak akan pernah bisa jadi sufi sekalipun sudah baca buku tasawuf se-Bandung ini. Ada banyak hal yang tidak bisa didapat dari sekadar membaca; melainkan kamu harus mempraktikkannya, melatihnya, melakukannya. Bukan sekadar memahami dan mengetahui."
Dia benar. Kita kadang-kadang masih bisa memahami sesuatu, tetapi tidak selamanya setuju atau mau melakukan yang dimengerti itu. Saya masih ingat pernah dicemooh karena sering mengutip bacaan atau buku sebagai cermin kehidupan. Katanya, "Tahu nggak, buku itu fiksi, karangan, nggak nyata. Kenyataan jauh lebih rumit dari semua yang ditulis itu." Tapi, kata saya, justru kehidupan yang paling dramatis, yang menyentuh, ada di tulisan, di catatan harian, di buku-buku. Saya teringat Sampar, Lapar, kehidupan Yusuf Ali, bahkan pemahaman Frithjof Schuon tentang Islam. Sangat mencengangkan, luar biasa, mendebarkan.
Barangkali buku memang menolong kita untuk mengingat kembali banyak hal, merunutkan segala yang berserakan di kepala dan hasrat. Menyimpan kenangan, mencatat sejarah dan kejadian, memberi banyak pengetahuan & harapan. Sejauh mungkin menyingkirkan ingatan kita pada kematian dan putus asa. Dengan segala cara buku memerangi sebisa mungkin musuh besar manusia yang disebut Milan Kundera: lupa. Jawaban membenarkan itu; bahwa semakin banyak orang membaca, semakin banyak mengisi akal dengan pengetahuan, jiwa diaktifkan, hidup seseorang akan semakin waras. Uzur dan pikun menjauh. Sebab begitu manusia pikun atau alpa, kehidupannya akan menyedihkan, menjadi kekanak-kanakan, dan emosinya tak stabil.
Selesai menjejerkan buku-buku di rak itu, saya terdiam. Betapa saya beruntung dan berusaha bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk mengintip, merasakan, menjelajahi dunia antah-berantah dari rumah sekecil ini. Saya diberi jendela pengetahuan. Diberi kunci ilmu. Diberi mata-hati. Semuanya saya lakukan dari sebuah buku. []
Minggu, 22 September 2002. Kami pindah ke sebuah rumah kecil, di kawasan Panorama, Geger Kalong Girang, Bandung. Saking kecilnya, tukang angkut yang membantu kami itu mengeluh, "Apa masih muat tempatnya?" saat kami bolak-balik keempat kalinya dari rumah lama membawa berbagai barang: buku, perabot, baju, kaset, CD, kertas, dokumen, dan lain-lainnya. Saya dan istri tertawa. Memang, rumah ini terlalu kecil untuk langsung diisi oleh barang sebanyak itu.
"Mas, bukunya banyak-banyak amat sih!" tukang angkut itu masih berkomentar saat harus bolak-balik membawa berkardus-kardus berisi buku yang kami miliki. Sebagian besar adalah buku yang saya miliki saat masih lajang dan akhirnya menjadi bagian dari mahar. Sebagian lagi milik istri saya. Lainnya jelas-jelas merupakan harta gono-gini, karena kami memilikinya saat sudah menjadi suami-istri. Sisanya berasal dari "warisan" banyak orang: paman istri saya mewariskan beberapa buku mewah tentang kapal, buku foto Indonesia masa revolusi, sejarah bergambar bangsa Yahudi, dan tumbuh-tumbuhan. Ada hadiah dari mantan atasan usai berhasil menulis di media massa. Ada kumpulan puisi sebagai hadiah perkawinan kami, dari pasangan penyair Benny R. Budiman dan Nenden Elis.
Betulkah buku milik kami sangat banyak? Meskipun kenyataannya memang menyita hampir seluruh rak lemari di rumah, saya tetap tak berani bilang bahwa itu banyak. Ketika saya beres-beres rumah hampir seminggu lamanya, ternyata buku menyita waktu paling lama untuk dirapikan dibandingkan baju, foto, dan perabot lain. Pantas saja tukang angkut itu keberatan mengangkat-angkat kardus-kardus, seakan tak akan habis.
Meskipun mungkin tak sampai ribuan judul--kami belum bikin katalog--buku menjadi hiasan dominan di rumah kecil itu. Saat malam-malam menjelang tidur, saya terhenyak, bagaimana jadinya kalau orang yang koleksinya lebih banyak dari kami pindah dan membawa serta buku mereka? Saya kenal beberapa orang yang koleksi bukunya ribuan. Artinya, milik kami itu tak ada apa-apanya. Tapi, memang sih, katakanlah di lingkungan RT, buku kami termasuk sangat banyak. Adakah sesuatu yang berharga dari deretan buku yang mengisi rak-rak almari itu?
Sambil membereskan buku, dalam hati saya mendesah, "Ya Tuhan, semoga saya mendapatkan setetes ilmu dari ratusan buku yang berjejer di sini." Saya terharu. Baru menyadari betapa banyak artinya buku-buku itu bagi kehidupan saya, istri, dan anak. Saya berharap minimal mendapatkan sesuatu dari buku yang bertumpuk-tumpuk memenuhi ruang dalam rumah dan hati ini. Apa pun. Barangkali sejumput hikmah, khazanah, pengetahuan, kenangan, puisi, kisah, keindahan, bahkan yang fisikal, termasuk sejumlah uang.
Ketika tiba-tiba memegang sebuah judul, saya teringat kala pertama kali mengerjakan order terjemahan dari penerbit yang saya sanjung. Atau teringat uang hasil terjemahan Fihi ma Fihi karya Rumi itu habis semuanya untuk keperluan salin istri dan belanja kebutuhan anak pertama kami. Ada yang merupakan hadiah dari kawan dekat, dibeli karena ingin mendekati seorang gadis, atau sebagai hadiah kepada istri dan anak. Begitu kembali melihat Merahnya Merah saya langsung takjub bahwa saya telah membacanya di usia yang sangat dini, kelas 5 SD. Bahkan saya sendiri ragu bisa memahaminya hingga kini, meskipun selalu tergetar oleh petualangan dan kisah tokohnya.
Saya tersenyum lebar memperhatikan print-out Saman, yang saya lakukan di sela-sela hiruk-pikuk demo menjatuhkan rezim Soeharto, krisis kertas, ekonomi, dan Piala Dunia 1998. Dulu, naskah itu baru menghebohkan sastra Indonesia, belum lagi diterbitkan, dan saya bersyukur sekali mendapatkan copy file-nya dari seorang teman, Aendra H. Medita, wartawan D&R. Sekarang, print-out itu saya sandingkan dengan Larung, yang ditandatangani Ayu Utami di ak.'sa.ra--sebagai bentuk takzim saya kepada para penulis--saat didiskusikan dan "dibandingkan" dengan The God of Small Thing. Bagi saya penulis itu mirip Tuhan, sebab mereka melakukan yang juga dikerjakan Tuhan: mencipta.
Sebuah buku Inggris bergambar ternyata kini menjadi kawan akrab anak kami, menjadi media latih bicara dan belajar mengenal banyak nama, peristiwa, angka, dan warna. Buku itu sering dia bawa ke mana pun dia pergi. Padahal anak lain biasanya membawa mobil-mobilan atau pesawat mainan. Sekarang dia mulai akrab dengan buku lain: kisah nabi, binatang, Harry Potter, Winnie The Pooh dan kawan-kawannya, dongeng rakyat, juga Harun dan Lautan Dongeng karya Salman Rushdie itu. Ibunya yang rajin mendongengkan menjelang tidur--dan itu rupanya menenangkan dia.
Ternyata, buku-buku itu memberi banyak sekali pada saya. Mereka memberi energi, semangat, inspirasi, gagasan, perubahan, membentuk sikap, wawasan, pengetahuan, ilmu. Benar-benar tak disangka, betapa dalam kehidupan ini saya setiap saat berhubungan dengan buku, sastra, penerbitan, dan tulis-menulis. Bahkan nyaris tenggelam di dalamnya. Saya melihat dan memahami banyak hal dari buku-buku. Mencoba memahami banyak hal: sastra, seni rupa, kebudayaan, filsafat, kritik sosial, filsafat, agama, tasawuf, tokoh-tokoh kehidupan.
Tapi, terus-terang, saya suka kecut jangan-jangan buku sebanyak itu tak sebegitu bergunanya bagi kehidupan seseorang. Kawan saya pernah bilang, "Kamu tak akan pernah bisa jadi sufi sekalipun sudah baca buku tasawuf se-Bandung ini. Ada banyak hal yang tidak bisa didapat dari sekadar membaca; melainkan kamu harus mempraktikkannya, melatihnya, melakukannya. Bukan sekadar memahami dan mengetahui."
Dia benar. Kita kadang-kadang masih bisa memahami sesuatu, tetapi tidak selamanya setuju atau mau melakukan yang dimengerti itu. Saya masih ingat pernah dicemooh karena sering mengutip bacaan atau buku sebagai cermin kehidupan. Katanya, "Tahu nggak, buku itu fiksi, karangan, nggak nyata. Kenyataan jauh lebih rumit dari semua yang ditulis itu." Tapi, kata saya, justru kehidupan yang paling dramatis, yang menyentuh, ada di tulisan, di catatan harian, di buku-buku. Saya teringat Sampar, Lapar, kehidupan Yusuf Ali, bahkan pemahaman Frithjof Schuon tentang Islam. Sangat mencengangkan, luar biasa, mendebarkan.
Barangkali buku memang menolong kita untuk mengingat kembali banyak hal, merunutkan segala yang berserakan di kepala dan hasrat. Menyimpan kenangan, mencatat sejarah dan kejadian, memberi banyak pengetahuan & harapan. Sejauh mungkin menyingkirkan ingatan kita pada kematian dan putus asa. Dengan segala cara buku memerangi sebisa mungkin musuh besar manusia yang disebut Milan Kundera: lupa. Jawaban membenarkan itu; bahwa semakin banyak orang membaca, semakin banyak mengisi akal dengan pengetahuan, jiwa diaktifkan, hidup seseorang akan semakin waras. Uzur dan pikun menjauh. Sebab begitu manusia pikun atau alpa, kehidupannya akan menyedihkan, menjadi kekanak-kanakan, dan emosinya tak stabil.
Selesai menjejerkan buku-buku di rak itu, saya terdiam. Betapa saya beruntung dan berusaha bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk mengintip, merasakan, menjelajahi dunia antah-berantah dari rumah sekecil ini. Saya diberi jendela pengetahuan. Diberi kunci ilmu. Diberi mata-hati. Semuanya saya lakukan dari sebuah buku. []
Minggu, 22 September 2002. Kami pindah ke sebuah rumah kecil, di kawasan Panorama, Geger Kalong Girang, Bandung. Saking kecilnya, tukang angkut yang membantu kami itu mengeluh, "Apa masih muat tempatnya?" saat kami bolak-balik keempat kalinya dari rumah lama membawa berbagai barang: buku, perabot, baju, kaset, CD, kertas, dokumen, dan lain-lainnya. Saya dan istri tertawa. Memang, rumah ini terlalu kecil untuk langsung diisi oleh barang sebanyak itu.
"Mas, bukunya banyak-banyak amat sih!" tukang angkut itu masih berkomentar saat harus bolak-balik membawa berkardus-kardus berisi buku yang kami miliki. Sebagian besar adalah buku yang saya miliki saat masih lajang dan akhirnya menjadi bagian dari mahar. Sebagian lagi milik istri saya. Lainnya jelas-jelas merupakan harta gono-gini, karena kami memilikinya saat sudah menjadi suami-istri. Sisanya berasal dari "warisan" banyak orang: paman istri saya mewariskan beberapa buku mewah tentang kapal, buku foto Indonesia masa revolusi, sejarah bergambar bangsa Yahudi, dan tumbuh-tumbuhan. Ada hadiah dari mantan atasan usai berhasil menulis di media massa. Ada kumpulan puisi sebagai hadiah perkawinan kami, dari pasangan penyair Benny R. Budiman dan Nenden Elis.
Betulkah buku milik kami sangat banyak? Meskipun kenyataannya memang menyita hampir seluruh rak lemari di rumah, saya tetap tak berani bilang bahwa itu banyak. Ketika saya beres-beres rumah hampir seminggu lamanya, ternyata buku menyita waktu paling lama untuk dirapikan dibandingkan baju, foto, dan perabot lain. Pantas saja tukang angkut itu keberatan mengangkat-angkat kardus-kardus, seakan tak akan habis.
Meskipun mungkin tak sampai ribuan judul--kami belum bikin katalog--buku menjadi hiasan dominan di rumah kecil itu. Saat malam-malam menjelang tidur, saya terhenyak, bagaimana jadinya kalau orang yang koleksinya lebih banyak dari kami pindah dan membawa serta buku mereka? Saya kenal beberapa orang yang koleksi bukunya ribuan. Artinya, milik kami itu tak ada apa-apanya. Tapi, memang sih, katakanlah di lingkungan RT, buku kami termasuk sangat banyak. Adakah sesuatu yang berharga dari deretan buku yang mengisi rak-rak almari itu?
Sambil membereskan buku, dalam hati saya mendesah, "Ya Tuhan, semoga saya mendapatkan setetes ilmu dari ratusan buku yang berjejer di sini." Saya terharu. Baru menyadari betapa banyak artinya buku-buku itu bagi kehidupan saya, istri, dan anak. Saya berharap minimal mendapatkan sesuatu dari buku yang bertumpuk-tumpuk memenuhi ruang dalam rumah dan hati ini. Apa pun. Barangkali sejumput hikmah, khazanah, pengetahuan, kenangan, puisi, kisah, keindahan, bahkan yang fisikal, termasuk sejumlah uang.
Ketika tiba-tiba memegang sebuah judul, saya teringat kala pertama kali mengerjakan order terjemahan dari penerbit yang saya sanjung. Atau teringat uang hasil terjemahan Fihi ma Fihi karya Rumi itu habis semuanya untuk keperluan salin istri dan belanja kebutuhan anak pertama kami. Ada yang merupakan hadiah dari kawan dekat, dibeli karena ingin mendekati seorang gadis, atau sebagai hadiah kepada istri dan anak. Begitu kembali melihat Merahnya Merah saya langsung takjub bahwa saya telah membacanya di usia yang sangat dini, kelas 5 SD. Bahkan saya sendiri ragu bisa memahaminya hingga kini, meskipun selalu tergetar oleh petualangan dan kisah tokohnya.
Saya tersenyum lebar memperhatikan print-out Saman, yang saya lakukan di sela-sela hiruk-pikuk demo menjatuhkan rezim Soeharto, krisis kertas, ekonomi, dan Piala Dunia 1998. Dulu, naskah itu baru menghebohkan sastra Indonesia, belum lagi diterbitkan, dan saya bersyukur sekali mendapatkan copy file-nya dari seorang teman, Aendra H. Medita, wartawan D&R. Sekarang, print-out itu saya sandingkan dengan Larung, yang ditandatangani Ayu Utami di ak.'sa.ra--sebagai bentuk takzim saya kepada para penulis--saat didiskusikan dan "dibandingkan" dengan The God of Small Thing. Bagi saya penulis itu mirip Tuhan, sebab mereka melakukan yang juga dikerjakan Tuhan: mencipta.
Sebuah buku Inggris bergambar ternyata kini menjadi kawan akrab anak kami, menjadi media latih bicara dan belajar mengenal banyak nama, peristiwa, angka, dan warna. Buku itu sering dia bawa ke mana pun dia pergi. Padahal anak lain biasanya membawa mobil-mobilan atau pesawat mainan. Sekarang dia mulai akrab dengan buku lain: kisah nabi, binatang, Harry Potter, Winnie The Pooh dan kawan-kawannya, dongeng rakyat, juga Harun dan Lautan Dongeng karya Salman Rushdie itu. Ibunya yang rajin mendongengkan menjelang tidur--dan itu rupanya menenangkan dia.
Ternyata, buku-buku itu memberi banyak sekali pada saya. Mereka memberi energi, semangat, inspirasi, gagasan, perubahan, membentuk sikap, wawasan, pengetahuan, ilmu. Benar-benar tak disangka, betapa dalam kehidupan ini saya setiap saat berhubungan dengan buku, sastra, penerbitan, dan tulis-menulis. Bahkan nyaris tenggelam di dalamnya. Saya melihat dan memahami banyak hal dari buku-buku. Mencoba memahami banyak hal: sastra, seni rupa, kebudayaan, filsafat, kritik sosial, filsafat, agama, tasawuf, tokoh-tokoh kehidupan.
Tapi, terus-terang, saya suka kecut jangan-jangan buku sebanyak itu tak sebegitu bergunanya bagi kehidupan seseorang. Kawan saya pernah bilang, "Kamu tak akan pernah bisa jadi sufi sekalipun sudah baca buku tasawuf se-Bandung ini. Ada banyak hal yang tidak bisa didapat dari sekadar membaca; melainkan kamu harus mempraktikkannya, melatihnya, melakukannya. Bukan sekadar memahami dan mengetahui."
Dia benar. Kita kadang-kadang masih bisa memahami sesuatu, tetapi tidak selamanya setuju atau mau melakukan yang dimengerti itu. Saya masih ingat pernah dicemooh karena sering mengutip bacaan atau buku sebagai cermin kehidupan. Katanya, "Tahu nggak, buku itu fiksi, karangan, nggak nyata. Kenyataan jauh lebih rumit dari semua yang ditulis itu." Tapi, kata saya, justru kehidupan yang paling dramatis, yang menyentuh, ada di tulisan, di catatan harian, di buku-buku. Saya teringat Sampar, Lapar, kehidupan Yusuf Ali, bahkan pemahaman Frithjof Schuon tentang Islam. Sangat mencengangkan, luar biasa, mendebarkan.
Barangkali buku memang menolong kita untuk mengingat kembali banyak hal, merunutkan segala yang berserakan di kepala dan hasrat. Menyimpan kenangan, mencatat sejarah dan kejadian, memberi banyak pengetahuan & harapan. Sejauh mungkin menyingkirkan ingatan kita pada kematian dan putus asa. Dengan segala cara buku memerangi sebisa mungkin musuh besar manusia yang disebut Milan Kundera: lupa. Jawaban membenarkan itu; bahwa semakin banyak orang membaca, semakin banyak mengisi akal dengan pengetahuan, jiwa diaktifkan, hidup seseorang akan semakin waras. Uzur dan pikun menjauh. Sebab begitu manusia pikun atau alpa, kehidupannya akan menyedihkan, menjadi kekanak-kanakan, dan emosinya tak stabil.
Selesai menjejerkan buku-buku di rak itu, saya terdiam. Betapa saya beruntung dan berusaha bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk mengintip, merasakan, menjelajahi dunia antah-berantah dari rumah sekecil ini. Saya diberi jendela pengetahuan. Diberi kunci ilmu. Diberi mata-hati. Semuanya saya lakukan dari sebuah buku. []





Annemarie Schimmel
Ia Datang Bagai Mutiara Peradaban
Oleh : Yuliani Liputo


Erfurt adalah sebuah kota kecil di bagian Jerman. Di kota inilah dibesarkan seorang gadis dengan minat yang dianggap aneh di masa ketika negerinya sedang tercabik-cabik oleh Perang Dunia II. Ketika nasionalisme dan fanatisme politik tengah memenuhi udara Jerman, Annemarie Schimmel justru tenggelam dalam pesona bahasa Arab dan sejarah kebudayaan Islam.
 Schimmel masih berusia lima belas tahun ketika pertama kali terpikat pada puisi-puisi berbahasa Arab. Melalui guru bahasa Arabnya dia diperkenalkan pada sejarah kebudayaan Islam. Jalan telah dipilihkan baginya. Sepanjang hidupnya setelah itu dia konsisten menekuni bidang kajian Islam dan membuahkan karya-karya penting antara lain Gabriel's Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal; Mystical Dimentions of Islam; And Muhammad is His Messenger; A Two-Colored Brocade: The Imagery of Persian Poetry; Calligraphy and Islamic Culture, serta puluhan makalah dan terjemahan dalam bahasa Turki, Jerman, dan Inggris.
Dua tokoh Islam yang menjadi pusat perhatian Schimmel adalah Mawlana Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal. Perkenalan pertamanya dengan Rumi adalah lewat Diwan-i Shams-i Tabriz terjemahan R.A. Nicholson yang disalinnya dengan tangan. Dia berhasil membuat terjemahannya sendiri yang pertama atas puisi-puisi Rumi dan Hallaj pada Desember 1940.
Rumi menjadi begitu hidup di tangan Schimmel, seperti yang dipaparkan pada buku Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi (Mizan, 1993). Minat puitisnya disertai dengan bakat pemahaman spiritual yang tajam menghasilkan ulasan-ulasan yang kembali menghadirkan Rumi kepada khalayak pembaca secara lebih nyata dibanding para penulis lain.
Ketika menjadi profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara, Turki, Schimmel sering mengadakan kunjungan ke Konya, tempat dimakamkannya sang Mawlana. Pada acara peringatan hari lahir Rumi, 17 Desember 1954, dia diberi kehormatan untuk menyampaikan kuliah pembuka. Kegiatan itu baru mulai diselenggarakan kembali setelah lama dilarang oleh pemerintahan Turki.
Di sanalah untuk pertama kalinya Schimmel mendapat kesempatan menyaksikan tarian darwisy. Pengalaman ini membuat Rumi semakin hidup dalam diri Schimmel, menjadi sumber inspirasi dan penenang hatinya hingga saat ini.
Kekagumannya pada penyair Indo-Muslim Muhammad Iqbal tumbuh bersamaan, namun baru mendapat perhatian ketika dia mulai sering diundang ke Pakistan sejak 1958. Iqbal bagi Schimmel adalah personifikasi gabungan semangat Rumi dan Goethe, seorang pembaru yang aktif dalam politik dan sekaligus sangat mistikal. Schimmel tergerak untuk menerjemahkan salah satu karya Iqbal, Javidnama, ke dalam bahasa Turki. Terjemahan inilah yang membuatnya dekat dengan Pakistan.
Di Pakistan dia menemukan bukan hanya kenangan dan gema karya-karya Iqbal, tetapi juga keindahan ekspresi puitis bahasa Urdu. Negeri Iqbal ini seakan menjadi tanah air kedua bagi Schimmel. Dia dekat dengan Bhutto dan Jenderal Zia ul-Haq, sering muncul di acara-acara TV Pakistan, dan akhirnya diangkat menjadi warga kehormatan Pakistan dengan memperoleh penghargaan Hilal-i Pakistan melalui sebuah upacara yang juga dihadiri oleh Aga Khan. Sejak 1982, namanya bahkan diabadikan di salah satu jalan yang indah di Kota Lahore.
Ketika memilih untuk belajar sejarah kebudayaan Islam di Universitas Berlin, Schimmel barangkali tak pernah membayangkan, suatu hari akan menjadi Presiden Asosiasi Sejarah Agama Internasional (1980), atau diundang untuk memberikan kuliah Gifford di Edinburgh, atau menjadi profesor universitas bergengsi di Amerika, Harvard University.
Tapi dunia akademis seakan telah diniscayakan baginya. Setelah berhasil memperoleh gelar Ph.D. di bidang studi-studi Islam pada November 1941 (ketika masih berusia 21 tahun). Schimmel diangkat menjadi profesor untuk bidang yang sama di Universitas Marburg atas rekomendasi seorang sejarawan agama Jerman yang dikaguminya, Friedrich Heiler. Setelah itu berturut-turut dia mengajar di Universitas Ankara, Turki, Universitas Bonn, dan terakhir di Harvard University sebagai profesor kultur Indo-Muslim sejak 1970.
Setumpuk gelar dan kehormatan pun diraihnya dari berbagai universitas di Eropa dan Timur Tengah, demikian pula penghargaan dan medali sebagai pengakuan dunia atas sumbangsih pentingnya terhadap bidang kajian sejarah agama, literatur dan mistisisme. Pada lima tahun silam, Schimmel menerima "Peace Price 1995" dari German Book Trade.
Schimmel senang menggambarkan perjalanan hidupnya sebagai lingkaran proses belajar yang terus membesar. Belajar baginya adalah proses mengubah pengetahuan dan pengalaman menjadi kebijakan dan cinta, untuk menjadi dewasa. Seperti kisah dari Timur, kerikil bisa berubah menjadi batu ruby jika ia dengan sabar menahan sinar matahari. Menumpahkan darahnya sendiri dalam sebuah pengorbanan tertinggi. Schimmel adalah mutiara yang membawakan pemahaman yang lebih baik tentang Islam kepada Barat.
Beberapa karya Schimmel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain: Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi Saw. dalam Islam (1991), Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi (1993), Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam secara Fenomenologi (1996), dan Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalamSpiritualitas Islam (1998).[]



Sebuah Jembatan Yang Terbangun Dari Kata-Kata
Warisan Annemarie Schimmel
Oleh : Pangestuningsih


Musim semi 1996. Perempuan berperawakan mungil itu menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman, termasuk Presiden Roman Herzog. Perempuan itu, Annemarie Schimmel, berbicara tentang kata. "Kata yang baik laksana pohon yang baik...", demikian dia mengutip Al Quran. "Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata."
"Kata memiliki kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya."
Nyata benar pesan yang disampaikan Schimmel saat menerima penghargaan tahunan Peace Prize dari German Books Trade itu bukan sekadar sambutan seremonial. Persis setelah namanya diumumkan sebagai pemenang Peace Price setahun sebelumnya, sekitar dua ratus intelektual Jerman dan Eropa memprotes penganugerahan tersebut. Lewat kata-kata, mereka menuding Schimmel mendukung apa yang mereka namakan sebagai "fundamentalisme Islam"--sebuah kampanye yang disebut Schimmel telah "menghancurkan apa yang saya bangun hampir seumur hidup saya, melukai hati dan pikiran saya...." Kendati demikian Schimmel tetap berbesar hati bahkan memanjatkan doa, "Semoga mereka yang menyerang saya bahkan tanpa mengenal saya secara pribadi atau membaca karya-karya saya, tidak akan mengalami luka seperti yang saya rasakan.
Ketulusan Schimmel itu tentu tak lepas dari masa panjang kehidupan yang dilaluinya dengan merawat dan mencintai "kata-kata yang baik". Wanita kelahiran Erfurt, Jerman, ini belum lama beranjak dari usia 10 tahun ketika dia terpikat pada puisi-puisi berbahasa Arab. Lewat jalan kata-kata pula dia mengenal sejarah dan kebudayaan Islam, menekuni kajian Islam dan menghasilkan karya-karya monumental seperti Gabriel's Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal; Mystical Dimensions of Islam; And Muhammad is His Messenger; A Two Colored Brocade: The Imagery of Persian Poetry; Calligraphy and Islamic Culture.
Demikian besar keyakinan Schimmel pada kata-kata, seyakin dia pada moto penyair Jerman Friedrich Ruckert, bahwa "Puisi semata mampu menuntun manusia menuju rekonsiliasi dunia." Puisi, menurut Ruckert, adalah "lidah utama umat manusia"; puisi menghubungkan manusia karena ia menjadi bagian dari setiap peradaban di dunia.
Schimmel menggambarkan kekuatan kata dalam membangun hubungan antarmanusia ini dengan menyitir sebuah cerita dalam tulisan Mawlana Jalaluddin Rumi. Dalam prosa berbahasa Persia itu, Rumi--sufi dan penyair abad 13 yang mendapat perhatian besar Schimmel selain penyair Pakistan Muhammad Iqbal--mengisahkan seorang anak laki-laki yang sering mengeluh pada ibunya tentang sosok hitam yang menakutkannya. Akhirnya sang ibu menasehati agar anaknya menyapa saja sosok hitam tersebut, karena sifat sosok itu bisa diketahui dari jawabannya terhadap sapaan kita. Sebab kata-kata, sebagaimana sering dinyatakan para penyair Persia, menyingkapkan sifat pembicaranya layaknya bebauan--persis dengan kenyataan bahwa kita tak mungkin tertipu oleh kue yang bertabur bawang putih, bukannya almond, kendati penampilannya sungguh mengundang selera.
Pesona kata jua yang telah membawa Annemarie Schimmel melanglang berbagai kawasan masyarakat Muslim; masyarakat yang disebutnya lebih terpesona pada kata dan bahasa, berbeda dengan rekannya di Barat yang lebih terpikat pada musik. Di usianya yang masih belia ketika itu, sebagai profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara, Schimmel seolah mengenali kembali sudut-sudut Istanbul masa lalu melalui baris-baris tentang kota indah itu, yang didendangkan para penyair Turki selama hampir lima abad. Schimmel pun mampu mencintai budaya Pakistan melalui syair-syair yang dinyanyikan di seluruh provinsi di negara itu. Schimmel juga sempat mencatat pengalaman seorang mahasiswanya, satu di antara warga Amerika yang disandera di Teheran saat terjadi Revolusi Iran. Sang mahasiswa menyadari perubahan sikap penyanderanya, ketika dia melafalkan sebuah syair Persia. Kata-kata dalam syair itu telah menjadi sebuah jembatan, menghapuskan perbedaan ideologis yang demikian dalam. Persis seperti yang dikatakan Herder, "Dari puisi kita mendapatkan pemahaman tentang sebuah zaman atau suatu bangsa secara mendalam, lebih ketimbang yang kita dapatkan dari sejarah politik dan militer."
Sang pembangun jembatan itu kini telah tiada. Annemarie Schimmel, meninggal dunia 28 Januari 2003 di Bonn, Jerman, pada usia 80 tahun. Hanya semangat dan kecintaannya terhadap "kata-kata yang baik" yang dapat kita lestarikan, sebenarnyalah kita perlukan, di era kini ketika kata-kata lebih sering memisahkan ketimbang menyatukan; lebih sering memutuskan ketimbang menghubungkan. Betapa terasa kini semangat dan kecintaan Schimmel itu demikian berharga. Dan betapa mengharukan karenanya, kerendahan hati pencinta kata itu, yang tercermin dalam puisinya:

sang pencinta,
menenun satin dan brokat
dari air mata, O Kawan, agar dapat menghamparkannya
suatu hari, di bawah telapak kakimu...
dan aku menenun
sutera kata-kata yang selalu baru
hanya untuk menyembunyikanmu.[]



Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza
Oleh : Hernowo

Ya, andaikan buku-buku yang ada di rak-rak perpustakaan adalah "makanan" kesukaan kita. Apa jadinya ya? Tentu kita akan lahap membacanya. Inilah "kunci" untuk membuka gembok yang menyebabkan kita enggan membaca buku.
"Kunci" ini, oleh Stephen Covey (penulis The 7 Habits of Highly Effective People), disebut paradigma. Apaan tuh paradigma? Paradigma adalah kacamata. Paradigma adalah cara kita memandang sesuatu.
Bayangkan Anda memiliki kacamata minus 2. Lima tahun kemudian, Anda harus mengganti kacamata Anda dengan kacamata minus 3. Namun, Anda bersikukuh tak mau mengganti kacamata minus 2 Anda. Apa yang terjadi? Anda merasa pusing apabila melihat sesuatu. Inilah akibat yang timbul dikarenakan Anda mempertahankan paradigma kacamata minus 2 Anda.
Apa ya paradigma Anda berkaitan dengan membaca buku? Mungkin ini: "Wah, boring deh membaca buku yang tebal-tebal itu." Atau ini: "Setiap kali membaca buku ilmiah, saya tentu ngantuk." "Saya pilih nonton sinetron aja deh ketimbang baca buku. Baca buku bikin kepala cepat botak!"
Itulah paradigma---atau kacamata yang Anda gunakan---dalam membaca buku. Memang, tidak semua orang memandang aktivitas membaca buku ilmiah seperti itu. Nah, tulisan ini akan mencoba membantu siapa saja yang merasa masih kesulitan untuk memasuki dunia buku.

Menganggap Buku sebagai "Makanan"
Pertama-tama, untuk memasuki dunia buku, kita perlu mengubah paradigma (atau kacamata) dalam memandang buku. Buku sama saja dengan makanan, yaitu makanan untuk ruhani kita. Bayangkanlah apabila jasmani kita tidak diberi nasi, telur, daging ayam, dan makanan bergizi tinggi lainnya. Apa yang akan terjadi? Tubuh kita akan loyo dan sakit-sakitan.
Demikian jugalah yang terjadi dengan ruhani kita. Buku adalah salah satu jenis "makanan ruhani" kita yang sangat bergizi. Mendengarkan pengajian dan ceramah adalah juga sebentuk "makanan ruhani". Namun, buku kadang memiliki gizi lebih dibandingkan dengan ceramah.
Lewat paradigma-baru membaca buku---dengan menganggap buku sebagai makanan---kita dapat memperlakukan buku laiknya makanan kesukaan kita. Pertama, agar membaca buku tidak lantas membuat kita ngantuk, maka pilihlah buku-buku yang memang kita sukai, sebagaimana Anda memilih makanan yang Anda gemari.
Kedua, cicipilah "kelezatan" sebuah buku sebelum membaca semua halaman. Anda dapat mengenali lebih dulu siapa pengarang buku tersebut. Atau Anda bisa bertanya kepada seseorang yang menganjurkan Anda untuk membaca sebuah buku (misalnya guru, orangtua, atau sahabat Anda). Mintalah kepada mereka untuk menunjukkan lebih dulu hal-hal menarik yang ada di buku itu.
Ketiga, bacalah buku secara ngemil (sedikit demi sedikit, laiknya Anda memakan kacang goreng). Apabila Anda bertemu dengan buku ilmiah setebal 300 halaman, ingatlah bahwa tidak semua halaman buku itu harus dibaca. Cari saja halaman-halaman yang menarik dan bermanfaat. Anda dapat ngemil membaca di pagi hari sebanyak 5 halaman. Nanti, di sore hari, tambah 10 halaman.

Manfaat Membaca Buku
Mengapa gizi sebuah buku melebihi ceramah atau hal-hal lain yang Anda peroleh dari telinga (mendengar) dan mata (melihat) Anda? Sebab, hanya lewat membaca bukulah kita mampu menumbuhkan saraf-saraf di kepala kita. Aktivitas membaca buku menggabungkan banyak aktivitas penting lain.
Pertama, Anda perlu memusatkan perhatian agar sebuah teks yang Anda baca dapat memberikan manfaat kepada Anda. Kedua, apabila Anda menemukan hal-hal menarik dari sebuah buku, Anda dapat memberikan tanda (seperti menstabilo atau memberikan catatan di pinggir-pinggir marjin buku).
Ketiga, sebuah kalimat yang menarik akan membuat saraf-saraf di otak Anda bekerja secara efektif. Tiba-tiba saraf-saraf itu berhubungan dan membuat Anda dapat menemukan sesuatu yang baru.
Dan, ini yang ajaib, membaca buku akan membuat Anda tetap berpikir! Seorang peneliti dari Henry Ford Health System, bernama Dr. C. Edward Coffey, membuktikan bahwa hanya dengan membaca buku seseorang akan terhindar dari penyakit demensia.
Demensia adalah nama penyakit yang merusak jaringan otak. Apabila seseorang terserang demensia, dapat dipastikan bahwa dia akan mengalami kepikunan atau (dalam bahasa remaja disebut) "tulalit".
Menurut penelitian Coffey, pendidikan (salah satu pendidikan termudah adalah membaca buku) dapat menciptakan semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Hal itu dibuktikan dengan meneliti struktur otak 320 orang berusia 66 tahun hingga 90 tahun yang tak terkena demensia.

Membaca dengan Gaya SAVI
Apabila Anda sudah mengubah paradigma membaca buku Anda---bahwa membaca buku seperti memakan pizza---dan sudah memahami manfaat membaca buku, cobalah mulai membaca buku-buku ilmiah saat ini juga. Untuk mempermudah Anda dalam membaca buku, di bawah ini saya sajikan tip-tip Dave Meier yang saya cuplik dari buku-menariknya, The Accelerated Learning Handbook.
Meier menamai tip-tipnya ini "metode belajar gaya SAVI". SAVI adalah singkatan dari Somatis (bersifat raga/tubuh), Auditori (bunyi), Visual (gambar), dan Intelektual (merenungkan). Nah, silakan menggunakan Gaya SAVI dalam membaca sebuah buku, sebagaimana petunjuk berikut.
Pertama, membaca secara Somatis. Ini berarti, pada saat Anda membaca, cobalah Anda tidak hanya duduk. Berdiri atau berjalan-jalanlah saat membaca buku. Gerakkan tubuh Anda saat membaca. Misalnya, setelah membaca 5 atau 7 halaman, berhentilah sejenak. Gerakkan tangan, kaki, dan kepala Anda. Setelah itu, baca kembali buku Anda.
Kedua, membaca secara Auditori. Cobalah sesekali membaca dengan menyuarakan apa yang Anda baca itu (dijaharkan). Lebih-lebih lagi apabila Anda menjumpai kalimat-kalimat yang sulit dicerna. Insya Allah, telinga Anda akan membantu mencernanya.
Ketiga, membaca secara Visual. Ini berkaitan dengan kemampuan dahsyat Anda yang bernama imajinasi atau kekuatan membayangkan. Cobalah bayangkan saat Anda membaca sebuah konsep atau gagasan. Kalau perlu gambarlah! Ini, insya Allah, juga akan mempercepat pemahaman Anda.
Keempat, membaca secara Intelektual. Ini juga berkaitan dengan kemampuan luar biasa Anda. Anda perlu jeda atau berhenti sejenak setelah membaca. Dan renungkanlah manfaat yang Anda peroleh dari pembacaan Anda. Akan lebih bagus apabila---saat Anda merenung itu---Anda juga mencatat hal-hal penting yang Anda peroleh dari halaman-halaman sebuah buku. Insya Allah, Anda akan dimudahkan dalam menuangkan atau menceritakan kembali apa-apa yang Anda baca. Selamat membaca buku!***
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di majalah Sabili No. 26, Th. IX, edisi 27 Juni 2002/16 Rabiul Akhir 1423.

Yuk  Menulis, Yuk!
Oleh : Herry Mohammad

DARI judulnya, MENGIKAT MAKNA, buku ini pastilah lain dari yang lain. Sudah banyak buku-buku tentang teknik menulis yang lahir dari para pengarang ternama di bumi pertiwi ini. Rata-rata bersemangat ketika memberikan kiat-kiatnya, baik judul maupun isinya. Mengarang Itu Gampang (Arswendo Atmowiloto); Yuk, Menulis Cerpen, Yuk (M. Diponegoro), Menggebrak Dunia Mengarang (Eka Budianta), adalah beberapa contoh saja.
Bila buku-buku yang sudah ada di pasaran lebih banyak memberikan kiat-kiat dalam menulis (cerpen, kolom, maupun buku), Mengikat Makna ini punya nilai plus tersendiri. Setidak ada tiga nilai plus dari buku yang satu ini.
Pertama, buku ini punya daya dorong pada pembacanya agar bisa membaca dengan memahami teks dan konteksnya. Jadi, tidak asal membaca saja. Tapi, lewat kiat-kiatnya, penulis memberikan sentuhan: bagaimana bisa memahami buku yang dibaca secara baik.
Kedua, pemahaman bacaan yang baik, lalu diresapkan, dan, seoptimal mungkin bisa memberikan gizi pada kualitas intelektual sang pembaca. Dengan gizi yang baik, sebuah buku akan bisa mengubah pola pikir dan pola tindak dari si pembaca.
Ketiga, buku ini mencoba memprovokasi pembacanya. Para pembaca tidak hanya didorong untuk bisa memahami dan mengubah pola pikir dan pola tindaknya, tapi juga memprovokasinya untuk menulis buku.
Tiga hal tersebut sangat kentara dalam buku yang ditulis dengan cara yang provokatif, penuh enerji, dan bergizi ini.
**
DALAM suatu kesempatan berdiskusi dengan para da'i --juru dakwah-- se Jawa Timur, Oktober 1991, ada keluhan: ''Wah, menulis itu sulit, mas!''. Diskusi di Masjid Al-Falah, Surabaya itu memang bertema ''Teknik Membuat Laporan'' yang tentunya berkaitan dengan tulis-menulis.
''Lho, bukankah kalian ini pandai dan fasih berpidato?''
''Iya, namanya juga da'i. Tapi, ngomong dan nulis itu kan lain!'' jawab sekitar 30-an da'i muda yang, menurut pengurus lembaga induknya, adalah putra-putra terbaik dalam berdakwah di garis depan.
Para da'i sungguh fasih berdakwah, karena itu memang pekerjaannya. Tapi, ketika diminta menuliskan laporan bulanannya --yang berupa aktivitas, problema, dan penyelesaiannya-- tiba-tiba mereka jadi ''gagap''.
Tentu ada yang salah. Benar. Rupanya, mereka tak terbiasa menuangkan ide-idenya dalam bentuk kata-kata, menyusun kalimat, dan menjadi satu gugusan alinea. Padahal, para da'i itu adalah kelompok elit di lingkungannya.
Dia mendapatkan bahan-bahan ceramah, khotbah, dan pidatonya, dari bahan-bahan bacaan, baik yang berupa buku, hadits, Al-Quran, Koran, maupun fenomena alam dan sosial yang ada.
Kalau itu soalnya, sebenarnya mereka sudah punya modal. Tapi, modal saja tidak cukup. Ia mesti punya keberanian untuk memulai. Kalau mau berdagang, ya jangan takut kalau nantinya gagal dan merugi. Begitu pula dalam hal menulis. Modal sudah ada, tinggal menuangkannya.
Dan menulis, ibarat belajar naik sepeda. Tak ada orang yang tiba-tiba saja bisa mengendarai sepeda dengan mahir. Awalnya juga sempoyongan, menabrak pohon, tembok, bahkan orang yang sedang berjalan. Lutut terluka. Belum sembuh, sudah menabrak lagi. Luka lagi. Belum lagi kalau menabrak orang, dapat bonus: bentakan, cacian, dan mungkin tempelengan alias bogem mentah!
Tradisi atau etos menulis itulah yang mesti ditumbuhkembangkan. Tapi, etos itu baru bisa muncul ketika seseorang sudah faham benar dengan apa saja yang pernah ia baca. Ingat, lho, dalam komunitas prismatik --masyarakat transisi dalam terminologi ahli politik asal Amerika, Fred W. Rigg-- tak jarang orang menenteng buku hanya supaya dipandang sebagai orang terpelajar.
Padahal, fungsi buku, adalah bagaimana ia mampu mempengaruhi orang-orang yang membacanya. Kalau orang hanya sekedar membaca tapi tidak mengubah apa-apa terhadap dirinya, ya, sama juga bohong. Artinya, orang tersebut tak faham dengan apa yang dia baca. Membaca mesti bisa mempengaruhi dan atau mengubah pola pikir dan pola tindak seseorang. Bila ia sudah menjadi pemabaca yang ''berhasil'', maka ia bisa maju selangkah lagi: berpotensi menjadi seorang penulis.
Nah, dalam menulis itu tak ada teorinya. Yang ada adalah teknik. Ditambah pengalaman dan kemauan yang terus menerus.
**
SEKARANG mari kita melihat nilai plus dalam menulis dibanding dengan budaya oral dalam bentuk ceramah, khotbah, atau pidato.
Bila Anda berpidato --juga ceramah dan khotbah-- di depan podium, bisa jadi ditonton dan didengar oleh puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang. Tingkat efektivitas untuk mengubah pola pikir dan pola laku seseorang tidaklah besar.
Orasi yang menggebu-nggebu misalnya, mungkin bisa ''membakar'', dalam suasana yang penuh emosional, pada saat yang bersamaan. Tapi, ketika pulang ke rumah masing, kembali dengan kesibukan masing-masing, dan segera akan terlupakan. Tunggu orasi berikutnya, dan segera terlupakan kembali. Pesan lewat oral nafasnya tidak panjang, sebatas jarak podium ke rumah.
Mau bukti? Lihatlah majelis-majelis taklim yang menyebar ke seantero geografis dan masyarakat Indonesia itu. Majelis taklim, yang berupa pesan-pesan moral tersebut, mestinya bisa mengubah pola pikira dan pola tindak jamaahnya.
Tapi apa yang Anda saksikan? Sifat-sifat yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur agama seakan tak membekas. Mengapa? Karena jamaah hanya ''menonton'' dan ''mendengar'' saja. Tak lebih dari itu. Yang lebih menyedihkan, begitu para da'i, muballigh, atau orator tersebut meninggal, pesan-pesannya segera menghilang dari peredaran. Inilah akibat tragis dari ilmu yang tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan.
Berbeda dengan budaya tulis. Bila Anda menulis buku misalnya, maka karya tersebut akan dibaca oleh puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan umat manusia. Bisa jadi dibaca oleh generasi ke generasi.
Lihatlah karya-karya Al-Ghazali (1058-1111 M). Karya legendarisnya, ''Ihya Ulumuddin'' dan ''Bidayatul Hidayah'', sampai sekarang dicari dan dibaca orang. Karya-karya lainnya, yang jumlahnya mencapai 200-an, juga masih diterbitkan oleh berbagai penerbit. Padahal, karya-karya tersebut ditulis pada abad 12.
Tengok pula pada pemikiran politik Islam klasik. Di pesantren-pesantren, nama Al-Mawardi (974-1058 M) sangat terkenal. Ini karena buah pikirannya tentang Administrasi Negara tertuang dalam buku ''Al-Ahkam al-Sulthaniyah''. Dalam buku ini pula ia mengemukakan pikiran-pikirannya tentang idealnya seorang kepala negara. Buku-buku tentang politik Islam yang ditulis orang di era milenium ini, tak pernah bisa melupakan jasa Al-Mawardi.
**
SEKARANG, mari kita mulai melangkah, membiasakan menulis. Banyak cara untuk memulainya.
Pertama, dengan memanfaatkan catatan harian. Apa saja kejadian, baik yang dialami, dilihat, maupun di dengar, ditulis dalam catatan buku harian. Catatan itu bisa pendek, bisa juga panjang. Bisa pula berupa renungan.
Catatan-catatan tersebut, suatu hari akan bermanfaat. Lihat misalnya wartawan kawakan Rosihan Anwar. Dengan catatan-catatannya, ia bisa mengulas masa lalu, kini, dan esok, dengan amat memukau. Ini terlihat dalam tulisan-tulisannya yang menyebar di berbagai surat kabar dan majalah. Buku catatan harian Kartini, Ahmad Wahib, dan Sio Hok Gie, adalah sekedar contoh.
Kedua, dalam bentuk surat-surat. Dengan surat, seseorang bisa menulis dengan leluasa, bergaya bebas, dan bisa berimprovisasi. Surat menyurat ini, sebagaimana buku catatan harian, bisa menjadi saksi sejarah. Lihatlah ''Surat-surat dari Endeh'', antara Soekarno dengan A. Hassan. Juga ''Surat-surat Kartini'', surat-surat Nurcholis Madjid dengan M. Roem, dan sebagainya. Bahkan, surat-surat yang ditujukan dari berbagai kalangan masyarakat yang ditujukan kepada Soeharto pun, pasca kelengserannya, sudah dibukukan.
Lalu, untuk konsumsi majalah atau koran, berbagai tulisan bisa disesuaikan dengan misi lembaga yang dituju. Tapi yang jelas, ada standarnya: berbagai tulisan itu hendaknya merujuk dengan perkembangan berita yang ada. Juga halaman yang tersedia. Kejelian membaca peluang, dari berbagai disiplin ilmu, pastilah bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin guna menembus sekat-sekat yang ada di majalah atau koran. Nah, selamat mencoba !** Bandung, Selasa, 28 Agustus 2001




Bila Sebuah Buku Demikian Bermutu….
Oleh : Anwar Holid

Tidak hanya lagu, buku pun kadang-kadang dirilis ulang. Tentu para penerbit tidak sekadar ingin bernostalgia atau merindukan kembali masa lalu. Sebab ada sesuatu yang berbeda ketika sebuah buku atau lagu diterbitkan ulang. Yang berbeda itu adalah ruh atau nuansanya. Ruh ketika sesuatu yang lama dimunculkan kembali ialah semacam pertaruhan apakah dia masih memiliki daya hidup atau tidak.
Kita ingin merasakan yang berbeda apabila mendapati hal lama yang pernah demikian mengisi ingatan kembali menyeruak mengisi kekinian. Kita berharap mendapatkan energi baru, penyegaran kembali, dan nuansa baru yang dahulu mungkin luput dari perhatian kita. Perhatikanlah misalnya lagu-lagu yang dirilis ulang itu. Selain menawarkan kenangan, kondisi, dan semangatnya memang berbeda. Sering itu dilakukan setelah mempertimbangan banyak hal.
Pertama yang mencolok tentu saja pembawanya (dalam hal ini: penerbit). Harus diakui, yang membawakan kembali lagu lama biasanya mereka yang sangat menyukai lagu itu.  Jarang penyanyi asli membawakan kembali lagu itu, meskipun bukannya tidak pernah terjadi. Artinya, dia membawakan kembali sesuatu yang demikian berharga, hingga perlu dipelihara nilainya, dan dipertahankan keindahannya. Semacam penghormatan kepada orang yang menciptakannya. Dalam hal penerbitan, sama halnya. Kerap sebuah buku diterbitkan ulang oleh penerbit lain (biasanya lebih muda), karena mereka demikian terinspirasi oleh buku tersebut.
Kedua, penerbitan kembali buku lawas biasanya dipicu oleh kondisi tertentu bahwa buku tersebut relevan dengan keadaan kini, atau mampu menerangkan beberapa persoalan yang dianggap mencuat—buku tersebut memenuhi standar keingintahuan saat itu. Ini menyangkut pertimbangan seberapa penting nilai buku tersebut (di kalangan umum) apabila diterbitkan, akan memenuhi kebutuhan apa saja buku tersebut, dan sebagainya.
Ketiga, ialah seberapa besar pasar masa kini akan mampu menyerap buku-buku lawas yang dahulu pernah diterbitkan itu? Tentu saja pertimbangan ekonomi sangat penting dalam menerbitkan kembali sebuah buku, baik yang ketika pertama kali diterbitkan langsung menjadi besrt seller atau yang gagal di pasar. Untuk kasus kedua itu, biasanya penerbit biasanya membuat semacam perbaikan (revisi), apakah melalui penyuntingan kembali naskah dan isinya, memberikan kata pengantar dari narasumber yang layak (prominent) atau sekadar melalui penampilannya (minimal perubahan sampul).

Pertimbangan Lain
Bila sistem percetakan penerbit sudah bagus, mereka juga tidak segan-segan untuk menerapkan sistem print-on-demand di bagian penjualan atau produksinya, yakni kemampuan menyediakan buku-buku sesuai permintaan konsumen (pasar). Di Indonesia, teknologi ini tergolong sangat langka, bahkan mungkin belum mampu dilakukan, sebab masih banyak buku-buku lawas yang belum habis diserap pasar, dan masih berusaha ditawarkan dengan berbagai cara, termasuk dengan rabat setengah harga produksinya! Menurut prakiraan, sistem print-on-demand memungkinkan penerbit masih mampu mendapatkan untung meskipun buku tersebut hanya dipesan satu buah saja oleh pembeli.
Buku-buku yang kerap dilupakan orang kadang-kadang juga mendapat perhatian dari penerbit, hingga kemudian mereka memutuskan menerbitkannya kembali. Seri Penguin Classics atau Bantam Classics adalah contoh buku-buku lama yang  diterbitkan karena judul itu sudah sukar ditemukan di pasar. Di Indonesia, penerbitan kembali buku Islam dan Keturunan Arab atau Partai Politik di Pentas Nasional oleh Mizan bisa dianggap sebagai respons positif atas buku klasik yang mulai sukar didapat di pasar—sebab penerbit pertamanya tidak menerbitkan kembali buku itu.
Meskipun pengorbanan harus diberikan dan risiko harus ditempuh oleh penerbit yang mau memunculkan kembali buku lama, kita tentu harus berterima kasih untuk beberapa hal. Pertama ialah penerbitan itu akan mengekalkan ingatan kita bahwa buku-buku itu telah membantu dengan cara yang sangat bermakna tentang cara memahami peradaban dan kebudayaan manusia.
Kedua, sumberdaya buku (naskah) itu kadang-kadang sangat sukar ditemukan. Anda tentu akan sangat bisa merasakan betapa bahagianya seandainya seluruh manuskrip buku Pramudya Ananta Toer, Gadis Pantai, yang lenyap oleh keberingasan rezim Orde Baru, bisa diterbitkan ulang—tidak hanya sebagiannya.
Dalam keadaan yang sangat terdesak, kita selalu baru akan bisa merasakan betapa berartinya sesuatu yang lenyap di dalam diri dan ingatan kita. Sering sebuah buku baru bisa diterbitkan kembali setelah naskah aslinya ditemukan di tumpukan buku-buku bekas yang nyaris hancur. Atau atas pertolongan pembaca yang dengan apik merawat buku tersebut. Bila itu yang terjadi, kita tidak saja berutang pada penulis, penerbit, atau penemu naskah itu. Kita agaknya harus pula berterima kasih kepada Alam yang menjaga manuskrip itu tetap utuh dan diselami makna-maknanya. Mungkin untuk mengabadikan nilai luhur itu pula, sebuah penerbit, Hikmah, berani kembali menerbitkan naskah-naskah lama seperti Surat-surat Al-Ghazali karya Abdul Qayyum.
Jadi sidang pembaca, buku lama belum tentu kehilangan nilainya. Sebab seperti kata pepatah: tidak ada buku lama, yang ada adalah buku yang belum kita baca.[]



 
Support : OwamoncaOwamoncaeOwamonca
Copyright © 2011. Owamonca - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Owamonca
Proudly powered by Blogger